Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Cangkok Jantung Muhammadiyah

Menurut keputusan sidang majelis tarjih (pertimbangan hukum) ke-21 muhammadiyah di klaten, masalah cangkok jantung tak diperbolehkan agama islam dan memandang soal pencangkokan pada illatnya (motif).

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CANGKOK jantung tidak dibolehkan oleh agama Islam. Demikian menurut Muhammadiyah. Di antara hasil-hasil sidang Majlis Tarjih (pertimbangan hukum) ke-21 Muhammadiyah, berlangsung seminggu bulan kemarin di Klaten, Jawa Tengah, keputusan tentang hal itu terhitung paling menarik. Pencangkokan sendiri sebenarnya tidak serta-merta dilarang. Sidang yang diadakan tiga tahun sekali itu, dan kali ini diikuti sekitar 160 ahli agama dari seluruh Indonesia (untuk seksi pencangkokan tercatat 29 orang), memandang soal pencangkokan pada 'illa-nya -- alias tergantung motif. Untuk keperluan pengobatan misalnya, ia berhukum mubah (boleh) -- sepanjang bukan jenis yang "membahayakan baik rohaniah maupun jasmaniah," seperti ditulis dalam rumusan keputusan. Dan cangkok jantung, juga cangkok kepala (yang terakhir ini memang baru kemungkinan), dijadikan contoh yang "membahayakan" itu. Bagaimana? Saat Kematian "Pencangkokan jantung maupun kepala itu baru merupakan percobaan, dan usaha itu belum berhasil," kata KKRP H. Muhammad Wardan Dipaningrat (70 tahun), Ketua Pucuk Pimpinan Muhammadiyah Majlis Tarjih kepada TEMPO. Kyai Wardan -- dan tentunya sebagian besar ulama peserta -- rupanya mengambil pedoman dari bagian prasaran dr. H. Moh. Baried 'Ishom, ahli bedah -- yang menyebut bahwa di antara 165 pasien operasi cangkok jantung antara 1967 dan 1971, yang bisa hidup lebih dari dua tahun hanya 40%. Sedang yang lebih tiga tahun cuma seorang. Itulah kiranya mengapa pencangkokan masih "berbahaya". Bahkan, meski tidak resmi disebut dalam rumusan, rupanya juga menjadi pemikiran soal jantung donor yang akan ditransplantasikan. K.H. Ghozali Sahlan, misalnya, anggota PP Muhammadiyah di Jakarta yang dalam sidang kemarin duduk di seksi pencangkokan, memasalahkan mati-atau-belumnya orang yang jantungnya akan diambil. "Kita tentu maklum bahwa dengan diambilnya jantung di tubuhnya, proses meninggalnya jadi lebih cepat," katanya kepada TEMPO. Masalahnya tentu karena prasaran dr. Baried (juga Wakil Direktur Bidang Medis RS PKU Muhammadiyah) menyebut soal penentuan saat kematian sebagai "sangat sulit". Meski begitu ia toh memberi ancar-ancar yang umum dipakai: bila pernafasan berhenti. Bila reflex hilang. Bila reaksi rangsangan hilang. Bila garis menjadi datar pada pemeriksaan EEG yang mengontol aktivitas selaput otak. Yang menarik, prasaran dr. Baried Ishom sendiri terasal lebih condong ke arah pembolehan pncangkokan organ tubuh -- termasuk jatung. Begitu juga yang dikemukakan dokter lainnya, Gunawan dari Bank Mata Yogya, yang khusus memperkenalkan soal cangkok kornea (yang tidak diharamkan). Bahkan H.Asymuni A.R., lulusan IAIN yang kebagian prasaran tentang pencangkokan dari segi hukum Islam, menyimpulkan kebolehan ikhtiar itu. Dan sudah tentu mendapat yang menyetujui cangkok jantung tidak terhitung aneh. Jauh sebelum muktamar tarjih kemarin, sebuah diskusi yang lain dari Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara' (MPKS) Departemen Kesehatan telah membahas topik serupa. Hasilnya: transplantasi jantung adalah ikhtiar pengobatan yang halal. Fatwa yang dikeluarkan 23 Mei 1973 itu, seperti dituturkan Dr. Ali Akbar, Ketua MPKS sejak 1966 (menantikan Dr. Ahmad Ramali), memakai ukuran saat kematian dengan kriteria yang sampai sekaran dipakai: alat EEG dan ECG (pengontrol aktivitas jantung) yang sudah disebut. Tidak jelas, apakah suasana sidang MPKS sama dengan sidang Tarjih. Pada yang pertama, ceramah khusus tentang jantung diberikan oleh Ali Akbar sendiri, ditambah dr. Kamal Yunus. Para dokter itu pun terlibat dalam pembahasan bersama para ulama -- antara lain Prof. K.H. Bustami Abdulgani dan K.H. Nur Asyik dari IAIN Jakarta, selain dari Departemen Agama. Toh keputusan khusus jantung itu memerlukan 12 kali sidang. Sidang Tarjih nampaknya "lebih lancar". Hanya dibutuhkan 6 kali pertemuan, dengan jumlah ulama yang lebih besar dari berbagai daerah. Para dokter penceramah tidak serta, karena kebetulan bukan anggota Tarjih alias bukan ahli hukum. Dan seperti dituturkan K.H. Ghozali Sahlan, hampir tak ada yang bisa dinamakan perdebatan. Pembicaraan agaknya banyak berkisar pada teknik hukum: kuat-lemahnya sebuah hadis misalnya, dari segi otentisitas. Karena Kemampuan Misalnya hadis tentang wajibnya berobat. Juga tentang pelarangan merusak anggota badan, atau melukai mayat yang "sama dosanya dengan melukainya waktu ia hidup." Bagi para dokter bedah, barangkali masalah seperti itu tak pernah terlintas dalam benak Sebab ia merasa tugasnya sebenarnya bukan "melukai", melainkan menjalankan upaya kesehatan yang diyakini sebagai pelayanan kemanusiaan -- dengan segala ikhtiar. Upaya seperti itu memang belum ada di zaman Nabi -- ketika melukai atau merusak mayat masih sering dilakukan oleh para prajurit Jahiliah kepada musuh mereka. Itulah sebabnya dalam pengobatan modern, usaha paling mahal pun, dengan kemungkinan hasil yang masih minim, bahkan kegagalan, tertls dilakukan. Bisakah, dengan pelarangan, diharapkan kalangan Islam turut dalam kegiatan yang juga ibadah itu? Memang, pencangkokan jantung sendiri belum pernah dilakukan di Indonesia -- semata-mata karena kemampuan. Tapi karena itu pula keterangan para sesepuh Muhammadiyah lainnya terasa penting. Seperti dituturkan K.H. A.R. Fakhruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, keputusan Tarjih barulah berlaku setelah di-tanfidz-kan (didekritkan) PP -- yang juga berhak memerintahkan mereka meninjau kembali sebuah keputusan. Atau setidak-tidaknya, seperti dikatakan Prof. Hamka yang juga penasihat PP, kepada TEMPO, apa yang diputuskan sebuah sidang Tarjih, "bisa saja dalam sidang Tarjih berikutnya diubah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus