Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN mata terpejam, Muhammad Ishaq duduk di atas kursi kayu. Dia memangku gitar. Petikan yang berirama rebana mengalir dalam tangga nada minor. Desik nyiur Pantai Pamboang, Sulawesi Barat, menyelinap di sela-sela nada yang ia mainkan. Ombak bergulung-gulung dan pecah di pantai. Rambut ikalnya yang dibiarkan gondrong beberapa kali tersibak angin. Malam itu, pertengahan Oktober lalu, saya dan fotografer Dhemas Reviyanto duduk membelakangi laut, berhadapan-hadapan dengan Ishaq.
Setelah 20 birama berlalu, Ishaq mulai bernyanyi dalam bahasa Mandar. Suaranya sengau, mirip pelantun azan. Saya tidak mengerti apa yang dia sampaikan. Tapi alunan nada dari dawai gitar, yang menyatu dengan debur ombak dan suara daun yang beradu, cukup bagi saya.
Sepuluh teman Ishaq yang paham bahasa Mandar lebih beruntung. Mereka bisa menikmati keindahan lirik berpola kalindaqda—pantun Mandar. Sementara Ishaq terus bernyanyi, Muhammad Rifai, yang duduk di samping saya, mencoba menerjemahkan beberapa baris. "Jika rindu itu mulai terasa, hempaskanlah pada ombak, hingga terbawa sampai kepada dia yang dirindukan," kata pria yang akrab disapa Pai itu.
Apa yang diceritakan Ishaq dalam lirik-liriknya adalah kisah orang-orang yang ada di hadapannya. Pai menjelaskan, di sinilah letak keasyikan mendengarkan Sayang-Sayang, lagu khas pesisir Mandar. Orang tak hanya menikmati permainan kata, tapi juga menunggu giliran disindir. Itu artinya sang penyanyi tidak menghafalkan lirik, tapi menggubah syair berpantun.
Malam itu Ishaq memainkan beberapa lagu dengan irama berbeda-beda. Lagu keempat dilantunkan, Pai sadar. "Wah, jangan-jangan sekarang dia ngomongin saya," ujarnya. "Dia menyinggung-nyinggung orang botak berbaju hitam." Saya hanya mengangguk dan tersenyum.
Lagu Sayang-Sayang yang syairnya banyak terinspirasi oleh laut adalah alat hiburan untuk orang Mandar yang kehidupan mereka ditempa oleh ganasnya laut. Nyali besar lekat dengan kehidupan orang Mandar. Sebab, sebagaimana ditulis etnolog Prancis, Christian Pelras, dalam bukunya, The Bugis, orang Mandar adalah pelaut ulung.
Muhammad Ridwan Alimuddin, pemerhati budaya Mandar, menuliskan keulungan pelaut Mandar melayarkan sandeq—perahu khas Mandar—dalam bukunya, Orang Mandar Orang Laut.
Melayarkan sandeq, tulis Ridwan, adalah puncak kemahiran pelaut Mandar. Sebab, untuk melakukannya, dibutuhkan pengetahuan, ketangkasan, dan keberanian lebih banyak daripada melayarkan perahu bermesin. Dia harus mahir membaca gelagat arah angin dan ombak untuk mengatur sudut layar. Belum lagi, Ridwan melanjutkan, dibutuhkan tenaga yang besar untuk menarik, menahan, dan mengikat tali layar.
Bukan hanya ketangkasan, pelayaran sandeq juga melibatkan ritual tertentu agar pelayaran mereka selamat dan diberkahi rezeki, dari merawat perahu beberapa hari sebelum berangkat, upacara kuliwa untuk tolak bala, hingga pemberian jiwa kepada perahu.
Dalam upacara, sandeq diturunkan ke laut, lalu diputar tiga kali searah jarum jam. Upacara itu melambangkan perahu berpamitan dengan daratan, atau disebut dengan pasitai indo amanna—perahu dipertemukan dengan ibu-bapaknya. Saat itu nakhoda melumuri bagian depan lambung dengan pasir pantai, sambil membayangkan perahu berbisik pada pasir pantai, "Saya akan kembali."
Kami menemui Amiruddin, seorang passandeq—sebutan bagi orang yang melayarkan sandeq—Sabtu sore, sebelum menikmati petikan gitar Ishaq. Amiruddin melaut sejak berumur 9 tahun. Selama 10 tahun terakhir, pria 30 tahun ini rutin mengikuti lomba sandeq. Lomba yang setiap Agustus digelar ini untuk melestarikan sandeq, yang sudah sangat jarang digunakan untuk mencari ikan.
Amiruddin bukan punggawa lopi—nakhoda yang merangkap sebagai juru mudi. Dia hanya sawi, awak perahu. Tapi dia punya tugas berat menjaga agar perahu tetap bisa melaju memecah ombak dan tidak terbalik karena angin.
Sandeq dalam bahasa Mandar berarti runcing. Menurut Ridwan, sebutan sandeq merujuk pada bentuk haluan perahu yang tajam dan layar yang meruncing. Layar perahu bercadik ganda ini berbentuk segitiga. Dengan bentuk yang ramping dan memanjang, sandeq berukuran besar yang dipakai lomba panjangnya bisa mencapai 11 meter dengan lebar lambung sekitar 60 sentimeter. Tinggi tiang layar biasanya lebih panjang satu-dua meter dari perahu.
Sandeq bisa melaju hingga kecepatan 20 knot atau 37 kilometer per jam. Perahu ini, menurut Ridwan, memang dirancang untuk melaju dengan cepat dan menghadapi lingkungan laut lepas yang ganas, mengingat orang Mandar tinggal di pesisir yang langsung berhadapan dengan laut dengan kedalaman 100-2.000 meter. Kecepatan itu juga dibutuhkan untuk mengejar ikan tuna yang terkenal gesit.
Ridwan menjelaskan, inilah yang membedakan suku Mandar dengan suku bahari lain. Mereka satu-satunya suku bahari yang langsung berhadapan dengan lautan terbuka tanpa gugusan pulau. Dengan begitu, menurut Ridwan dan peneliti maritim asal Jerman, Horst Liebner, sandeq adalah ikon budaya bahari Mandar.
Karakter perahu sandeq membuat sawi seperti Amiruddin hampir selalu sibuk di atas perahu. Angin yang meniup salah satu sisi layar membuat salah satu sisi perahu terangkat. Ketika nakhoda perahu memberi perintah untuk menambah beban sisi perahu yang terangkat, Amiruddin harus cekatan melompat ke cadik perahu, berjalan menitinya untuk sampai ke palatto atau katir. Di situ dia akan berdiri sambil berpegangan pada tali penahan. Aktivitas ini disebut timbang.
Ketika menuturkan pengalamannya melakukan timbang, mata Amiruddin berbinar-binar. Nada bicaranya yang biasa lembut—mirip orang bernyanyi—berubah mengentak-entak. "Paling seru itu waktu start, saat tarik layar," kata Amiruddin di rumahnya di Tanjung Rangas. "Layar naik, lalu saya keluar ke sayap (palatto) untuk menjaga keseimbangan."
"Biasa ombak sampai di sini," tutur Amiruddin sambil menunjuk pangkal pahanya. "Saya harus pegang tali layar. Kayak Tarzan mi di luar. Rasanya, aih..., seperti terbang. Apalagi kalau ada lawan di belakang. Makin semangat. Jantung berdebar."
Tak jarang, kata Amiruddin, seorang awak jatuh ke air ketika melakukan tugas ini. Dia harus berenang menempuh arus untuk kembali lagi ke perahunya.
Amiruddin mengatakan ini keseruan yang selalu dia rindukan dari melayarkan sandeq. "Biasa kalau sakit-sakit sedikit, begitu cerita sandeq, langsung sembuh," ujarnya.
Bagi orang Mandar, selain sebagai tempat mencari nafkah, laut adalah tempat bermain. Mereka mendapatkan kegairahan dari adrenalin yang terpompa saat laut mengajak "bercanda". Sehari setelah menikmati musik Sayang-Sayang, saya mencoba merasakan kegairahan itu.
Bersama komunitas Mandar Underwater, saya melakukan spearfishing—memanah ikan dengan speargun. Tempatnya tepat di belakang La Kayang, resor yang sedang dalam proses pembangunan. Di tempat itu pula, pada malam sebelumnya, kami menikmati lagu Sayang-Sayang yang dilantunkan Ishaq.
Dengan penuh percaya diri, saya bilang bahwa saya tidak butuh pelampung. Ternyata fisik saya tidak begitu kuat melawan arus yang kencang. Napas saya habis. Saya diserang kepanikan.
"Kasih tenang dulu..., kasih tenang dulu," kata Abi Qiffary sambil memegangi lengan saya, yang sedang panik karena berkali-kali menelan air laut. Abi mencoba memasangkan pelampung di tubuh saya. Setelah memakaikan pelampung, Abi kemudian berenang menarik saya ke pinggir pantai.
Tak berapa lama setelah saya, Abi dan teman-temannya—Muhammad Rusdi, Muhammad Mahadi, dan Alim Hikmawan—mentas. Tidak ada ikan di tangan. Arus yang kencang, kata Rusdi, menghabiskan energi. Mereka tidak bisa menahan napas lama-lama untuk membidik sasaran. Tak puas dengan hasil di La Kayang, kami pindah tempat ke pantai lain di Pamboang, di sebuah teluk di belakang penginapan Sapo Mandar. Arusnya lebih tenang.
Di tempat itu, saya bisa menyaksikan langsung bagaimana Muhammad Rusdi, yang lebih akrab dipanggil Udi, beraksi. Setelah hampir semenit saya ikuti dengan berenang, Udi berhenti di atas sebuah karang. Speargun-nya diarahkan ke sebuah titik. Ia bergeming. Sepuluh detik kemudian, hap! Panahnya meluncur. Udi menyelam untuk mengambil panah itu. Kembali ke permukaan, ia membawa kerapu macan yang berukuran kecil, dengan panjang hanya 15 sentimeter. Itu baru awal.
Setelah berada di dalam air selama dua jam lebih, Udi, Mahadi, dan Abi mentas membawa 10 ekor ikan dengan ukuran besar, di antaranya surgeonfish, dengan panjang 60 sentimeter. "Mereka mengamuk," kata Abi girang. Udi tersenyum. Guru antropologi sekolah menengah atas itu tampak puas.
Malam harinya, surgeonfish itu diserahkan kepada Fitri, istri Pai, untuk diolah. Fitri membakar ikan itu hingga setengah matang. Lalu dia mengangkatnya dan mengolesi ikan itu dengan bumbu—kemiri, cabai besar, merica, bawang merah, bawang putih, daun serai, kunyit, minyak kelapa, jeruk nipis, dan garam. Setelah diolesi bumbu, ikan itu dibungkus daun pisang dan dibakar hingga matang. Cara masak ini mereka namakan bau tappi. Hasilnya? Saya harus menambah nasi hingga tiga kali.
Setelah makan malam, saya berbincang dengan Udi dan kawan-kawan tentang kegiatan menembak ikan. Bercerita tentang pengalaman-pengalamannya memanah ikan, Udi mengatakan ihwal utama yang diperlukan untuk sukses menembak ikan bukan kemampuan tahan napas, melainkan keberanian.
"Yang paling dibutuhkan nyali. Kalau hanya tahan napas, semua orang bisa," kata Udi. "Di bawah, kita harus bisa tenang. Apalagi kalau bertemu dengan hiu."
Keesokan harinya, kami kembali bertemu dengan Amiruddin. Kami duduk di atas tanggul Pantai Rangas. Bintang-bintang bersinar. Cahaya bulan yang hampir penuh menerangi awan dengan berbagai bentuk. Kami mengobrol dengan ditemani angin malam dan lampu-lampu perahu yang diparkir di sepanjang pantai. Pendar warna-warninya menyaingi bintang. Sesekali ikan membuat air di hadapan kami berkecipak.
Awalnya kami berencana memancing cumi-cumi pada malam hari, dengan harapan bisa menikmati bintang dari tengah laut sambil berbincang. Tapi arus sedang kencang. Amiruddin mengatakan sudah tiga hari belakangan nelayan urung memancing karena kencangnya arus.
Saya bertanya, seberapa indah pemandangan memancing malam hari. "Aih," Amiruddin berseru. "Dari tengah sana, bagus sekali kalau dilihat kemari. Lampu-lampu kapal, lampu-lampu kota. Apalagi kalau terang bulan begini."
Pengalaman itu sudah lama tidak dialami Amiruddin. Sejak ayahnya, Djarun Pua Anwar, tak lagi punya perahu, Amiruddin jarang melaut untuk mencari ikan. Dia hanya akan melaut jika ada pemilik kapal yang mengajaknya. Tiga bulan belakangan, tutur Amiruddin, jarang ada orang yang memintanya bergabung mencari ikan. Dia harus menarik becak atau menjadi kuli bangunan untuk menutupi kebutuhan hidup.
Amiruddin putus sekolah untuk melaut sejak berumur sembilan tahun. Dia langsung ikut ayahnya melaut menggunakan sandeq. Dari situ dia belajar membaca angin, ombak, dan bintang. Itu juga yang membuatnya berani dan punya kapasitas untuk mengikuti sandeq race.
"Dulu, memancing hanya menggunakan perahu layar. Kalau tidak ada angin, mendayung. Sekarang sudah pakai mesin," kata Amiruddin. Dengan adanya perahu bermesin, sandeq makin terpinggirkan. "Karena itu harus ada sandeq race," ujar Amiruddin. "Kalau tidak, hilang itu. Kami mau meneruskan."
Suatu siang, setelah menyusuri jalan trans-Sulawesi untuk melihat teluk-teluk cantik Majene, saya dan Dhemas, fotografer kami, mampir ke La Kayang. Kami mengunjungi Mochammad Aldy Akbar, yang sedang mengawasi pembangunan resor itu.
Aldy orang asli Mandar, tapi ia tidak bisa berenang. Sebab, Aldy tidak tumbuh di pesisir Mandar. Pria 33 tahun ini lahir di Gresik, Jawa Timur, dan dibesarkan di sana.
Sekalipun tidak tumbuh di Sulawesi, Aldy dibesarkan dengan tradisi Mandar. Ayahnya membiasakan Aldy menggunakan bahasa Mandar di rumah. Sang ayah punya lagu favorit yang diajarkan kepada Aldy sejak kecil: Wattu Timor di Pamboang, yang berarti Musim Timur di Pamboang. Yang dimaksud dengan musim timur adalah musim kemarau, saat angin muson timur bertiup. Ini adalah saat perahu Mandar, yang haluannya menghadap ke barat, pergi ke laut. Lagu ini, kata Aldy, menyembuhkan rindu ayahnya kepada Mandar saat masih dalam perantauan.
Di La Kayang, siang itu, Aldy dan Pai menyanyikan dan menerjemahkan liriknya untuk kami:
Musim Timur di Pamboang
Di waktu terang bulan
Berangkat sudah nelayan
Dibawa angin timur laut
Seberapa jauh mereka dari tanah kelahiran, betapapun zaman telah berubah, mereka tetaplah orang Mandar. Angin timur tetap akan bertiup.
Sulit Tersesat
KEBERADAAN Jalan Trans Sulawesi membuat akses menuju Kabupaten Majene di Sulawesi Barat sangat mudah. Dari Kota Makassar, Anda bisa menempuh perjalanan darat dengan memanfaatkan jalur ini. Jarak dari Makassar ke Taman Kota Majene sekitar 300 kilometer. "Kalau tersesat di sini, keluar saja. Cari Jalan Trans Sulawesi. Dari situ, kita lebih mudah lagi mencari," kata Muhammad Rifai, salah satu narasumber kami.
TRANSPORTASI
Udara
Tidak ada penerbangan langsung ke Majene. Anda bisa terbang ke Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar, lalu menempuh perjalanan menggunakan mobil ke Majene.
Darat
Transportasi darat yang tersedia dari Bandara Sultan Hasanuddin ke Majene adalah semacam angkutan travel. Biasanya berupa mobil berjenis station wagon, seperti Toyota Avanza dan Isuzu Panther. Biaya per kursi Rp 100 ribu. Mobil ini akan mengantar Anda langsung ke tempat tujuan. Biasanya mobil-mobil ini berangkat pukul 11 siang dari luar gerbang Bandara Sultan Hasanuddin. Begitu tiba di bandara, Anda bisa meminta taksi mengantar ke tempat mobil-mobil itu berada. Anda juga bisa menyewa satu mobil. Biayanya Rp 700-800 ribu. Bensin sudah ditanggung pemilik mobil.
Berkeliling di Majene
Karena sejumlah pantai berdekatan dengan Jalan Trans Sulawesi, menggunakan mobil atau sepeda motor merupakan pilihan yang pas untuk mengunjunginya. Sepeda motor lebih fleksibel. Anda bisa berhenti di pinggir jalan ketika menemukan sebuah teluk cantik dan ingin berfoto tanpa khawatir pengguna jalan lain terganggu.
AKOMODASI
Ada banyak penginapan di Majene. Tidak semua ada di pinggir pantai. Salah satu yang ada di dekat pantai adalah Hotel Villa Bogor Leppe. Tempat ini cukup familiar di kalangan sopir-sopi angkutan travel dari bandara Makassar. Untuk kamar deluxe (satu level di atas standard room), harga sewa per malam adalah Rp 495 ribu. Fasilitasnya: penyejuk udara, air panas, spring bed, televisi, dan sarapan. Hotel ini menyediakan pemandangan laut luas. Tempat makan berada di tebing dan langsung menghadap laut. Dari situ, Anda juga bisa melihat perkampungan nelayan di bawah.
Penginapan lain dengan harga sewa yang lebih murah adalah Sapo Mandar, yang lebih sering disebut Dapur Mandar karena, sebelum ada penginapan, tempat ini adalah rumah makan bernama Dapur Mandar. Harga sewa per malam Rp 250 ribu. Fasilitasnya: penyejuk udara dan spring bed. Televisi hanya ada di ruang tamu. Tidak ada air panas. Sementara Hotel Villa Bogor ada di atas tebing, Dapur Mandar ada di pinggir pantai.
PEMANDU
Salah satu pemandu wisata yang bisa mengajak Anda ke tempat-tempat snorkeling adalah Alim (nomor telepon seluler 0811255702). Dia tergabung dalam komunitas Mandar Underwater, yang punya kegiatan rutin spearfishing.
ATM
Anjungan tunai mandiri (ATM) yang banyak ditemui di Majene adalah ATM Bank BRI dan Bank BNI. Tidak ada ATM BCA. Tapi ada ATM BRI yang berlogo ATM Bersama.
KOMUNIKASI
Secara umum, sinyal ponsel dan Internet di Majene cukup bagus, walau ada beberapa tempat di mana sinyal bisa hilang.
Menyusuri Teluk-teluk di Majene
SALAH satu keuntungan berwisata pantai di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, adalah adanya jalan raya trans-Sulawesi yang menghubungkan pantai-pantai di sana. Kita bisa menyusuri teluk-teluk yang punya pemandangan cantik dengan mengikuti jalur trans-Sulawesi itu.
01. Pantai Dato
Pantai Dato terletak di Desa Pangale. Hotel yang dekat dengan pantai ini adalah Hotel Villa Bogor Leppe. Dari hotel itu, Anda bisa menyusuri jalan beraspal menggunakan sepeda motor atau mobil ke arah selatan sejauh 1,6 kilometer. Tidak ada penunjuk nama pantai. Jadi Anda harus bertanya kepada penduduk sekitar. Yang bisa dinikmati dari pantai ini adalah pasir putih dan pemandangan dari atas tebing.
02. Tanjung Rangas
Di peta Google, daerah ini bernama Ujung Rangas. Di tempat ini, Anda bisa melihat nelayan-nelayan sedang membuat atau memperbaiki perahu mereka. Biasanya, perahu-perahu itu dinamai dengan hal-hal yang mereka lihat di televisi. Duduk-duduk di tanggul sambil menikmati lampu-lampu perahu pada malam hari juga bisa menjadi pilihan aktivitas. Di tempat ini, ada seorang tokoh perahu sandeq bernama Djarun Pua Anwar atau yang biasa dikenal dengan nama Pua Nawar.
03. Dapur Mandar (Sapo Mandar)
Dapur Mandar adalah rumah makan, sedangkan Sapo Mandar nama penginapannya. Di resor yang hanya memiliki empat kamar tidur ini, Anda bisa menikmati matahari tenggelam sambil menyantap makan malam. Matahari terbenam tepat di depan tempat ini. Siang harinya, Anda bisa berenang. Sesekali ada nelayan yang melintas dengan perahu kecilnya. Anda juga bisa menyusuri pantai ke arah barat sejauh 1,5 kilometer untuk sampai di Taraujung, sebuah tebing karang. Dari atas tebing, Anda bisa melihat jernihnya air dan ikan-ikan yang berlalu-lalang di dalamnya.
04. La Kayang Resort
Resor ini masih dalam proses pembangunan. Baru akan dibuka pada 24 November. Tapi Anda sudah bisa menikmati aktivitas snorkeling dan menembak ikan di sini. Menyaksikan matahari tenggelam juga bisa.
Kalender Festival
SELAIN menyajikan pantai-pantai di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat menawarkan berbagai festival yang bisa dihadiri. Beberapa festival itu juga diadakan di Kabupaten Polewali Mandar, di sebelah timur Majene.
Festival Sungai Mandar
Kalender FestivalDilaksanakan pada Maret. Akan ada panggung yang didirikan di pinggir Sungai Mandar—diisi pertunjukan kesenian tradisional dan kontemporer. Ada juga lomba lepa-lepa (sampan).
Sandeq Race
Pada Agustus-November, ada lomba balap perahu sandeq, ikon budaya bahari Mandar. Pada 2014, ada tujuh etape lomba ini, yaitu Makassar, Barru, Ujung Lero (Kota Parepare), Polewali, Majene, Sendana, dan Mamuju.
Pesta Rakyat di Tanjung Rangas
Setiap akhir Agustus, ada pesta rakyat di Rangas. Festival ini dibuat untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Rumah-rumah penduduk di Rangas dibuka untuk tamu. Mereka menyediakan makanan. Ada juga penampilan dari pemusik yang memainkan electone.
Festival Kuda Menari
Festival ini dikenal dengan nama sayyang pattudu. Diadakan pada Januari-Maret. Kegiatan ini biasanya diselenggarakan untuk merayakan seorang perempuan yang telah khatam Al-Quran. Dia dinaikkan ke seekor kuda dan diarak keliling kampung. Kuda itu akan menari ketika mendengar rebana ditabuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo