CANGKOK jantung tidak dibolehkan oleh agama Islam. Demikian
menurut Muhammadiyah.
Di antara hasil-hasil sidang Majlis Tarjih (pertimbangan hukum)
ke-21 Muhammadiyah, berlangsung seminggu bulan kemarin di
Klaten, Jawa Tengah, keputusan tentang hal itu terhitung paling
menarik.
Pencangkokan sendiri sebenarnya tidak serta-merta dilarang.
Sidang yang diadakan tiga tahun sekali itu, dan kali ini diikuti
sekitar 160 ahli agama dari seluruh Indonesia (untuk seksi
pencangkokan tercatat 29 orang), memandang soal pencangkokan
pada 'illa-nya -- alias tergantung motif. Untuk keperluan
pengobatan misalnya, ia berhukum mubah (boleh) -- sepanjang
bukan jenis yang "membahayakan baik rohaniah maupun jasmaniah,"
seperti ditulis dalam rumusan keputusan. Dan cangkok jantung,
juga cangkok kepala (yang terakhir ini memang baru kemungkinan),
dijadikan contoh yang "membahayakan" itu. Bagaimana?
Saat Kematian
"Pencangkokan jantung maupun kepala itu baru merupakan
percobaan, dan usaha itu belum berhasil," kata KKRP H. Muhammad
Wardan Dipaningrat (70 tahun), Ketua Pucuk Pimpinan Muhammadiyah
Majlis Tarjih kepada TEMPO. Kyai Wardan -- dan tentunya sebagian
besar ulama peserta -- rupanya mengambil pedoman dari bagian
prasaran dr. H. Moh. Baried 'Ishom, ahli bedah -- yang menyebut
bahwa di antara 165 pasien operasi cangkok jantung antara 1967
dan 1971, yang bisa hidup lebih dari dua tahun hanya 40%. Sedang
yang lebih tiga tahun cuma seorang. Itulah kiranya mengapa
pencangkokan masih "berbahaya".
Bahkan, meski tidak resmi disebut dalam rumusan, rupanya juga
menjadi pemikiran soal jantung donor yang akan
ditransplantasikan. K.H. Ghozali Sahlan, misalnya, anggota PP
Muhammadiyah di Jakarta yang dalam sidang kemarin duduk di seksi
pencangkokan, memasalahkan mati-atau-belumnya orang yang
jantungnya akan diambil. "Kita tentu maklum bahwa dengan
diambilnya jantung di tubuhnya, proses meninggalnya jadi lebih
cepat," katanya kepada TEMPO.
Masalahnya tentu karena prasaran dr. Baried (juga Wakil Direktur
Bidang Medis RS PKU Muhammadiyah) menyebut soal penentuan saat
kematian sebagai "sangat sulit". Meski begitu ia toh
memberi ancar-ancar yang umum dipakai: bila pernafasan
berhenti. Bila reflex hilang. Bila reaksi rangsangan hilang.
Bila garis menjadi datar pada pemeriksaan EEG yang mengontol
aktivitas selaput otak.
Yang menarik, prasaran dr. Baried Ishom sendiri terasal lebih
condong ke arah pembolehan pncangkokan organ tubuh -- termasuk
jatung.
Begitu juga yang dikemukakan dokter lainnya, Gunawan dari Bank
Mata Yogya, yang khusus memperkenalkan soal cangkok kornea
(yang tidak diharamkan). Bahkan H.Asymuni A.R., lulusan IAIN
yang kebagian prasaran tentang pencangkokan dari segi hukum
Islam, menyimpulkan kebolehan ikhtiar itu.
Dan sudah tentu mendapat yang menyetujui cangkok jantung
tidak terhitung aneh. Jauh sebelum muktamar tarjih kemarin,
sebuah diskusi yang lain dari Majelis Pertimbangan Kesehatan dan
Syara' (MPKS) Departemen Kesehatan telah membahas topik serupa.
Hasilnya: transplantasi jantung adalah ikhtiar pengobatan yang
halal. Fatwa yang dikeluarkan 23 Mei 1973 itu, seperti
dituturkan Dr. Ali Akbar, Ketua MPKS sejak 1966 (menantikan Dr.
Ahmad Ramali), memakai ukuran saat kematian dengan kriteria yang
sampai sekaran dipakai: alat EEG dan ECG (pengontrol aktivitas
jantung) yang sudah disebut. Tidak jelas, apakah suasana sidang
MPKS sama dengan sidang Tarjih. Pada yang pertama, ceramah
khusus tentang jantung diberikan oleh Ali Akbar sendiri,
ditambah dr. Kamal Yunus. Para dokter itu pun terlibat dalam
pembahasan bersama para ulama -- antara lain Prof. K.H. Bustami
Abdulgani dan K.H. Nur Asyik dari IAIN Jakarta, selain dari
Departemen Agama. Toh keputusan khusus jantung itu memerlukan 12
kali sidang.
Sidang Tarjih nampaknya "lebih lancar". Hanya dibutuhkan 6 kali
pertemuan, dengan jumlah ulama yang lebih besar dari berbagai
daerah. Para dokter penceramah tidak serta, karena kebetulan
bukan anggota Tarjih alias bukan ahli hukum. Dan seperti
dituturkan K.H. Ghozali Sahlan, hampir tak ada yang bisa
dinamakan perdebatan. Pembicaraan agaknya banyak berkisar pada
teknik hukum: kuat-lemahnya sebuah hadis misalnya, dari segi
otentisitas.
Karena Kemampuan
Misalnya hadis tentang wajibnya berobat. Juga tentang pelarangan
merusak anggota badan, atau melukai mayat yang "sama dosanya
dengan melukainya waktu ia hidup."
Bagi para dokter bedah, barangkali masalah seperti itu tak
pernah terlintas dalam benak Sebab ia merasa tugasnya sebenarnya
bukan "melukai", melainkan menjalankan upaya kesehatan yang
diyakini sebagai pelayanan kemanusiaan -- dengan segala ikhtiar.
Upaya seperti itu memang belum ada di zaman Nabi -- ketika
melukai atau merusak mayat masih sering dilakukan oleh para
prajurit Jahiliah kepada musuh mereka.
Itulah sebabnya dalam pengobatan modern, usaha paling mahal pun,
dengan kemungkinan hasil yang masih minim, bahkan kegagalan,
tertls dilakukan. Bisakah, dengan pelarangan, diharapkan
kalangan Islam turut dalam kegiatan yang juga ibadah itu?
Memang, pencangkokan jantung sendiri belum pernah dilakukan di
Indonesia -- semata-mata karena kemampuan. Tapi karena itu pula
keterangan para sesepuh Muhammadiyah lainnya terasa penting.
Seperti dituturkan K.H. A.R. Fakhruddin, Ketua Umum PP
Muhammadiyah, keputusan Tarjih barulah berlaku setelah
di-tanfidz-kan (didekritkan) PP -- yang juga berhak
memerintahkan mereka meninjau kembali sebuah keputusan. Atau
setidak-tidaknya, seperti dikatakan Prof. Hamka yang juga
penasihat PP, kepada TEMPO, apa yang diputuskan sebuah sidang
Tarjih, "bisa saja dalam sidang Tarjih berikutnya diubah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini