Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAJU sepeda motor kami terhenti di depan tebing setinggi hampir seratus meter. Jalan setapak pasir yang kami susuri sejak satu jam tadi berujung di sana: dinding kapur di depan dan sisi kanan, pepohonan dan semak di kiri. Saya memutuskan turun dari sepeda motor dan berjalan menembus semak.
Rekan seperjalanan saya, fotografer Tempo Aditia Noviansyah dan Apo, yang memboncengkannya, menunggu di atas sepeda motor. Setelah menembus lapisan semak terakhir yang bergerombol di antara dua pohon kelapa, di hadapan saya terhampar pasir putih melengkung sepanjang hampir satu kilometer. "Padahal saya sudah hampir putus asa karena tebing itu," kata Apo, yang rupanya menyusul dari belakang. Remaja 18 tahun warga asli Alor itu adalah pemilik motor yang kami sewa.
Berdiri menghadap pantai, tebing yang menghadang motor kami tadi kini berada di sisi kanan, bagai pagar raksasa yang membelah daratan hingga menjorok ke laut. Di bawahnya mencuat batu-batu karang yang terus berdesis dihantam ombak. Ada lubang setengah lingkaran di kaki tebing. Lebarnya hampir 20 meter, setinggi 5 meter. Ada pantai lain di balik lubang itu, terhubung dengan bukit-bukit landai.
Seorang perempuan paruh baya mendadak muncul dari balik karang bolong, membawa keranjang bambu yang diikatkan ke pinggang. Ia sedang mencari meting, kepiting kecil. Dia membenarkan itu Pantai Dulilaba. Dan bila kami meneruskan perjalanan menembus karang bolong itu, menurut dia, kami akan sampai di Desa Karangle. "Tapi masih berjam-jam lagi dan hanya bisa didatangi dengan berjalan kaki," ujarnya seraya kembali sibuk mencari meting.
Rabu siang tiga pekan lalu itu, menggunakan dua sepeda motor, kami berkendara dari Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, menuju Desa Maritaing. Kalabahi berada di ujung barat Pulau Alor, sementara Maritaing di ujung timur. Ini perjalanan membelah Alor sepanjang sekitar 120 kilometer, berkelok selama hampir empat jam untuk mencari Dulilaba, pantai berpasir putih yang hanya dikenal segelintir orang. Berkali-kali kami harus melewati jalan setapak curam dan licin yang menciutkan nyali.
KABUPATEN Alor merupakan kepulauan yang dikepung laut biru kehijauan, berpenghuni sekitar 200 ribu orang. Ada 20 pulau di wilayah ini. Kebanyakan penduduk tinggal di Kalabahi, Pulau Alor, yang juga merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian. Pulau lain yang berpenghuni cuma Pantar, Pura, Tereweng, Buaya, Ternate Kecil, dan Kepa.
"Di sini perahu lebih penting ketimbang punya mobil," kata Rahman Marang, nelayan di Kalabahi yang rumahnya kami singgahi saat pertama kali tiba di Alor, pada Sabtu empat pekan lalu.
Mula-mula saya dan Aditia mendatangi Pantai Sebanjar di Desa Alor Kecil, Kecamatan Alor Barat Laut. Hanya setengah jam bersepeda motor dari Kalabahi, jalan menuju ke sana sudah beraspal hotmix. Untuk sekadar bersantai, pantai ini lumayan nyaman. Bibir pantainya bersih. Pulau Ternate dan Buaya terlihat jelas dari pantai ini.
Dalam perjalanan pulang ke Kalabahi, kami singgah di dermaga Desa Alor Kecil. Pelabuhan kecil ini merupakan gerbang laut utama yang menghubungkan Pulau Alor dengan Pulau Kepa, Pura, Ternate, dan Buaya. Di sana kami bertemu dengan Herliz Tuppong, tuan kapal—sebutan untuk pemilik perahu—yang bersedia mengantarkan kami ke Ternate, Pantar, dan Kepa, keesokannya harinya.
Penduduk di sekitar pantai Alor umumnya beragama Islam. Menurut sejarah lokal, Islam masuk ke Alor pada abad ke-16 Masehi dibawa oleh pengembara dari Kesultanan Ternate. Di Desa Alor Besar, Kecamatan Alor Barat Laut, ada Al-Quran dari lembaran kulit kayu yang diyakini sebagai Al-Quran tertua di Asia saat ini. Meski demikian, menurut Herliz, mereka masih terus melakukan ritual-ritual adat. "Kami menggelar pou hari untuk menghormati leluhur, laut dan penghuninya," ucapnya.
Herliz menyarankan kami bertemu dengan Muhammad Kari atau biasa disapa Bapa Sere, pembaca mantra dalam ritual pou hari. Rumahnya tepat di depan dermaga. Pertemuan itu juga bermakna kulonuwun dalam adat Jawa agar kami diberi keselamatan selama berkeliling di laut Alor.
Restu dari pemegang adat dianggap penting karena Alor sejak dulu dikenal sebagai pulau mistis. Hingga 1970-an, masih banyak suanggi—penganut ilmu hitam—di daerah ini. Marang, 74 tahun, ayah Rahman Marang, bercerita, sewaktu muda, ia sering bertemu dengan para suanggi. Ia menyaksikan sendiri mereka terbang, lalu turun untuk mengambil makanan penduduk tanpa ada yang berani melawan. "Kalau mereka lewat pasti terdengar suara kentut yang tak terputus," ujarnya dengan bahasa Indonesia terpatah-patah.
Meski demikian, ritual pou hari tak ada hubungannya dengan suanggi, tapi dengan laut dan isinya. "Hidup kami bergantung pada laut. Ia yang memberikan keselamatan kepada kami," kata Bapa Sere, 56 tahun. Ia pemeluk Islam, tapi menegaskan bahwa pou hari juga tak berhubungan dengan agama.
Penduduk NTT umumnya memiliki budaya bahari yang kuat. Alor salah satunya. Dari berbagai catatan, penduduk Alor mulai mengenal pelayaran sejak abad ketujuh, saat pedagang Arab, India, dan Portugis mulai ramai datang membeli cendana.
Tradisi pou hari, menurut Bapa Sere, berakar pada legenda setempat. Dulu kala ada suami-istri di Pulau Alor yang baru dikaruniai anak. Mereka membuat pesta dan mengundang para makhluk laut. Makhluk laut yang laki-laki semuanya bernama Mojimo alias Mojemosemo, yang perempuan Buihari alias Penatuhari. Kala itu makhluk darat dan laut hidup akrab. Mojimo dan Buihari pun datang dan ikut makan besar di daratan. Di pesta itu, mereka meminjam ayunan dan menidurkan anak mereka di sana.
Seorang warga desa yang penasaran menyingkap kain penutup ayunan hendak melihat anak makhluk itu. Ternyata yang di ayunan itu seekor ikan berukuran betis pria dewasa. Diam-diam dia bersama temannya memasak dan memakan ikan itu. Pasangan makhluk laut marah besar. Mereka kembali ke laut dan tak lagi saling menyapa dengan orang Alor. "Leluhur kami mengalami masa paceklik sejak mereka marah," ujar Bapa Sere.
Pou hari berarti memberi makan. Prosesi adat itu diperkirakan sudah berumur ratusan tahun. Hampir tiap Oktober, ritual pou hari digelar untuk memberi Mojimo dan Buihari dengan makanan berlimpah.
Mereka memasak kambing bakar, nasi, dan sayur. Makanan tersebut lalu dimasukkan ke potongan buluh yang telah disisipi dengan tembakau dan sirih. Buluh-buluh itu lalu ditenggelamkan di laut. "Saat itu sambil dibaca mantra berbagai permintaan para penduduk daratan kepada mereka," ujar Bapa Sere. Salah satunya meminta pengobatan apa bila ada yang sakit karena terlalu banyak melaut.
Upacara adat itu digelar di bawah pohon beringin di Pulau Kepa. Pohon itu tumbuh hanya beberapa meter dari bibir pantai berpasir putih. Orang Alor menyebut tempat persembahan seperti di Pula Kepa itu mesbah. Menurut kepercayaan setempat, laut di sekitar mesbah tak boleh direnangi.
MENETAP di Pulau Kepa berasa lupa kehidupan kota. Pulau seluas dua hektare itu hanya ditinggali 15 keluarga. Dua tahun belakangan, mereka baru mengenal listrik. Itu pun dengan memanfaatkan solar cell sebagai sumber listrik. Tak punya sumber air, mereka mengambil air tawar dari Desa Alor Kecil, yang berjarak sekitar 300 meter menyeberang laut. Namun pulau itu subur. Ada banyak pohon asam, jagung, bahkan pohon kelapa yang jarang terlihat di Alor.
Di Pulau Kepa, kami menginap di La P'tite milik suami-istri berkewarganegaraan Prancis, Cedric dan Anne Lichate, 45 dan 42 tahun. Walau tampak lembut, Anne tak mau berkompromi bila ada tamu yang ingin menyelam tapi tak bersertifikat penyelam. Laut Alor hanya ditujukan kepada para penyelam yang mahir. Menurut dia, surge—gerakan mengayun karena gelombang laut—di perairan Kepa amat kuat. "Peserta penyelaman kami harus pernah menyelam minimal 30 kali," kata Anne, yang sudah fasih berbahasa Indonesia, bahkan bahasa Alor.
Menurut dia, dasar laut di sekitar pulau-pulau Alor memiliki keindahan kelas dunia setara dengan Karibia. Di sana penyelaman bisa dilakukan saat malam. Setidaknya ada 18 titik penyelaman di Alor—disebut Baruna's Dive Site. Terdapat beragam biota laut dan koral berwarna-warni di titik-titik tersebut. Salah satunya dudong dugon atau duyung, mamalia laut pemakan daun yang tergolong langka.
Hari pertama di Pulau Kepa, Herliz Tuppong mengantar kami berkunjung ke mesbah di sisi barat pulau itu. Beringin tua yang menjadi pusat ritual itu memiliki diameter sekitar tiga meter dan tinggi lima meter. Daunnya tinggal sedikit. Akar-akar udaranya telah berubah menjadi seperti batang yang kokoh mengelilingi pohon induk. Terdapat cawan bekas pembakaran kemenyan di bawahnya. "Ini tempat sakral, kita harus cepat," ujar Herliz tampak gugup.
Dari mesbah, Herliz menggeber perahunya menuju Pantai Tuabang di Pulau Pantar. Jauh dari permukiman, pantai ini sepi pada siang hari. Menjelang sore, barulah satu per satu anak-anak pulau muncul. Mereka membawa kacamata renang dari kayu dan kaca serta menenteng panah ikan yang dibuat mirip senapan. Jo, nama panggilan bocah yang terlihat paling tua dan tinggi badannya, membawa panah paling panjang, sekitar satu meter.
Tanpa bantuan fin dan goggle seperti yang kami kenakan untuk snorkeling, mereka bergerak lincah di dalam air dan memanah ikan dengan cekatan. Dalam tempo sepuluh menit, Jo sudah mendapatkan enam ekor bawal seukuran telapak tangan. Saya mencoba memanah menggunakan peralatan milik Jo, tapi selalu gagal.
Esoknya kami ke Pantai Ling Al di Desa Halerman, Alor Barat Daya. Pertama kali kami mendengar tentang pantai ini dari Mansyur, kemenakan Bapa Sere. Menurut Rahmat Minggik, ketua rukun tetangga di Pulau Kepa, pantai ini tak bisa ditempuh lewat darat. Semalaman ia merayu kami agar mau menggunakan perahunya. Semalaman juga kami tawar-menawar harga sewa perahu yang ternyata milik adik iparnya.
Butuh waktu empat jam berperahu ke Ling Al. Meski demikian, perjalanan itu saja sudah sangat mengasyikkan. Saat mendekat Pulau Pura, sekawanan lumba-lumba menyambut perahu kami: mendongakkan moncongnya ke atas permukaan laut, lalu menghilang lagi ke dalam air.
Dari perahu, kami bisa melihat bibir pantai di sisi barat Pulau Alor. Tapi banyak karang di sepanjang pantai itu. Perahu sulit merapat.
Sepanjang perjalanan, kami dihibur Rahmat dengan kisah-kisah lucu dan candaan. Ia selalu tertawa sambil menganga, menunjukkan giginya yang lebih menonjol daripada bibirnya. "Aaaiiih, Bapa," katanya setiap mengakhiri cerita.
Pantai Ling Al memang luar biasa. Hanya ada pasir putih di sepanjang permukaan pantai yang melengkung itu. Saking jernihnya, bayangan perahu terlihat sangat jelas di dasar laut. Dalam bahasa setempat, ling berarti tebing dan al artinya besar. Di sana terdapat tebing yang miring sehingga membentuk bayang-bayang teduh di bawahnya. Rahmat mengatakan dulu pantai ini merupakan persinggahan nelayan untuk berteduh sambil menjemur ikan.
Pantai ini mulai populer setahun belakangan. Para pemuda Desa Halerman mengutip Rp 50 ribu dari setiap rombongan yang datang. Menurut Yafet Makanker, salah satu pemuda desa yang hanya dihuni 12 keluarga itu, pungutan mereka serahkan untuk dana kas desa. Setelah membayar, kami menuliskan nama di buku tamu yang Yafet tunjukkan.
Sekitar sepuluh meter dari bibir pantai, ada sebuah makam tua. Yafet mengatakan itu makam seorang prajurit bernama Mespa, nenek moyang mereka di Alor Barat Daya. "Dari kisah para orang tua, pantai ini pernah jadi tempat pembacaan sumpah perdamaian di antara suku yang dulu berperang," ujarnya.
PURNAMA menemani kami setiap malam di Alor. Seperti saat berperahu menyusuri rute pulang dari Pulau Buaya dan Ternate, permukaan lautan menjadi terang dan bayangan perahu kami bergoyang mengikuti irama ombak.
Demikian pula ketika kami kembali dari Pantai Ling Al malam berikutnya, laut di sekitar kami seperti berpendar. Tiba kembali di La P'tite, kami ditemani Anne mengobrol, melepas lelah di bawah siraman cahaya bulan ditemani sebotol bir dingin.
Ibu dua anak itu ternyata gemar bertualang. Ia pernah mengelilingi Pulau Alor sehingga tahu pantai mana saja yang indah. Anne memberi tahu ada satu pantai yang pernah ia datangi dua tahun lalu. "Letaknya tersembunyi di dekat Desa Maritaing. Saya belum pernah mendengar ada turis lain dan media massa yang pernah ke sana," katanya sambil tersenyum. Yang dia maksud Pantai Dulilaba.
Awalnya kami tak terlalu tertarik karena, menurut Anne, sangat sulit mencapai pantai itu. Lokasinya hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki, setelah berjam-jam berkendara membelah Pulau Alor. Membayangkan perjalanan itu saja sudah membuat kami pegal. Belakangan, cerita Anne membuat kami penasaran.
Sekembali dari Pula Kepa itulah kami bersepeda motor menuju Desa Maritaing. Saya menunggang Suzuki Smash, Apo—yang kami kenal saat nongkrong di Kalabahi—memboncengkan Aditia dengan Honda Tiger. Anne memfotokopi peta Alor miliknya untuk kami. Peta itu sudah penuh dengan catatan nama dan arah.
Jalan raya dari Kalabahi hingga Desa Maritaing sudah beraspal mulus. Godaan untuk menarik gas sekencang mungkin merupakan tantangan terberat perjalanan ini. Saat kami memasuki Kecamatan Alor Timur Laut, jalanan mulai sepi. Tidak ada kendaraan lain yang melintas selain sepeda motor kami. Setiap orang di jalan pasti memperhatikan kami. Saya tersenyum, mereka membalas senyum sambil menganggukkan kepala. Kadang saya membunyikan klakson untuk menyapa, mereka langsung mengangkat tangannya.
Mayoritas penduduk Alor beragama Katolik dan Islam. Mereka hidup rukun tanpa ada konflik agama dan ras. Gereja dan masjid berdiri berdampingan dengan damai di tiap wilayah. Penduduk pesisir umumnya beragama Islam dan para penganut Katolik tinggal di perbukitan. "Tak pernah ada konflik antara kelompok Islam dan Katolik," ujar Ajun Komisaris Besar Dominicus S. Yempormase, mantan Kepala Kepolisian Resor Alor, saat kami tak sengaja bertemu di Kalabahi.
Orang Alor ternyata ramah, di balik wajahnya yang keras. Pertama berjumpa, para prianya memang tampak menakutkan. Sehari-hari mereka menenteng parang keluar-masuk kampung. Saat kami berkendara di perbukitan sepi menjelang Pantai Dulilaba, tiba-tiba dari balik pepohonan muncul dua pria gempal bercelana pendek dan bertelanjang dada. Keduanya menenteng parang. Wajah mereka kecut, menatap kami dengan pandangan heran.
Menghentikan sepeda motor, saya memberanikan diri bertanya jalan menuju Desa Karangle. Keduanya menarik sedikit bibirnya ke atas. Kami pun tenang, mereka tersenyum walau secuil. Padahal kami sempat waswas saat mereka menunjukkan arah dengan mengacung-acungkan parang.
Medan yang berat membuat perjalanan kami agak tegang. Beberapa kali ban sepeda motor Apo selip dan nyaris terperosok ke jurang, saat kami menyusuri setapak berbatu yang licin dan tanjakan dengan kemiringan hingga 50 derajat. Setidaknya tiga bukit harus kami lewati untuk sampai ke Pantai Dulilaba.
Hari sudah beranjak senja ketika kami akhirnya tiba. Tapi rencana menginap di sana terpaksa batal. Apo mengaku mendapat panggilan telepon dari ibunya, meminta dia pulang. Padahal tidak ada sinyal telepon di sana. Saya menduga ia takut karena pantai itu sangat sepi.
Kami pun balik kanan, menembus jalanan yang mulai gelap dan sepi, kembali ke Kalabahi. Tapi kami pulang tetap dengan hati senang, merasa menjadi orang luar Alor yang paling awal menyentuh pasir putih halus, menikmati karang dan bermain di air sebening kaca di Dulilaba.
Ketinting di Alor
JALANAN di sisi utara Pulau Alor umumnya beraspal sehingga mudah ditempuh kendaraan bermotor. Namun matahari yang terik akan membuat para pendatang mudah lelah. Jadi siapkan selalu air mineral, krim pelindung kulit, topi, dan payung jika perlu.
TRANSPORTASI
Alor dapat dijangkau dari Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Antarpulau bisa ditempuh dengan ketinting.
Udara
Jakarta-Kupang
Hampir semua maskapai penerbangan domestik melayani rute dari Jakarta ke Bandar Udara El Tari, Kupang, setiap hari. Harga tiket Rp 650 ribu-1,5 juta. Waktu tempuh rata-rata empat jam.
Bali-Kupang
Hanya Garuda Indonesia yang setiap hari terbang dari Denpasar ke Kupang. Nam Air, Kalstar, dan Wings Air melayani rute yang sama hanya pada akhir pekan. Harga tiketnya rata-rata di atas Rp 1 juta.
Kupang-Alor
Maskapai Transnusa setiap pagi terbang dari Kupang ke Bandara Mali di Alor. Pada Sabtu dan Ahad, Wings Air melayani dua kali penerbangan menggunakan pesawat baling-baling jenis ATR. Harga tiket rata-rata Rp 500 ribu. Waktu tempuh sekitar 45 menit. Tiket bisa dibeli secara online.
Laut
Kupang-Alor
Feri milik PT Pelni berlayar dari Pelabuhan Bolok, Kupang, ke Pelabuhan Kalabahi, Alor, dua pekan sekali. Berangkat pukul 03.00, tiba pukul 16.00.
3. Transportasi Lokal
- Tarif ojek dari Bandara Mali ke Kalabahi rata-rata Rp 25 ribu. Dari Kalabahi ke Desa Maritaing bisa mencapai Rp 200 ribu.
- Ojek juga menyediakan jasa penyewaan sepeda motor. Tarifnya Rp 50-200 ribu per hari. Petugas hotel bisa membantu mencarikan sepeda motor sewaan.
- Angkutan umum di Alor--disebut oto--hanya melayani rute dari Terminal Kalabahi ke pelabuhan dan pasar. Ongkosnya Rp 3.000 dan beroperasi sampai magrib.
- Jasa penyewaan mobil bisa dihitung jari. Harga sewa mobil jenis Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia paling murah Rp 1,75 juta per hari.
- Perahu dan perahu motor atau ketinting milik nelayan bisa disewa untuk berkeliling pulau-pulau di Alor. Harganya tergantung jarak. Dari Pulau Kepa ke Pantai Ling Al, misalnya, rata-rata Rp 800 ribu.
PENGINAPAN
- Ada belasan penginapan dan hotel di Kalabahi. Harganya Rp 75-400 ribu per malam.
- Di luar Kalabahi hanya ada dua penginapan, yaitu bungalo La Petite di Pulau Kepa dan Cottage Javatoda di Pulau Pantar. Keduanya menyediakan jasa penyelaman.
- Jika terpaksa bermalam di daerah yang tak ada penginapannya, jangan sungkan mengetuk rumah kepala kampung.
KULINER
- Rumah makan hanya ada di Kalabahi, semuanya ala Padang dan Jawa, halal dan murah. Tidak ada rumah makan tradisional khas Alor. Karena itu, setiap perjalanan ke luar Kalabahi, sebaiknya membawa bekal.
- Hidangan laut hanya terdapat di Pantai Reklamasi, yang bersebelahan dengan Pelabuhan Kalabahi. Ada lima rumah makan, buka mulai pukul 16.00 hingga tengah malam.
ATM
Hanya ada tiga bank dan semuanya di Kalabahi, yakni BRI, BNI, dan Bank NTT. Ketiganya sudah terhubung dengan jaringan ATM Bersama. Sebaiknya selalu membawa uang tunai yang cukup jika bepergian.
RETRIBUSI
Selain Pantai Ling Al dan Desa Takpala yang dikutip Rp 50 ribu per rombongan, kawasan wisata lain bisa dinikmati dengan gratis.
TELEPON
- Hanya jaringan Telkomsel yang aktif di Alor dan sekitarnya. Masih banyak lokasi blankspot di darat dan laut. Akses Internet cuma bagus di Kalabahi.
Pasir Putih dan Putri Duyung
ALOR adalah surga bagi penyuka pantai dan penyelam. Ada banyak pilihan pantai, dari berbatu koral hitam hingga berpasir putih. Hampir seluruhnya belum banyak terjamah wisatawan. Penikmat budaya juga akan senang karena kebanyakan desa di sini masih mempertahankan ritual dan adat istiadat. Meskipun tampang mereka sangar—para prianya suka bertelanjang dada dan membawa parang ke mana-mana—masyarakat Alor amat ramah kepada tamu.
01. Kalabahi
Pusat transportasi laut, pelabuhan utama distribusi logistik, dan pusat kuliner di Alor.
02. Pantai Sebanjar
Dangkal dan berarus lemah, pantai ini cocok untuk belajar snorkeling. Tak banyak taman laut di sini.
03. Pantai Baolang
Di sini pengunjung bisa mendapatkan air tawar yang bersih dan segar hanya dengan mengorek pasir di bibir pantai. Pantai berbatu cadas ini amat cocok untuk menikmati senja sambil menyaksikan matahari perlahan menghilang dari balik Pulau Buaya, Ternate, dan Pantar.
04. Pulau Kepa
Di sisi selatan pulau terdapat hamparan pantai berpasir putih yang menawan. Sedangkan di sisi barat tumbuh sebatang beringin tua yang menjadi pusat ritual pou hari, yakni upaya adat untuk memberi makan "makhluk" laut. Waspadalah jika berenang dan snorkeling di sekitar pulau ini, karena menjadi titik pertemuan dua arus laut.
05. Pantai Tuabang
Jauh dari permukiman, pantai berpasir putih di Pulau Pantar ini jarang dikunjungi turis. Taman lautnya masih asli dan kaya dengan ikan berwarna-warni.
06. Pantai Kawaka
Pantai di Pulau Ternate ini kaya akan tumbuhan laut dan ikan. Para pemandu lebih sering membawa turis mancanegara ke sini karena memiliki taman laut paling luas. Tapi snorkeling di pantai ini harus berhati-hari karena dangkal dan berbatu cadas.
07. Baruna's Dive Site
Surga bawah laut di perairan sekitar Pulau Kepa, Pantar, Ternate, dan Tereweng ini disebut-sebut menyaingi taman laut di Karibia. Terdapat 18 titik penyelaman yang bisa didatangi siang dan malam. Di sini para penyelam bisa bertemu dengan paus, hiu, pari, ikan kecil yang manis dan berwarna-warni, hingga ikan langka seperti mola-mola, lumba-lumba abu-abu, bahkan dugong dugon atau duyung—dalam bahasa Melayu berarti perempuan laut—satu-satunya mamalia laut herbivora yang kini terancam punah.
08. Pantai Ling Al dan Pasir Panjang
Tersembunyi di bagian selatan Alor, pantai berpasir amat putih dan halus ini bisa dicapai dengan berperahu selama tiga-empat jam dari Desa Alor. Sangat cocok untuk bersantai dan berenang bersama keluarga. Bersebelahan dengan Ling Al, terletak Pantai Pasir Panjang yang landai, berbatasan dengan bukit berpadang rumput. Namun harus hati-hati berenang di Pantai Pasir Panjang. Meski dangkal, gelombang lautnya lumayan kencang.
09. desa Maritaing
Jepang pernah membangun dermaga di desa yang terletak di ujung paling timur Pulau Alor ini.
10. Pantai Duli
Pantai berkoral hitam dan curam, lebih cocok untuk tempat bersantai.
11. pantai Dulilaba dan Karang Bolong
Pantai paling tersembunyi di Alor.
12. pantai Batu Putih
Teduh lantaran terlindung tebing setinggi sekitar 50 meter di sisi kiri, pantai ini sangat nyaman untuk bersantai di siang hari. Tak berpasir, pantai ini ditutupi batu dan pecahan karang putih sebesar dua ruas ibu jari yang tidak akan lengket di tubuh saat kita merebahkan diri.
13. Desa Takpala
Dihuni suku Abui, di Desa Takpala terdapat 15 rumah tradisional Alor. Warga desa ini hidup secara tradisional. Dulu mereka suka berperang dengan suku-suku lain di sekitar Alor.
14. Pulau Buaya
Disebut buaya karena, jika dilihat dari kejauhan, bentuk pulau ini seperti kepala dan tubuh buaya. Selain pantainya, pulau ini dikenal karena merupakan sentra perajin kawake, tenunan khas Alor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo