Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mussolini atau sebutir debu

Benito mussolini seorang diktator italia yang pernah berjaya pada masa perang dunia ke-1. Dia disanjung rakyatnya, kemudian dibencinya sampai masa kehancurannya. Dituturkan oleh Jack Gourlay. (sel)

5 Januari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ITALIA. Tanah kelahiran sebuah bangsa yang selama berabad-abad menjadi penguasa dunia. Tanah yang pernah terpecah-pecah dan menjadi rayahan bangsa-bangsa bekas jajahannya. Di akhir abad ke-19, adalah Italia pula yang mencoba kembali menegakkan kepala: negara yang baru saja bersatu, raja yang baru belajar memerintah, parlemen dan kabinet yang silih berganti, dengan partai-partai yang belum dewasa, belum mampu membuat rakyat mengenal suasana damai dan sejahtera. Di Italia yang seperti itu tak mengherankan jika benih-benih sosialisme dan anarkisme tumbuh subur. Terutama di Romagna, wilayah timur laut yang terletak antara lereng-lereng Appenine dan kebiruan Laut Adriatik, yang penduduknya dari dulu miskin dan baru saja lepas dari penguasaan Napoleon dan kekuasaan paus setelah huru-hara berdarah yang panjang. Mikhail Bakunin, anarkis Rusia itu, punya banyak penganut di situ. Salah seorang penganut itu bernama Alessandro Mussolini, pandai besi muda dari Desa Dovia, Predappio. Orang ini, yang dalam usia 21 mendirikan cabang organisasi kiri Internasional I, bahkan pelopornya. Di rumahnyalah pertemuan dan ceramah-ceramah sosialis sering diadakan. Di suatu Minggu yang cerah, 29 Juli 1883, istri Alessandro, Rosa - seorang guru keturunan borjuis, yang, meski mengagumi pandangan suaminya, masih teguh memegang agama - melahirkan anak pertama. Alessandro memberinya nama panjang: Benito (untuk Benito Juarez, pahlawan revolusi Meksiko) Amilcare Andrea - (untuk dua tokoh sosialis Italia). Rosa tak keberatan dengan nama Benito Amilcare Andrea Mussolini ini. Dia cuma minta satu hal: sang bayi dibaptis. Alessandro dengan segan menyetujuinya. Benito cilik segera terperangkap dalam kemiskinan. Ayahnya terlalu aktif dalam pergerakan untuk cukup punya waktu buat pekerjaannya. Gaji ibunya terlalu kecil. Apalagi tak lama kemudian adik-adiknya lahir: Arnaldo, laki-laki, dan Edvige, perempuan. Rumah yang mereka tinggali - dua ruang penuh nyamuk, dengan dinding-dinding retak dan lembap - terlalu sempit untuk berlima. Cuma ada satu ruang sisa: sebuah kelas, tempat Rosa mengajar, yang juga lumbung gandum di musim panas. Benito dan si gemuk Arnaldo tidur di karung berisi daun jagung, di ruang yang juga dapur dan gudang kayu bakar. Edvige dan kedua orangtuanya di ruang satunya lagi, yang juga ruang tamu dengan kursi-kursi kayu kasar dan sebuah kotak penuh buku, surat kabar dan brosur sosialis - bacaan Benito sejak kecil. Di dinding ruang itu tergantung gambar pemersatu Italia, Garibaldi - dan, sebelum dicopot, Perawan Suci Maria. Di lingkungan seperti itu - terutama di bawah ibunya yang ambivalen - Benito tumbuh liar, keras kepala, bandel, pemberontak. Tak ada yang mampu menguasainya. Bahkan kepada orangtua dan adik-adiknya ia tak bisa menunjukkan rasa sayang. Di sekolah, di bawah ancaman gebuk ibunya, tiap hari dia merangkaki kolong meja untuk mencubiti kaki teman-temannya. Dia tak pernah mau masuk gereja. Ada-ada saja alasannya: tak tahan bau dupa, asap lilin, atau suara piano. Dia lebih suka menanti di luar, duduk di pohon sambil melempari anak-anak yang lewat. Rosa tak mampu memaksanya. Di rumah, duduk menunggu ayahnya sambil bergumam mengutuk para "si hitam" - istilah untuk kaum rohaniwan. Alessandro memang membenci mereka, dan kebencian itu diwariskan kepada anaknya. Tetapi ia ayah yang baik, yang selalu sedia menasihati dan menyenangkan hati putra-putrinya. Juga keras dalam mengajar disiplin. Tiap kali dia bekerja membikin tapal kuda, mata bajak, atau pekerjaan lain - dia suruh Benito memompa puputan. Pukulannya selalu sedia jika si anak kurang perhatian atau mengejapkan mata karena asap atau percikan api. "Lebih baik gebukan bapakmu sekarang daripada gebukan orang lain nanti," begitu ajarannya. Suatu saat Benito betul-betul dipukul orang. Dan, Alessandro memerintahkannya membalas. Benito lalu mencari orang itu lagi, dan menghantamnya dengan batu yang telah diruncingkan di bengkel. Sejak itu dia beranggapan, orang yang takut digertak adalah pengecut. Karena itu, dia sering pulang dengan pakaian kotor dan penuh darah. Tapi yang mengherankan, selain nakal, Benito juga pelamun. Biasanya menggantang asap itu dilakukannya berjam-jam, sambil mengawasi burung-burung yang beterbangan atau merenungi lembah di bawah. Dia juga punya teman seorang wanita tua, La Vecchia Giovanna, yang mengajarinya mantra-mantra sihir. Melihat perkembangan anaknya itu Rosa menjadi takut. Dia juga khawatir akan seringnya penggerebekan polisi di rumahnya untuk mencari pamflet-pamflet dan manifes revolusioner. Maka, diambilnya keputusan: Benito harus disekolahkan ke Faenza, di bawah asuhan keras para pastor Salesian. Setelah berdebat sengit dengan Alessandro selama tiga hari, Rosa menang. Dan Benito harus segera berangkat. Dia sedih sekali. Sekolah, dalam bayangannya, sama saja dengan penjara. Kenyataannya sekolah itu lebih dari penjara. Tak satu pun disukainya di situ. Para pastor, murid-murid, hilangnya kebebasan, upacara gereja, pengawasan terus-menerus. Yang paling dibencinya adalah acara makan. Ada tiga golongan murid di situ: yang uang sekolahnya 60 lira, yang 40 lira, dan yang 30 lira. Mussolini termasuk yang terakhir, dan itu berarti makan di meja paling ujung, dengan roti yang sering keras dan basi. Kemiskinan tak pernah dirasakannya dulu - semua orang di kampungnya miskin. Tapi di sekolah ini dia segera menjumpai ketidakadilan sosial yang selama ini cuma didengarnya dari ajaran sang ayah. Untuk menghibur hati, dihabiskannya waktu untuk pelajaran yang paling dia senangi: sejarah kejayaan Romawi Kuno. Meski cerdas, ia mengacuhkan pelajaran lain. Setiap hari cuma sejarah dan pelajaran tertentu yang dibacanya. Di tepi bukunya sering ia menulis Roma Dovia, sambil mimpi membangun kembali kejayaan Roma. Benito tak bertahan sampai selesai di sekolah itu. Dua tahun kemudian dia dikeluarkan karena menusuk seorang temannya dengan pisau lipat. Kembalilah ia ke bengkel ayahnya selama satu tahun. Tahun berikutnya ia mulai belajar lagi. Kali ini di sekolah Giosue Carducci, penyair Italia terkenal dan pemenang Nobel, di Forlimpopoli. Benito, juga ayahnya, adalah pengagum Carducci. Di sekolah inilah untuk pertama kalinya si bocah menunjukkan keahliannya berpidato. Itu terjadi ketika Giuseppe Verdi meninggal, dan ia diminta membuat pidato penghormatan. Dengan kemeja dan dasi hitam yang penuh tambalan dan mulai luntur, ia tampil sedikit gugup. Tetapi begitu mulai bicara, keyakinannya tumbuh. Semua orang dibuatnya terpaku oleh suaranya yang menggelegar dan gerak tangannya yang efektif. Mula-mula dipujinya kegiatan politik Verdi ketika Kerajaan mulai berdiri. Tetapi tak lama kemudian pidato itu berubah menjadi pidato politik yang dengan keras mengkritik kondisi sosial saat itu. Besoknya, harian resmi partai sosialis, Avanti (Maju!), merasa perlu memuat dan mengomentarinya. Untuk pertama kali nama Benito Mussolini muncul di koran. Lima bulan kemudian, sesaat setelah ulang tahun ke-18, Mussolini lulus dan berhak mengajar di sekolah dasar. Nilai sejarah, bahasa Italia, dan sastranya tertinggi dari seluruh kelas. Sebuah kehidupan baru, yang memberinya hak untuk mengatur diri sendiri, terbentang di hadapannya. * * * Kehidupan dewasa itu diawalinya dengan mengajar di Gualtieri, Reggio Emilia - daerah paling "merah" di Italia - setelah ditolak di empat tempat. Saat itu, Februari 1902, gajinya 56 lira - yang empat puluh habis untuk pondokan dan makan. Kerutinan mengajar membuat ia bosan, dan kebosanan membuat ia mencari hiburan di luar. Itu ditemukannya pada wanita-wanita setempat - yang gadis, yang janda, yang punya suami. Tubuhnya yang tegap, meski agak pendek, dan wajahnya yang tak jelek, membuat ia cukup disenangi. Hanya, ia sering membalas kenikmatan yang diperolehnya dengan siksaan. Salah seorang dari mereka, seorang istri prajurit, pantatnya dia tusuk dengan pisau lipat yang selalu dibawanya. kelakuan seperti ini membuat ia tak disenangi para pejabat kota. Apalagi ia juga sering bicara keras, mengkritik orang-orang tua daerah itu sebagai "sosialis spaghetti" yang cuma bisa berdebat di balik gelas anggur. Puncak kejengkelan ini terjadi ketika ia berpidato untuk memperingati kematian Garibaldi, menggantikan penceramah yang tidak datang. Mussolini, yang digelandang ketika asyik berjoget dan minum-minum di sebuah rumah makan, berpidato selama satu setengah jam dengan jaket mengalungi leher dan baju basah oleh keringat. Inti pidatonya: "Garibaldi pasti lebih suka mati daripada hidup di Italia yang memalukan ini." Hari berikutnya kontrak kerjanya diputuskan, dan sebuah tiket pulang diberikan kepadanya. Tak mau lagi mengajar, dan tak mau ikut wajib militer, Mussolini minggat ke Swiss, 8 Juli tahun itu juga. Dua hari kemudian, setelah berkereta selama 36 jam, dia tiba di Kota Yverdon. Dua hari tinggal di sebuah penginapan kota itu, dan pada hari Sabtu ia pergi mencari kerja di Orbe bersama seorang tukang cat yang menganggur. Selama seminggu ia bekerja di Orbe sebagai buruh bangunan. Sehari sebelas jam, dengan gaji 32 sen per jam. Di sore hari, dengan badan capek dan urat-urat kaku, dia makan kentang panggang dan tidur di tumpukan jerami. Hari Minggu tanggal 20 Juli ditinggalkannya kotaitu. Ia ngacir ke Lausanne, sebuah kota di tepi Danau Jenewa. Seminggu kemudian uangnya habis dan dia terpaksa hidup menggelandang. Pengalamannya ini ditulisnya dalam sepucuk surat untuk Sante Bedeschi, temannya, 2 September 1902. "Pagi tadi aku makan sepotong roti, dan sore nanti aku tak tahu harus tidur di mana. Aku mengelilingi kota sampai perutku tiba-tiba merasa mulas. Lalu duduk di bawah patung William Tell di Taman Montbenon. Orang-orang pada melihat aku dengan jijik dan curiga, bahkan sedikit takut. "Pukul lima sore kutinggalkan tempat itu dan berjalan ke Ouchy. Kutelusuri lebuh yang membujur sepanjang pantai danau, dan senja datang. Di kegelapan, cahaya matahari terakhir dan gema lonceng tua yang penghabisan membuatku mengawang.... Suatu perasaan sedih tak berhingga mengungkungku, dan aku bertanya kepada diriku sendiri, di tepi danau itu, perlukah esok aku hidup. "Selagi melamun begitu, kudengar sebuah melodi yang manis, seperti lagu seorang ibu yang lagi menidurkan anaknya. Aku menoleh. Di depan Hotel Beau Rivage yang indah, sebuah orkes 40 orang sedang bermain. Aku bersandar di pagar taman, di tengah kegelapan dan dedaunan, dan mendengarkan dengan asyik. Musik itu menghibur pikiran dan perutku. Sekelompok orang yang lagi berlibur berjalan di lorong-lorong taman. Kudengar gemerisik pakaian dan geremang suara mereka dalam bahasa yang tak kumengerti. Sepasang orang tua lewat di dekatku. Tampaknya orang Inggris. Aku kepingin minta uang pada mereka supaya bisa tidur malam ini. Tetapi kata-kata itu terhenti di mulut. Wanita itu berkilauan oleh emas dan permata. Aku, roti pun tak punya. Aku mengutuk. Ah! Pikiran tentang anarki itu. Tak adakah hak bagi orang tertindas untuk membunuh orang yang menghisapnya". "Sampai pukul 11 malam aku melamun di WC umum, lalu sampai pukul 12 di sebuah tongkang. Angin berembus dari Savoy, dingin sekali. Aku kembali ke kota dan menghabiskan malam di bawah Crand Pont(jembatan besar). Paginya aku mengaca di jendela toko. Aku tak bisa mengenali diriku sendiri. Aku bertemu dengan seseorang dari Romagna. Kuceritakan apa yang kualami. Dia tertawa mengejekku. Aku menyumpah. Diberinya aku 50 sen. Kubilang terima kasih. Aku beli sepotong roti, lalu berjalan ke arah hutan. Rasanya, sungguh beruntung. Setelah jauh dari kota, kusikat roti itu dengan kerakusan seorang Cerberus. Dua puluh enam jam sudah aku tak makan." Beberapa minggu kemudian Benito memperoleh pekerjaan tetap: menjadi sekretaris dan propagandis Asosiasi Tukang Batu dan Pekerja Kasar Lausanne, dengan hak makan gratis di tiap pertemuan. Usianya 19 ketika itu, dan masih hidup menggelandang. Pada suatu pertemuan kelompok sosialis, ia berjumpa dengan Angelica Balabanoff, seorang Marxis dari keluarga borjuis Ukraina. Angelica, setelah mencari informasi kian kemari tentang anak muda yang tampak kelaparan ini, bertanya kepadanya, "Adakah yang bisa kubantu? Kudengar kau tak bekerja." Jawaban yang diperoleh Angelica, setengah histeris, seperti ini: "Tak satu pun. Aku sakit tak bisa apa-apa." Angelica tak tahu harus bilang apa. Sampai anak itu berkata lagi, "Aku lagi sial. Beberapa minggu lalu aku sebenarnya bisa memperoleh 50 franc, tetapi terpaksa kutolak." (Dia lalu mengutuk secara kasar). "Seorang penerbit menyuruhku menerjemahkan pamflet Kautsky-Revolusi Sebentar Lagi. Terpaksa kutolak. Aku tak begitu mahir bahasa Jerman." "Aku bisa. Dan aku sangat senang bisa membantumu," Angelica berkata. "Membantu? Mengapa?" Lagi-lagi setengah men jerit. "Mengapa tidak? Aku sosialis. Aku besar dalam keberuntungan yang tak kaupunyai. Tugaskulah untuk mengganti...." Dia terlalu lemah untuk menolak. Tampak sekali ia tak menyukai hal itu. Dia agak segan ketika diajak berjabat tangan. "Siapa namamu, Kamerad?" "Benito Mussolini." Tak sedikit pun Angelica menduga, gelandangan ini kelak akan menjadi penguasa Italia - dan musuh utamanya . * * * Hari-hari selanjutnya, Mussolini menghabiskan waktu bersama pengungsi dan pelajar Rusia, kaum Bohemian miskin dan para nihilis. Dia minum dan main cinta setiap saat dengan mereka. Dia membaca segala macam buku: Nietzsche, Schopenhauer, Stirner. Tetapi dia cuma membaca Manifesto di antara banyak karangan Marx. Dia selalu menempatkan diri sebagai musuh agama. "Kristus itu 'kan cuma laki-laki kerdil dengan pengikut para pengemis kasar - sampah Palestina," katanya. Dia juga masih sering bicara keras mengkritik aturan sosial. Tahun 1903 dia ditangkap dan dikembalikan ke Italia karena menyerukan pemogokan umum dan tindak kekerasan. Tak sampai seminggu kemudian dia sudah menggelandang kembali di Bern dan Lausanne. Dan meneruskan gaya Bohemiannya, sambil mengajarkan bahasa Prancis dan Italia. Ia menulis dan menerjemah. Juga sering menghabiskan waktu di perpustakaan Universitas Lausanne - satu-satunya kota yang tersisa baginya, karena dia telah diusir dari banyak kota lain akibat pidato dan tingkah lakunya. Kehidupan semacam ini baru berakhir November 1904, ketika raja Italia memberi amnesti kepada semua "pelarian". Mussolini pulang, Januari 1905, untuk menjalani wajib militer dan menyaksikan kematian ibunya. Di rumah, dilihatnya ayahnya benar-benar terpukul oleh kematian sang istri. Alessandro berhenti bekerja sama sekali. Juga dari semua kegiatan politiknya. Tiap hari kerjanya cuma minum dan melamun. Benito, yang baru pulang dari tugas militer, akhirnya tak tahan: dijualnya semua harta benda ayahnya, dan diajaknya orang tua itu pindah ke Forli untuk mengurus sebuah penginapan. Benito sendiri akhirnya memperoleh pekerjaan di Carnia, di Caneya di Tolmezzo. Polisi Forli segera mengirim pesan ke polisi setempat: "Si subversif Benito Mussolini kini di Tolmezzo, mengajar pada sebuah sekolah dasar salinan biografinya sudah dikirimkan ke Kepolisian Udine, demi kewaspadaan." Nama Mussolini akhirnya masuk arsip kepolisian. Pak Guru Mussolini tentu saja bukan guru yang baik. Dia sering menghantam meja dan menyumpahi muridnya. Sering mabuk dalam perjalanan ke sekolah, sambil membaca atau mengutip Carducci, dan sering jatuh tertidur di tengah jalan. Juga main cinta dengan siapa saja yang mau, dan mengancam mereka yang tak mau . Bahkan menderita sifilis - yang untung bisa di sembuhkan. "Ini tahun keruntuhan akhlak," katanya sendiri. September 1907 Mussolini meninggalkan Tolmezzo dan kembali ke Forli untuk membantu ayahnya menjaga warung. Ia juga memulai kembali pelajarannya. Awal 1908 ia ikut ujian Bahasa Prancis di Universitas Bologna. Dari 200 peserta, yang lulus 12 - dan ia nomor lima. Maka, ia pun berhak menyandang gelar "profesor", dan mengajar lagi di Oneglia. Tetapi tak lama. Bulan Juli ia ditahan, dan dipecat, karena menghasut petani Predappio untuk merampok ladang bagi-hasil. Lima belas hari kemudian ia dikeluarkan - dan menemukan dirinya jadi terkenal karena di beritakan oleh semua koran milik partai Sosialis. "Kamerad Mussolini" pun mulai muncul sebagai suatu nama. Yang lebih menyenangkannya: di rumahnya ayahnya telah menyediakan mainan baru: tiga orang gadis dan ibunya, seorang janda, pembantu warung. Setelah ditolak oleh dua yang tua, akhirnya dia memperoleh yang termuda: Rachelle, 16 tahun, pirang dan montok. Benito berjanji mengawininya setelah "menemukan jalan". Jalan itu segera ditemukannya. Setelah ia ditahan lagi selama 10 hari karena pidato tanpa izin, kepahlawanannya makin mencuat: dia ditawari menjadi sekretaris Dewan Serikat Pekerja Trent serta editor Avvenire del Lavoratore, koran dewan itu. Di Trent, yang waktu itu masih dikuasai Austria, "kepahlawanan" Mussolini malah makin diakui. Berkali-kali ia ditahan karena berbagai sebab terutama karena sering menyerang pemerintah Austria dan tokoh-tokoh gereja. Puncaknya terjadi ketika ia dituduh menghasut orang-orang Italia untuk berontak dan mencuri dinamit dari sebuah pos militer. Awal November, di tengah protes kaum sosialis, Mussolini dikawal ke perbatasan dan tak diizinkan masuk lagi. Ia terpaksa kembali le Forli. Di Forli ia menjadi editor La lotta di Classe (Perjuangan Kelas) yang juga sosialis, dan jadi kawin dengan Rachelle. Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan yang jorok dan lembap. September tahun berikutnya anaknya yang pertama, Edda, lahir. Sebulan kemudian, untuk pertama kali, ia ikut kongres nasional Partai Sosialis di Milan. Tak lama sesudah itu ayahnya meninggal pada usia 57. Kepada para pelayat, 3.000-an jumlahnya, ia berjanji meneruskan "sikap revolusioner" ayah tercinta. Dan itu dibuktikannya. Berkali-kali ia terlibat dalam kerusuhan di kotanya. Puncaknya terjadi ketika ia dengan sekitar 12.000 pengikut, melakukan asaran di jalanan. Hasilnya: sekali lagi masuk penjara. Hasil yang lain: berkas-berkasnya dirinya dikirimkan ke kantor pusat polisi di Roma. Dia telah menjadi tokoh nasional! Dia dijatuhi hukuman satu tahun. Tetapi atas tekanan Partai Sosialis di parlemen, tak lama kemudian ia dibebaskan. Pembebasan itu dirayakan di mana-mana, dan Mussolini dinobatkan tak hanya sebagai "wakil kaum Sosialis Romagna", tetapi juga sebagai "duce seluruh kekuatan revolusioner Italia". Dan kelihaiannya pun mulai tampak. Ia mulai mendominasi Partai, dan pada bulan Maret diangkat menjadi anggota Komite Eksekutif Partai - bersama Angelica Balabanoff, bintang penolongnya di Swiss dulu. Berakhirlah sudah masa menggelandang. Dan sebuah kekuatan baru muncul di panggung politik Italia. * * * Desember 1912, dalam usia 29, Mussolini pindah ke Milan untuk menjadi pemimpin redaksi Avanti, koran resmi Partai Sosialis. Langkah pertama yang dilakukannya adalah ini: memotong gajinya dari 700 menjadi 500 lira. Dia bekerja sangat keras untuk koran, Partai, dan wanita. Dia mendatangi seluruh pertemuan Partai di seluruh tanah air, dan dalam tempo relatif singkat berhasil mengangkat oplah Avanti dari 20.000 menjadi 100.000. Rachelle, yang cemburu dan kaget atas kenaikan bintang Mussolini, tiba-tiba muncul di kantor Avanti, dengan menggendong anaknya. Sang suami segera mencari rumah, dan memperolehnya di dekat Balai Kota. Mertuanya menyusul beberapa hari kemudian. Ketika pemilu tiba, Mussolini ikut mendaftar di Dewan Perwakilan, untuk daerah pemilihan Forli. Dia kalah. Lawannya dari Partai Republik jauh meninggalkannya. Dan kekalahan ini menyebabkannya tak yakin lagi akan kemampuannya untuk mencapai puncak melalui proses pemilihan - keyakinan yang sampai lama dipertahankannya. Bukan berarti ia kehilangan pamor. Ia justru makin populer, karena atas jasanyalah (dia cuma sekali berkampanye untuk dirinya sendiri, dan selebihnya untuk teman-temannya) Partai Sosialis memperoleh 53 kursi - yang tertinggi selama itu. Ketika genggamannya atas Partai makin kuat, ia pun mulai berani menentang arus. Bahkan melancarkan "Minggu Merah", suatu pemogokan umum, 9 Juli. Beribu-ribu orang mengikutinya membanjiri jalanan dengan bendera warna darah. Sayang, kerusuhan paling parah yang pernah dialami Italia itu dengan cepat bisa dipadamkan. Mussolini sendiri ditahan. Kecewa sekali dia. Kepercayaannya kepada Partai Sosialis hilang, sementara keyakinannya akan kekuatan brutal malah bertambah. Dan itu tak urung menuntunnya ke arah perpisahan dengan Partai. Ketika Perang Dunia I tiba, Partai Sosialis menyetujui sikap pemerintah untuk tetap netral. Mussolini, yang berdarah panas, mula-mula diam saja. Tetapi ketika sikap pemerintah agak berubah, secara terang-rangan ia menganjurkan Italia ikut perang. Di Avanti di ejeknya sikap partainya sendiri dengan keras. "Sebuah cara yang enak, karena cuma diam dan menunggu," katanya. Penentangan terang-terangan ini membuat dia dipecat dari Avanti 19 Oktober. Angelica Balabanoff mencoba membelanya, tetapi Mussolini malah marah. Disewanya sebuah ruangan, dan dipindahkannya barang-barangnya dari kantor Avanti ke situ. Tak lama kemudian, politisi, usahawan, dan wartawan bergantian mengunjunginya. Banyak orang menjadi curiga. Dan seolah menjawab kecurigaan itu, Mussolini, tanggal 28 Oktober, mengumumkan akan menerbitkan koran sendiri. Koran itu, Il Poppolo d'Italia (Rakyat Italia) terbit pertama kali di pagi berkabut 15 November 1914. Editorial yang ditulis Mussolini sangat berani ". . . Di masa seperti sekarang ini tak hanya jenazah yang harus bergegas . . . yang hidup bahkan harus lebih tergesa-gesa. Menunggu berarti terlambat." Tak sampai satu jam edisi pertama itu terjual habis. Dan begitulah seterusnya. Sementara itu, Avanti justru kian merosot. Tiga hari setelah terbitnya Il Poppolo, sirkulasi Avanti jatuh menjadi 25.000. Yang lebih menjengkelkan kaum sosialis adalah sebutan "koran sosialis" yang tetap dipakai Benito untuk korannya yang baru itu. "Siapa yang membiayai?" sergah Angelica. Memang banyak yang curiga bahwa Mussolini disubsidi pemerintah Prancis yang menginginkan Italia ikut berperang. Tetapi badan penyelidik yang dibentuk Partai Sosialis tak menemukan bukti. Margherita Sarfatti, kritikus seni Avantidan pacar Mussolini, yang berkunjung ke Il Poppolo, melihat koran itu berjalan hanya dengan 4.000 lira. Anak buah Mussolini tak menuntut bayaran apa-apa di nomor-nomor awal . Para anak buah itu, juga pengikut-pengikut barunya yang bukan sosialis, adalah para nasionalis pelajar, pekerja sindikalis, futuris, dan anak-anak muda yang membayangkan "perang" sebagai petualangan. Bersama mereka Mussolini membentuk gerakan yang dinamakannya Fasci d'Azione Rivoluzionarea - kelompok pemuda yang ingin perang. Untuk pertama kalinya kata fasci muncul - kata yang waktu itu cuma berarti "kelompok", dan yang nanti akan berubah menjadi seikat tongkat yang dibawa para pahlawan Roma serta dijadikan simbol perjuangan Mussolini. Fasci, bersama Il Poppolo, segera berpisah makin jauh dengan Partai Sosialis. Mereka bahkan berkalikali menyerang kaum sosialis, baik melalui artikel maupun demonstrasi. Hasilnya tak mengecewakan: dalam waktu singkat pengikut terkumpul, dan sirkulasi Il Poppolo meroket menjadi 100.000 - di akhir tahun pertama. Perang Dunia I malah makin menambah kepopuleran dan jumlah pengikutnya. Ia ikut maju ke medan perang, terakhir dengan pangkat kopral. Catatan hariannya selama perang tiap hari dimuat Il Popolo, dan selalu diikuti orang. Ketika Perang berakhir, nah - ia melihat kesempatan emas terbuka. Italia menang, memang, bersama Sekutu. Tetapi terlalu lemah untuk menentang para sekutunya itu. Negara itu, yang kehilangan 652.000 orang, cuma diberi Trentino, sementara klaimnya atas Dalmatia dan Fiume tak dilayani. Kebanggaan bangsa Italia tersinggung. Mussolini segera memanfaatkannya. Dia mengusulkan Dalmatia dan Fiume diduduki. Didatanginya setiap kelompok yang dulu setuju perang dan para veteran yang baru kembali. Dan yang kini menganggur. Diatahu, yang pertama membuat program untuk orang yang kebingungan itu adalah yang pertama mendapat kepercayaan. Betul. Tak lama kemudian dia telah menjadi juru bicara orang-orang kecewa itu. Bersama para pekerja yang telah didekatinya lebih dulu, dan para tuan tanah serta industrialis yang takut kepada komunis, mereka membentuk suatu kelompok kuat di bawah ketiaknya. Ia pun kemudian merasa siap untuk langkah berikutnya. Tanggal 23 Maret, Il Popolo mengumumkan akan diadakannya pertemuan untuk semua orang, tak peduli paham politik dan status ekonominya. Tujuannya: membuat program untuk menyelamatkan persatuan nasional. Ketika pertemuan itu diadakan, ternyata cuma 119 yang datang. Tetapi mereka mewakili hampir semua kelompok yang ada di Italia, termasuk beberapa orang sosialis teman Mussolini. Mussolini sudah siap dengan sebuah piagam: Fasci di Combattimento Kelompok Pekelahi. Piagam itu samar-samar memang harus begitu, mengingat beragamnya ideologi peserta. Mussolini cuma berkata, "Yang paling penting adalah berdiri. Kini kita adalah kenyataan. Nanti kita adalah aksi." Dan aksi itu men jadi kenyataan tak lama kemudian. Mussolini, yang menyadari perpecahan dan kegagalan partai-partai dalam mengatur pemerintahan, tahu apa yang harus dilakukan. Dia tak mau terjun ke dalam politik secara resmi. Sebaliknya, dia ingin memimpin sebuah kelompok pengatur - alias klik "dapur" - dari luar. Tak sampai sebulan setelah terbentuknya Fasci, dengan jumlah kelompok 82 buah dan anggota 14.000 orang, 107 kali perkelahian terjadi di jalanan melawan kaum sosialis. Puncaknya meletus tanggal 15 April, ketika pihak terakhir itu merencanakan membakar kantor Il Popolo. Mussolini, yang waspada, menyuruh seorang kepercayaannya, Vecchi, untuk mencari bantuan ke pos-pos polisi dan tentara - yang membenci sosialis karena sikap mereka yang keras terhadap para veteran perang. Bantuan segera terkumpul, dan 10.000 penyerbu dapat dipukul mundur. Tak hanya itu: Vecchi dan orang-orangnya bahkan berhasil membakar kantor Avanti. Squadristi, para pejuang jalanan fasis, telah menunjukkan kehebatannya. Dua hari kemudian Avanti terbit lagi - dan mengumumkan, "akan bangkit lagi dari abu, lebih hebat dan lebih kuat." Il Popolo sendiri menulis, "Apa yang terjadi di kantor Avanti adalah gerakan spontan rakyat melawan Leninisme." Gengsi Mussolini naik seketika. Dia lalu berkeliling Italia, berpidato dan mencari dana. Uang mengucur deras dari para industriwan dan saudagar - untuk melawan "ujung tombak Bolsjewisme". Jumlah anggota Fasci pun bertambah. Di akhir Juni, 25.000 orang. * * * Sukses dengan perjuangan jalanannya, Mussolini menoleh ke hal yang lebih berarti. Bersama mula-mula - D'Annunzio, penyair yang punya 287 prajurit swasta bersenjata lengkap, dia membuat rencana pembebasan Kota Fiume dari tangan Sekutu. Pengumuman segera disebar. Dan sukarelawan muda berdatangan mendaftar. Pagi 12 September, Fiume - yang sudah ditinggalkan tentara Sekutu untuk menghindari pertumpahan darah - dikuasai. Rakyat, bersama kaum fasis, menyambut kemenangan di mana-mana. Dan pemerintahan PM Nitti mengundurkan diri, serta mengumumkan diadakannya pemilihan. Untuk pertama kalinya kaum fasis bisa membubarkan parlemen. Kemenangan ini membuat banyak orang fasis merasa saat ikut pemilihan umum telah tiba. Mussolini, yang tahu bahwa secara organisasi kepartaian Fasci masih kalah jauh dibanding Partai Sosialis dan Partai Populer - partai terbesar waktu itu - menentang keras. Tetapi ia tak berdaya melawan sekian banyak suara, sehingga dengan segan dia mencalonkan diri - bersama dengan Marinetti, Ferrari, dan Arturo Toscanini, dirigen kenamaan itu. Hasilnya betul-betul bencana. Tak satu kursi pun mereka peroleh. Kaum sosialis gembira setengah mati - jalanan dipenuhi pekik kemenangan mereka. Kaum fasis, sebaliknya, banyak yang lalu membakar kartu anggota mereka. Oplah Il Popolo merosot tajam. Mussolini sendiri hampir tertimbun frustrasi. Kepada Margherita Sarfatti ia berkata, "Fasisme telah mati." Untung, semua ini tak lama. Situasi Italia yang kian buruk membuat pamor Fasci naik kembali. Nilai mata uang lira merosot terus, bahan bakar tak cukup harga roti membubung, kerusuhan terjadi di mana-mana. Squadristi pun mulai berani membakar kantor Partai Sosialis lagi. Dalam keadaan demikian, Partai Sosialis tak mampu mengatasi perpecahan. Terbentuklah Partai Komunis, dan 100.000 anggota keluar dari Partai Sosialis. Pemerintahan Partai Populer, di bawah Giolitti, juga tak mampu lagi bertahan. Pemilihan diadakan lagi, dan sekali lagi Fasci ut. Kali ini hasilnya lumayan - mereka memperoleh 35 dari 535 kursi yang tersedia. Tapi pada tahap inilah terjadi perubahan pandangan Mussolini. Pada pidatonya di Dewan, ia menyatakan bahwa Fasisme tidak bertentangan dan tidak menganut paham antigereja. "Aku jelaskan di sini, tradisi Latin dan Kekaisaran Roma sekarang diwarisi oleh Gereja Katolik," katanya. Mussolini, yang sepuluh tahun sebelumnya menyebut agama "sangat tidak bermoral dan mengotori pikiran", kini tahu bahwa suksesnya tergantung pada gereja. Dan, seolah menjawab pernyataan itu, terjadilah perubahan di Vatikan. Achille Ratti, musuh Partai Populer, diangkat menjadi Paus Pius XI. Hilanglah dukungan terhadap partai itu, dan umat Katolik berpaling ke Mussolini, "pejuang penentang Bolsjewisme" itu. Pada saat yang sama, serikat sekerja juga sudah banyak yang lepas dari Partai Sosialis. Sementara itu, Partai Nasional justru mengadakan koalisi dengan Fasci - membentuk Partai Nasional Fasis. Pemerintahan Bonomi tak mampu mengatasi keadaan. Facta ganti naik. Tetapi Mussolini tahu, Facta jua selemah PM-PM sebelumnya. Karena itu dia dan beberapa orang kepercayaannya, bersorak gembira. Mereka beberapa saat kemudian memang berhasil meruntuhkan Facta. Namun, karena tak ada orang lain yang siap - juga Mussolini - Facta akhirnya naik lagi. Tapi tak lama. Dalam pertemuan rahasia 16 Oktober di Milan, Fasis membentuk kesatuan milisi yang dipimpin empat serangkai: Italo Balbo, C.M. De Vecchi, Michele Bianchi, dan Jenderal De Bono. Anggota milisinya: pasukan baju hitam fasis, para Squadristi itu. "Saatnya telah sampai. Kalau mereka tak menyerahkan pemerintahan, kitalah yang akan mengambilnya sendiri . . . ," kata Mussolini pada pertemuan itu. Maksudnya jelas: Kudeta. Dan persiapan untuk itu dilakukan di mana- mana. Pada 30 Oktober, di rencanakan Roma akan diduduki. Raja segera datang ke sana untuk mengatasi hal itu. Tetapi Mussolini menolak kompromi. Facta, yang mencoba menghubunginya, tak digubris. Dia hanya menjawab, "Pemerintahan Fasis atau tidak sama sekali." Raja, yang melihat masalahnya bukan sekadar krisis kabinet, tetapi bisa menyangkut tahtanya, menjadi takut. Ia tak berani mengumumkan hukum darurat perang seperti yang diminta Facta, dan sebaliknya justru meminta Mussolini membentuk kabinet baru. Mussolini saat itu sedang bersembunyi dengan Margherita Sarfatti. Ketika pesan Raja sampai kepadanya, dia segera berkemas. Diserahkannya Il Popolo kepada adiknya, dan sore harinya, setelah mencium Margherita dan dengan diantar ribuan orang, ia naik kereta menuju Roma. Tak lupa ia memerintahkan membakar kantor Avanti - takut kalau koran itu akan bikin ulah pula pada hari pengangkatannya. Dua jam kemudian, Mussolini, dengan janggut tak tercukur, baju hitam kusut, kancing terbuka, dan sepatu tak bersemir, muncul di Quirinale, tempat Victor Emmanuel, sang raja, menunggunya. Pukul 12 siang, 30 Oktober 1922, Raja dan Mussolini tampil di balkon untuk menyalami 40.000 pasukan baju hitam. Pada usia 39 tahun, Benito Mussolini menjadi PM termuda Italia. Tak sedikit pun ia berutang budi kepada seseorang atau sebuah partai untuk itu. Itu berarti sebuah jalan untuk mewujudkan impiannya sejak kecil terbentang - impian menjadi penguasa Italia Raya, seperti Augustus menjadi penguasa Romawi Kuno. Dalam benaknya, telah tersusun langkah-langkah lebih lanjut yang harus dllakukannya. * * * Langkah pertama perdana menteri baru itu adalah upaya memantapkan posisi. Itu dilakukannya dengan cerdik. Sadar bahwa orang-orangnya kurang pengalaman, ia cuma mengambil empat kursi menteri untuk partainya, dari 15 yang tersedia. Semua partai, kecuali Komunis dan Sosialis, terwakili. Dengan cara ini ia menyenangkan banyak orang, sehingga pidatonya di parlemen diterima mayoritas anggota. Dalam pidato itu ia berjanji untuk bekerja dalam batas Konstitusi, menjaga ketertiban, kebebasan beragama, dan hak asasi. Janji itu betul-betul dilaksanakannya. Begitu dia mulai bekerja, kerusuhan menghilang dari jalan-jalan. Tentu saja hampir semua perusuh adalah squadristi. Dia mengunjungi seluruh Italia, sering kali sendirian dalam Ferrari merahnya, untuk memperoleh simpati rakyat. Dijumpainya para petani, didengarkannya keluhan mereka. Dengan bertelanjang dada ia masuk sawah, ikut memanen gandum. Ditemuinya para pandai besi di bengkelnya dan para tukang batu di tempat kerja mereka. Hasilnya: bukan saja kestabilan tercapai - pembangunan juga berjalan lancar. Tanah-tanah rawa direklamasikan, di jadikan pertanian atau perumahan. Jembatan-jembatan dibangun, juga austotrada - jaringan jalan raya di Italia. Rumah sakit dan sekolah didirikan di mana-mana. Kepopuleran Mussolini naik dengan cepat, kedudukannya makin mantap. Selesailah tahap pertama. Tahap kedua, tentu saja, upaya memperluas basis kekuasaan. Itu dilakukannya dengan membentuk Dewan Tertinggi Fasisme (DTF). Dewan ini yang anggotanya para eksekutif, anggota kabinet, tokoh Fasis lain dan di ketuai Mussolini sendiri, bertugas membimbing Partai, Dewan Perwakilan, dan Pemerintah. Jelas, sebuah usaha mengurangi arti parlemen. Karya pertama DTF juga digunakan untuk menguatkan cengkeraman: pembubaran semua kekuatan bersenjata nonpemerintah dan pembentukan Milisi Sukarela untuk Keamanan Nasional. Dengan cara ini, pasukan baju hitam Fasis, squadristi, memperoleh status legal, karena merekalah penyusun utama milisi. Dan Mussolini pun memperoleh pasukan inkonstitusional tetapi resmi yang 100% setia kepadanya. Dengan dua senjata itu di tangan, siaplah dia secara perlahan-lahan menyingkirkan oposisi dan menancapkan kuku. Sasaran pertama: menteri-menteri yang bukan Fasis. Itu dengan gampang dilakukannya, karena dialah PM yang telah mendapat kepercayaan Raja dan Rakyat. Giliran selanjutnya, tentu saja, Parlemen. Dia menggunakan cara yang masih konstitusional: pemilu. Cuma saia, pemilu kali ini lain dari biasa: orang-orang sosialis dilarang berkampanye para eks baju hitam meneror rakyat para pemimpin partai mendapat bermacam-macam ancaman pers di kontrol. Hasilnya lumayan, memang. Dalam pemilu yang dilakukan April 1924 itu Partai Fasis memperoleh 65% suara. Tentu saja. Dan tentu saja pemilu model begini tak diterima kaum oposisi. Protes segera terjadi di mana-mana, demonstrasi dan kerusuhan bahkan juga muncul. Sayang, kaum oposisi tak lagi terorganisasi secara rapi, sehingga gangguan mereka tak berarti sama sekali. Mussolini bahkan menjadi sadar bahwa mereka itu tak sekuat yang dibayangkannya - dan segera menyiapkan hantaman terakhir. Tanggal 13 Januari 1925 ia berpidato di Parlemen. "Aku - hanya aku seoranglah - yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi selama ini. Jika satu kesalahan ucap bisa membawa orang ke tiang gantungan, maka bawalah tali ke sini dan gantung aku! Jika Fasis adalah kelompok berandal, jika kekerasan muncul dari situasi politik, sejarah, dan moral, maka akulah yang bertanggung jawab, karena akulah yang membuat situasi ini dengan segala propagandaku!" Dengan ini seorang diktator baru muncul dalam sejarah Eropa. Mussolini bahkan berani berkata seperti ini: "Lucu sekali jika kita bersandar pada konstitusi yang dibikin tahun 1848. Ketika konstitusi itu dibuat, Italia Revolusi Fasis belum ada, juga Italia Pasukan Baju Hitam, atau Italia Sistem Korporasi. Delapan puluh tahun yang sia-sia terlewati dalam sejarah bangsa." Italia Sistem Korporasi adalah Italia di bawah Dewan Korporasi Nasional yang anggota-anggotanya diangkat Mussolini, dan tugasnya membentuk peradilan untuk mengatasi persoalan perburuhan, mengontrol aktivitas kerja perusahaan, dan membentuk 22 persatuan perusahaan sejenis dan ikatan profesi yang menentukan segenap urusan produksi. Organisasi Profesi ini juga mengusulkan 400 calon yang boleh ikut pemilihan parlemen, yang pada gilirannya akan diseleksi oleh DTF. Maka, dalam pemilu 1928, 100% kursi parlemen dikuasai Fasis. Sedangkan Italia Revolusi Fasis berarti pengontrolan olah raga, sekolah, penahanan, dan propaganda fasisme besar-besaran. Pengontrolan olah raga dilakukan dengan membawahkan semua federasi sport pada Partai. Pesta olah raga menjadi pesta kejayaan Fasis. Atili menjadi pahlawan Fasis. Kesegaran jasmani menjadi pujaan. Gambar-gambar Duce - Mussolini - dengan tubuh tegapnya, yang sedang naik kuda, main ski, berenang, atau olah raga lain, terpampang di mana-mana. Pengontrolan sekolah adalah perubahan fungsi sekolah menjadi alat indoktrinasi Fasis. Semua guru harus Fasis buku-buku teks dikeluarkan Partai, semua organisasi pemuda dibubarkan, diganti dengan organisasi baru di bawah partai, Balilla slogan-slogan: "Mussolini selalu benar!", "Yakin! Patuh! Serbu!" Dan di tiap pemunculan Duce di muka umum, di Palazzo Venezia di Roma, atau di mana saja, lautan manusia melakukan koor dengan nada tunggal: "Du-ce! Du-ce! Du-ce!".... * * * Tetapi Mussolini juga membawa banyak perbaikan. Tak ada lagi pemogokan buruh di Italia, juga tak ada pengurangan produksi. Barang tersedia cukup, buruh kembali ke tempat kerja, pelajar kembali ke bangku sekolah. Angka pengangguran lebih rendah ketimbang di Amerika Serikat. Pembangunan jalan kereta api hanya kalah oleh Swiss, juga program elektrifikasi. Semua rumah kini terang-benderang, sesuatu yang sama sekali tak terbayangkan di tahun 1922. Bahkan para pemimpin dunia memujinya. Churchill, yang mengunjungi Roma dua hari, berkata kepadanya, "Jika aku orang Italia, aku pasti berdiri di belakangmu sejak awal perjuanganmu melawan Leninisme." Pun Mahatma Gandhi, yang pernah menggembalakan kambingnya di lantai marmar Palazzo Venezia, sangat terkesan kepada sang Duce. Kepada para wartawan dipujinya kepribadian Mussolini setinggi langit. Disebutnya dia sebagai "penyelamat Italia Baru". Dan dalam saat-saatnya yang paling jaya ini, Mussolini tetap hidup secara biasa. Rakyat dengan mudah bisa mengidentifikasikan diri dengan pemimpinnya ini. Anak-anaknya masuk sekolah umum, istrinya hidup sederhana, dengan menanam sayuran sendiri. Tiap hari dia memakai pakaian yang sama dengan yang dikenakan para kawula. Rachelle bahkan sering jengkel karena suaminya tak pernah mau ganti pakaian. Mandi tiap hari juga bukan kebiasaan Mussolini apalagi gosok gigi. Dia sangat tak acuh kepada uang. Memang, dia toh punya pesawat pribadi yang diterbangkannya sendiri, mobil sport sendiri, sekandang penuh kuda, anjing, kucing, rusa, kera, menjangan, rajawali, dan macan. Seekor puma bahkan ditaruhnya di ruang kerjanya. Selama tahun-tahun pertama di Roma, Mussolini tinggal sendirian di sebuah apartemen besar di Pallazo Tittoni. Keluarganya ditinggalkannya di Milan, dan baru bergabung di tahun 1929. Selama itu tiap hari bergantian wanita-wanita berdatangan. Salah seorang dari mereka, istri seorang Fasis rendahan, menggambarkan ruangan itu sebagai ruangan suram, serba hitam, dengan karpet merah tebal. Ruang duduknya dilengkapi sebuah piano, music stand, dan sebuah meja dengan dua biola. Di dinding, seekor elang besar membentangkan sayapnya. Bau kolonye murahan, yang sering dipakai Duce jika sedang malas mandi, menyebar ke seluruh apartemen. Dari situ Mussalini pindah ke Vila Torlonia, yang ditempatinya sampai ia terusir dari Roma. Vila itu sebuah rumah yang besar, klasik, berdiri di balik tembok tinggi dan mempunyai kebun indah. Di vila inilah Rachelle juga tinggal setelah ia pindah ke Roma. Mussolini, karena itu, harus memindahkan aktivitas asmaranya - ke kantor. Meski bukan seorang suami yang baik, Mussolini adalah bapak yang baik. Dia sangat memperhatikan anak-anaknya. Edda, yang dijuluki "cewek sinting", adalah yang paling sulit diatur. Dia pernah jatuh cinta setengah mati kepada seorang pedagang India, membuat ayahnya kelabakan dan harus berjuang keras sebelum akhirnya mampu memisahkan pasangan itu. Pernah pula tergila-gila kepada seorang Yahudi muda, dan mengancam akan melarikan diri jika tak disetujui. Sekali lagi, ayahlah yang menang. Merasa pusing dengan tingkah laku anaknya itu, Mussolini lalu menyuruh adiknya mencarikan calon, seorang bujangan dengan latar belakang baik. Dipilihlah akhirnya Count Galeazzo Ciano, anak Admiral Constanzo Ciano, seorang pahlawan perang, fasis, wakil menteri angkatan laut dan teman Mussolini. Galeazzo periang, tampan, dan baru memulai kariernya di Kementerian Luar Negeri sebagai wakil konsul di Cina. Rencana segera diatur untuk membawanya ke Roma. Edda bertemu dengan dia pertama kali di sebuah pertunjukan opera, dan segera tertarik. Mereka kawin April 1930 dengan dihadiri lebih dari 500 tamu agung. Mussolini sedemikian gembiranya sehingga mau menyalami semua tamu. Tetapi di akhir pesta dengan tubuh capek, ia berkata kepada Vittorio dan Bruno, anak-anaknya yang lain: "Jika kalian kawin nanti, tak akan lagi kayakbegini. Sekali sudah cukup untuk seumur hidup." Bersama dengan makin dewasanya anak-anaknya Mussolini juga merasakan hilangnya teman-teman lamanya. Michele Bianchi telah mati. Pangeran Aosta, temannya terbaik, Tommaso Tittoni, penyokong intelektuilnya, Antonio Salandra, musuhnya dari Partai Liberal, Enrico Corradini, arsitek persatuan Partai Nasional dan Fasis, semuanya sedang sekarat dan tak lama lagi akan mati. Para pemimpin oposisi sudah tak ada - kalau tak masuk penjara, pasti lari ke luar negeri. Kian lama kian sepi, dan ia makin mudah tersinggung. Anak buahnya tak lagi diperkenankannya ikut berdiri di balkon tiap kali dia pidato, meskipun tetap harus mendengarkan. Di tiap pertemuan DTF, absensi diedarkan - dan menjadi tanggung jawab anggota tertua untuk melakukannya, persis seperti di sekolah. Pertemuan semacam ini biasanya dimulai pukul 10 dan berlangsung sampai fajar, dengan Mussolini menyaksikan secara angkuh sambil menghirup sari buah jeruk. Meski demikian, dan meski makin dimakan usia, tokoh ini tak pernah melupakan cita-citanya: membentuk Kemaharajaan Italia. Tanggal 27 Oktober 1932, sehari sebelum perayaan 10 tahun Fasis, Mussolini berpidato. Dia meramalkan, abad kedua puluh adalah, "Abad kembalinya Italia menjadi penguasa dunia dan pemimpin peradaban untuk ketiga kalinya .... Dalam waktu sepuluh tahun, Eropa akan menjadi Fasis atau difasiskan." Dua bulan kemudian Hitler diangkat menjadi kanselir Jerman. Mussolini tak banyak komentar. * * * Mussolini mulanya memandang rendah Hitler. Bagi dia, Nazi tak lebih dari imitasi jelek Fasisme oleh suku liar Teutonic - yaitu bangsa Jerman. Memang begitulah mulanya: Hitler sangat dipengaruhi Goering dan Goebbels, penyokong kuat "pola Italia". Karena itu, Hitler sangat mengagumi Mussolini. Dia mengagumi cara orang itu, seorang bekas sosialis yang berbalik haluan, mencapai kekuasaan. Selain itu ia juga melihat pentingnya persahabatan dengan Italia, supaya bisa melakukan konsolidasi dengan aman . Mussolini sebenarnya sangat segan mengulurkan tangan. Hanya karena melihat pentingnya Jerman yang kuat untuk menandingi Prancis dan Inggrislah ia akhirnya mau mengadakan pertemuan. Ini penting karena ia harus membuat Prancis dan Inggris sibuk di Eropa, sehingga tak menghalangi ekspansi Mussolini di Afrika Utara dan usahanya untuk menjadi pemimpin suatu aliansi Latin di Laut Tengah. Pertemuan itu, yang diadakan di Venesia, Italia, 14 Juni 1934, bukan pertemuan yang sukses. Mussolini datang ke kota itu naik mobil sportnya, ditemani Starace, Ciano - menantunya itu - dan Suvich, wakil menlu. Hitler datang naik pesawat dan tiba di lapangan udara Lido di pagi cerah hari itu. Dengan pakaian birunya yang dijahit sangat jelek dan tubuhnya yang kurus, Hitler tampak tak berarti di depan Mussolini yang, meski lebih pendek, lebih tegap. Mussolini menyalami Hitler secara Fasis dengan mengangkat tangan kanan. Hitler, dengan topi kelabu di tangan yang gemetar, kebingungan sejenak, sebelum akhirnya menjawab salam itu. Mussolini dengan segera menjadi sebal, dan menggerutu kepada Ciano, "Aku tak menyukainya." Sore harinya kedua pemimpin ini muncul di balkon Istana. Publik seperti biasanya memberi salam yang membahana kepada Duce mereka, dan Hitler praktis terabaikan. Tak ada sesuatu yang konklusif yang dihasilkan ketika Hitler pulang dua hari kemudian. Tahun berikutnya, di bawah tantangan sengit Inggris, Mussolini memulai penaklukannya. Sasaran pertama adalah Etiopia. Dipimpin Jenderal De Bono, tentara Italia pada 3 Oktober 1935 melintasi perbatasan Etiopia dan masuk sedalam 45 mil. Mussolini menggunakan segala cara untuk penyerbuan ini. Semua ketentuan aturan perang dilanggarnya. Kepada Marsekal Badoglio yang mengganti De Bono, ia memerintahkan penggunaan setiap senjata yang mungkin dipakai. "Aku mengizinkan kamu menggunakan gas beracun . . . untuk mengatasi perlawanan musuh .... Aku izinkan kamu menembak siapa saja ...." Dan Badoglio betul-betul menaatinya. Ia menggunakan semua jenis gas beracun yang ada, juga gas mustard yang jelas dilarang Konvensi Jenewa. Bahkan mengebom unit-unit Palang Merah musuh. Anak Mussolini, Vittorio, 19, ikut dalam pengeboman-pengeboman ini sebagai penerbang sukarela. Di dalam negeri perjuangan yang tak kalah serunya dijalankan. Perang seperti itu, bagaimanapun, terlalu berat bagi ekonomi Italia yang baru mulai cerah. Tanda-tanda kemerosotan segera terlihat. Untung, Mussolini cepat tanggap. Dan untung pula, segenap rakyat menaatinya. Dia, untuk mengatasi kekurangan biaya, memaklumkan dilakukannya pengorbanan nasional: masyarakat diminta menyerahkan barang berharga mereka untk pembentukan Imperium Italia. Dimulai oleh Ratu ELena yang menghadiahkan cincinnya dan cincin Raja di "Altar Tanah Air" yang di dirikan di depan makam pahlawan tak dikenal, segenap rakyat Italia beramai-ramai menyumbangkan perhiasan mereka. Seorang uskup bahkan menyerahkan salib dan rantai emasnya secara pribadi kepada Duce. "Duce," kata si uskup, "Izinkan aku, sebagai anggota episkopat, mempersembahkan solidaritas Gereja Italia yang bersama dengan rakyat, di bawah pimpinanmu, akan memenangkan pertempuran. Aku berterima kasih kepada Tuhan karena diberi kesempatan menyaksikan hari semacam ini" .... Tanggal 5 Mei 1936, setelah bertempur selama tujuh bulan, Badoglio dan pasukannya berparade di jalan-jalan Addis Ababa, sementara Haile Selassie, kaisar Etiopia, lari ke Inggris. Hari berikutnya seluruh Italia berpesta. Di Piazza Venezia, tempat Mussolini akan berpidato, rakyat membanjiri semua ruangan dan halaman, sehingga terpaksa memenuhi atap-atap rumah dan monumen-monumen sekelilingnya. Di balkon Piazza itu pada pukul 10.30 Mussolini muncul dan memulai pidatonya. "Akhirnya Italia punya imperium. Seluruh wilayah Etiopia kini berada di bawah kekuasaan raja Italia .... Gelar kaisar Etiopia kini secara resmi dipakai raja Italia dan para pewarisnya .... "Angkat tinggi lencanamu, senjatamu, dan hatimu untuk menghormat munculnya kembali sebuah imperium di bukit-bukit Roma. "Cukup berhargakah kalian untuk itu?" Rakyat berteriak bersama-sama: "Tentu!" "Persetujuan kalian adalah sumpah suci atas nama Tuhan dan rakyat, sampai mati!" Sorak sorai di bawahnya membahana kembali. Dan di tengah keriuhan itu, satu kata secara perlahanlahan mulai terdengar, makin lama makin keras, sampai akhirnya menjadi suatu nyanyian bersama. " Du-ce! Du-ce! Du-ce!" Mussolini berdiri di atas balkon, menyerap semua pujaan, tak mampu bergerak. Sekali lagi rakyat ada di belakangnya. Sekali lagi kejayaan di raihnya, sendirian. Tak sedikit pun ia menyangka: inilah kemenangannya yang terakhir. * * * Mussolini betul-betul terlelap dalam kemenangan Etiopia itu, sehingga ia sama sekali tak menyangka banyaknya kenyataan buruk yang tak sampai kepadanya. Misalnya, banyak pejabatnya menyeleweng. Suap, korupsi, monopoli dan spekulasi di kalangan partai dan pengusaha terjadi di mana-mana. Tentu saja, tak satu koran pun berani memberitakan kenyataan itu. Toh bila diberitahu, Mussolini biasanya cuma angkat bahu. Jika orang berusaha meyakinkan, dia malahan marah. Orang-orang dekatnya sampai punya nasihat seperti ini: "Katakan pada Mussolini apa yang ia mau dengarkan saja." Sensor pemberitaan telah memerangkapnya sendiri. Demikian yakinnya dia akan kekuatannya, hingga berniat menjalankan rencananya yang lain: Konfederasi Laut Tengah. Sasaran pertama: Spanyol. Di negara itu perang saudara sedang berlangsung antara pemerintah Republik dan Jenderal Fransisco Franco. Mussolini membela Franco, yang merencanakan membentuk pemerintahan model Fasis. Dikirimkannya 70.000 serdadu, sejumlah besar senjata, pesawat terbang, dan perlengkapan perang lain, sampai persediaan di Italia sendiri hampir habis. Ketika tentara Italia terlibat dalam perang yang ganas, panjang, mahal, dan hampir tak ada gunanya itu, di Roma Mussolini justru memperoleh mainan baru. Namanya Claretta Pettaci. Wanita itu didapatnya secara tak sengaja. Suatu hari, ketika sedang dalam perjalanan ke Ostia, ia melihat seorang gadis melambaikan tangan dan meneriakkan namanya. Disuruhnya sopir berhenti, didatanginya gadis itu gemetar karena terkejut. Ternyata, Mussolini memang idola Claretta sejak kecil. Kalau teman-teman gadisnya rajin mengumpulkan foto-foto bintang film, Claretta justru mengoleksi foto-foto Duce. Salah satu di antaranya ditaruhnya di bawah bantal. Claretta juga tak segan-segan memburu ke segenap pelosok Roma untuk bisa memandang wajah pujaannya itu, meski sekejap. Kini pujaan itu berdiri di depannya. Tak hanya itu tak lama kemudian ia bahkan dibawa Duce untuk ditempatkan di sebuah apartemen di atas Sala del Mappamondo di Palazzo Venezia - kantor Mussolini. Tiap sore, ia akan berbaring-baring menunggu kedatangan Duce itu di sebuah ruang yang di sebut ruang Zodiac. Sejak itulah ia menjadi kesayangan tuannya. Mussolini terutama menyukai tingkahnya yang hidup dan intelektualitasnya yang lumayan (Claretta berasal dari keluarga menengah ayahnya seorang dokter), sesuatu yang tak diperolehnya dari istrinya. Sementara itu, perang di Spanyol tak kunjung selesai. Biaya yang harus ditanggung Italia betulbetul sudah sedemikian besar, sampai-sampai para pemimpin dunia tak bisa mempercayainya. Hitler sendiri berkomentar: "Tak ada yang mampu menghentikan si gila itu." Meskipun demikian, tak lama kemudian Hitler ikut mengirim bantuan ke Spanyol - dan ini membuat Mussolini sangat berterima kasih. Hubungan Jerman-ltalia pun makin baik. Tanggal 26 Oktober 1936, kedua negara menandatangani perjanjian pembentukan Poros Roma-Berlin. Tanggal 25 September 1937, Mussolini mengadakan kunjungan balasan ke Jerman. Kunjungan ini kunjungan bersejarah dan sangat menentukan bagi Italia - merupakan titik balik pandangan Mussolini terhadap Fasisme dan Nazi. Mussolini betul-betul terkesima oleh yang dilihatnya di "tanah bangsa Hun" - begitu dia sering menyebut bangsa Jerman - itu. Parade SS, sambutan massa (lebih dari satu juta orang menyambutnya di Berlin), keperkasaan militer Jerman, pabriknya, semangat rakyatnya, semuanya mengesankan dia. Sekembalinya ke Roma, nah, Mussolini, orang paling Romawi dari seluruh bangsa Romawi, langsung menghancurkan semua yang berbau Roma atau Italia, dan menggantikannya dengan apa saja yang Jerman. Hormat model Fasis di gantikannya dengan yang menyerupai model Nazi. Wajib militer diberlakukan untuk semua orang, termasuk para pemimpin Partai. Yahudi, yang di Italia cuma berjumlah 47.000, mulai diburu-buru. "Aku seorang Nordik, dan aku punya hubungan darah dengan bangsa Inggris dan bangsa Jerman," katanya kemudian. November tahun itu juga Italia menandatangani Pakta Anti-Komintern terbentuklah aliansi Italia-Jerman-Jepang. Mei tahun berikutnya, kepada Hitler yang berlinang air mata di stasiun Roma Mussolini berkata, "Tak ada satu kekuatan dunia pun mampu memisahkan kita." * * * Pukul 4 pagi, 15 Maret 1939, Mussolini dibangunkan. Di pintunya telah menunggu Pangeran Phillips dari Hesse membawa pesan Hitler. Isinya: pada detik itu juga, tentara Jerman melintasi perbatasan Cekoslovakia. Mussolini tegak melongo: Hitler, dengan kurang ajar, memulai perang tanpa konsultasi dengan dia! Mussolini dan Italia benar-benar belum siap untuk perang semacam itu. Petualangan di Spanyol dan Etiopia telah meludeskan tenaga mereka. Tentara Italia kehabisan amunisi, peralatan, bahkan seragam. Meski di pangkalan ribuan pesawat tempur berjajar, hanya beberapa yang bisa digunakan. Sementara itu, ekonomi Italia - yang sudah tak pernah diperhatikan lagi - berada dalam tahap hampir ambruk. Inflasi, yang disebabkan defisit pemerintah, membuat harga men jadi tak terjangkau. Devisa dan cadangan emas hampir habis. Barang-barang menghilang dari toko dan pasar. Dan rakyat menjadi bosan. Tanda-tanda ketidakpuasan dan penentangan terhadap pemerintah yang sudah lama tidak ada - muncul kembali. Mussolini terpaksa mengerahkan kembali squadristinya untuk menghadapi mereka, menguasai jalan-jalan dan mengintimidasi siapa saja yang berani 'nggrundel. Tetapi kenyataan di lapangan sendiri tak menyadarkan Mussolini. Kemenangan-kemenangan Jerman membuat ia iri - dan nekat. Diteruskannya rencana invasinya - kali ini ke Albania. Itu dilakukannya tanggal 7 April 1939. Hanya dalam dua hari serbuan selesai tak ada perlawanan sama sekali, karena Zog, raja Albania, memang tak punya apa-apa. Orang bilang, seandainya Zog punya satu brigade pemadam kebakaran saja, serbuan Italia akan bisa ditahan. Kemenangan ini membuat Mussolini semakin mabuk. Maka, ketika tentara Hitler menguasai Belanda, Belgia, dan sedang memasuki Prancis, Mussolini, di tengah tantangan sengit Ciano - (menantunya, yang kini menjabat menteri luar negeri) dan Marsekal Badoglio, mengumumkan perang. melawan Sekutu. Kepada Badoglio ia cuma berkata, "Marsekal, kau tak cukup pintar membaca situasi. Yakinlah, September nanti semua akan beres .... Yang kuinginkan cuma beberapa ibu mayat yang bisa kududuki sewaktu konperensi perdamaian!" Seperti semua orang tahu, ramalan Mussolini ternyata meleset. Perang ini adalah perang yang justru membawa kehancurannya. Ketika tentara Jerman memperoleh kemenangan di hampir semua front, tentara Italia justru menderita kekalahan di mana-mana. Sampai akhirnya, 9 Juli 1943, tentara Sekutu memasuki Italia melalui Sisilia. Dan tentara Italia, yang sudah bosan perang, tak mengadakan tembakan-tembakan meriam sudah terdengar di Roma. Di kota itu krisis sudah hampir mencapai titik kulminasinya. Kini tak hanya rakyat yang marah banyak anggota Fasis yang menyertai mereka. Mereka cuma menginginkan satu hal: menghentikan Perang Mussolini. Persekongkolan segera terjadi. Kali ini tak main-main: anggotanya tokoh-tokoh puncak Fasis, seperti Giuseppe Botai, Dino Grandi, Jenderal De Bono, dan, yang paling memukul Mussolini, Ciano. Ciano! Mereka menuntut segera diadakannya pertemuan DTF - yang sudah lama tak pernah lagi di lakukan untuk membahas situasi saat itu. Keadaan fisik Mussolini sendiri saat itu tak beda jauh dengan Italia. Hampir setiap saat perutnya merasa nyeri. Dokter selalu mendampinginya. Beratnya turun 20 kilo. Dia bahkan hampir tak mampu mengurus pemerintahan lagi. Tak seorang dokter pun tahu apa sebenarnya penyakit Duce mereka. Toh dia masih keras kepala. Kepada Grandi, yang menjadi wakil untuk menyampaikan petisi pengaktifan kembali DTF, Parlemen, Kabinet, dan hak Raja sebagai panglima tertinggi Angkatan Perang, dia berkata, "Aku akan menerima usulmu seandainya kita akan kalah. Tetapi, yakinlah, kita akan menang! Mengapa? Karena tak lama lagi Jerman akan mengirim persenjataan kemari." Toh Mussolini tak menolak diadakannya pertemuan DTF itu. Pertemuan itu diadakan 24 Juli 1943. Semua orang siap sedia. Grandi telah menulis surat terakhir untuk keluarganya. Di saku jasnya dua ganat tangan tersimpan. Ciano juga meniru langkah Grandi, sementara Bottai dan De Bono merasa cukup dengan bersenjatakan pistol. Semuanya memakai pakaian hitam. Pukul 5 sore, pintu ruang sidang sudah ditutup. Tetapi tahta - sebuah kursi besar yang dihiasi daun-daun salam dan tongkat Fasci dari emas tetap kosong. Semua oran menjadi khawatir, jangan-jangan Duce merencanakan sesuatu. Pukul 5.15 barulah Duce muncul, diiringi "abdi" paling setianya, Quinto Navarra. Mussolini memakai seragam Panglima Tertinggi Militer, dan memandang dengan yakin ke seluruh anggota sidang. Salah seorang dari mereka memberi aba-aba: "Hormat untuk Duce!" Semua orang mengangkat tangan. Mussolini duduk. Setelah mengatur kertas-kertasnya, mulailah dia berbicara. Tak ada yang istimewa pada mulanya. Seperti biasa ia mengatakan bisa mengontrol keadaan dengan baik, dan memuji-muji Hitler. Setelah itu barulah ia melancarkan pukulan. Dia menuduh adanya persekongkolan di kalangan militer untuk tak meneruskan perang. Dia menentang keras usul Grandi. Dan mengakhirinya dengan berkata, "Atas nama negara kita yang persatuannya sedang dalam bahaya, Tuan-Tuan, hati-hatilah! Gerakan Grandi bisa membawa rezim kita ke kehancuran!" Semua anggota terdiam. Mussolini berbicara selama dua jam. De Bono adalah orang pertama yang angkat suara. Dia, dengan keringat menetes dari pipinya, menolak tuduhan adanya pengkhianatan di kalangan militer. Setelah itu ganti Grandi. Suaranya mantap, seperti pandangannya kepada sang diktator. Dia menuding Mussolini: "Bukan tentara yang salah Andalah yang bertanggung jawab atas tragedi ini. Italia telah dikhianati sejak jatuh ke dalam cengkeraman Jerman! Duce, Anda membawa perang yang menyedihkan ini, melawan kehormatan, perasaan, dan kepentingan bangsa! Dalam perang ini kita telah kehilangan 100.000 prajurit, dan 100.000 ibu menjerit: Mussolini membunuh anak-anak kami!" Mussolini kehilangan kontrol - melompat dari kursi, dan menjerit: "Bohong!" Grandi tak mengacuhkannya, dan terus berbicara, menyebut kembali resolusinya. Giliran selanjutnya adalah Bottai. Ia menyokong Grandi. Lalu Ciano yang berkata, "Kami bukanlah yang berkhianat, tetapi yang dikhianati." Farinacci adalah orang pertama yang menyokong Mussolini. Setelah itu ruangan menjadi gaduh. Tiap orang bersuara. Tiap orang berteriak. Mussolini menunda sidang 15 menit. Ketika acara dibuka kembali, sang diktator berbicara. Kali ini dia berusaha menakut-nakuti lawannya dengan mengatakan bahwa Raja berpihak kepadanya dan lain-lain ancaman. Setelah itu dia memerintahkan di adakannya pemungutan suara. Scorza bangkit dan melakukannya. Hasil yang diperoleh adalah: Untuk usul Grandi 19. Yang menolak: 7. Mussolini bangkit dengan berat. Ekspresi tak yakin tampak di mukanya, meski dia berkata, "Aku telah mengizinkan kalian semua bicara. Aku mestinya bisa menyuruh kalian ditangkap. Itu tak kulakukan. Dan kini ... kalian membuat rezim kita krisis. Pertemuan ditutup." Para pendukungnya minta supaya 19 orang itu ditangkap. Tetapi Mussolini menolak. Dia sangat lelah. Dia ambruk kembali ke kursinya, dan meringis kesakitan. Diusirnya mereka pergi, sementara dia sendiri lalu bangkit dan berjalan keluar. Esok harinya, Mussolini memerintahkan penangkapan Ciano dan Grandi. Tapi tak satu pun ditemukan. Ia lalu minta waktu bertemu dengan Raja.Siangnya, ia mengun jungi sebuah distrik yang terkena serangan udara. Secara otomatis rakyat di sana menyalaminya. "Du-ce! Duce! " Mussolini agak gembira. Di rumah, Rachelle menentang keras keinginannya untuk audiensi dengan Raja. "Kau tak akan kembali. Mereka akan menangkap kamu." Mussolini cuma tersenyum. Rachelle mengikutinya sampai di mobil, dan menggelendot di pintu yang hanya dilepaskannya ketika kendaraan itu mulai berjalan. Dia berteriak di belakang suaminya: "Benito, Raja tak bisa dipercaya. Jangan pergi .... Dia akan melemparmu!" Rachelle benar. Victor Emmanuel telah diberitahu sebelumnya tentang hasil pemungutan suara. Dan Badoglio telah diminta menyusun kabinet baru. Di sekitar Istana, satu detasemen Carabinieri disebar untuk berjaga-jaga. Ketika Mussolini datang, Raja menyambutnya dengan senyun. seperti biasa, menjabat tangannya dan bicara tentang cuaca panas hari itu. Berdua mereka berjalan berjajar ke dalam Istana. Mussolini mencoba meyakinkan Raja, setelah memberitahukan sebelumnya bahwa voting itu tak punya arti. Raja, sambil tersenyum, menyatakan ketidaksetujuannya. Tangan Mussolini gemetar ketika mencoba meyakinkannya sekali lagi. Raja lalu bilang, tak usah diteruskan lagi: "Anda adalah orang yang paling dibenci di negara ini. Anda tak punya kawan, kecuali aku. Akan kujamin keselamatanmu." "Jika benar," jawab Mussolini, "aku akan meletakkan jabatan." "Ya," kata Raja. "Dan aku menerima pengunduranmu tanpa syarat." Mussolini terhuyung-huyung, seperti mendapat suatu pukulan. "Jadi, lengkaplah sudah keruntuhanku." Mukanya pucat. Dia duduk terdiam beberapa menit, lalu berkata bahwa Raja telah melakukan kesalahan yang bisa membahayakan negara. "Maaf, maafkanlah aku tapi memang tak ada penyelesaian lain," sahut Raja. Kedua orang itu lalu berjalan ke pintu, berjabatan tangan, dan saling mengucapkan selamat berpisah. Raja membalik meninggalkan Duce dan memasuki Istana. Ketika Mussolini menghampiri mobilnya, seorang Carabinieri datang dan berkata, "Yang Mulia memerintahkan saya menjaga Anda." Mussolini bilang tak perlu, dan meneruskan langkahnya. Seorang serdadu lain datang: "Paduka, Anda harus memakai mobil saya." Mussolini cuma bisa mengikutinya. Ketika dilihatnya sebuah ambulans, ia tak berprasangka apa-apa dan bermaksud melewatinya. Tapi seorang tentara menarik lengan bajunya dan membawanya ke arah ambulans itu. Mussolini kaget, dan memandang ke seputar. Dengan bantuan seorang prajurit, ia masuk ke dalam ambulans. Prajurit itu duduk di sampingnya, menutup pintu, dan ambulans itu mulai ngebut melalui jalanan yang sepi. Mussolini dibawa ke sebuah asrama kadet Carabinieri. Sore harinya berita penangkapan Mussolini tersebar. Semua orang turun ke jalanan, menyanyikan lagu-lagu kegembiraan sambil menyumpahi Mussolini dan fasisme. Dalam sekejap, orang dan Partai yang sebelumnya begitu dipuja-puja, atau begitulah tampaknya, berbalik menjadi tumpahan kebencian. Di balik tembok tahanannya, Mussolini tak bisa mendengar sorak-sorai di luar itu. * * * Untuk menghindari serangan Inggris dan Jerman, Mussolini dipindahkan sampai tiga kali. Pertama ia dibawa ke Pulau Ponza lalu ke Pulau Maddalena dan akhirnya ke Gran Sasso, sebuah tempat berlibur di Alpen yang tingginya lebih dari 2.200 m (ketika diberitahu hal ini, Mussolini berkata, "Jadi, aku sekarang berada di penjara tertinggi di dunia."). Ia dilarang mendengarkan radio dan membaca koran - tapi berita pembubaran Fasis oleh Badoglio diketahuinya juga. Waktunya dihabiskan dengan menerjemahkan Odi Barbare Carducci ke bahasa Jerman, dan membaca Nietzsche (Hitler yang menghadiahinya) serta Kehidupan Yesus Riccioti. Dia juga asyik melamunkan peranannya dalam sejarah dunia. Kepada para pengawalnya ia sering bertanya, apa kira-kira putusan sejarah untuk dia. Mereka biasanya lalu menyingkir, diam saja, atau mengganti bahan pembicaraan. Dalam keadaan begitulah, pada 12 September, seorang kapten Jerman, Otto Skorzeny, bersama anak buahnya membebaskannya dan membawanya terbang ke Roma. Lalu ke Munich. Roma, dan Italia Utara, waktu itu sudah dikuasai pasukan Jerman. Di Munich ia disambut Rachelle, anak-anaknya, dan menantunya, Ciano, yang dengan tolol justru menyerahkan diri ke tangan Jerman. Di Munich pula nasib Mussolini selanjutnya ditentukan. Mussolini sebenarnya menganggap karier politiknya sudah habis. Ia akan senang sekali jika Jerman membebaskannya dari segala tugas. Tetapi Hitler punya rencana lain. Ia minta kesanggupan Mussolini untuk memerintah kembali. Mussolini dengan sedih menggelengkan kepalanya. Dia mengusulkan supaya Hitler membantu Italia menyusun kembali pasukannya, supaya bisa ikut bertempur lagi. Setelah itu Jerman bisa meninggalkan Italia, katanya. Di luar dugaan, Hitler malah membentaknya. "Omong kosong! Mundur tak pernah ada dalam rencana kami." Dia lalu bilang bahwa ia telah menyuruh Farinacci dan Graziani membentuk kembali pemerintahan Fasis, dan minta Mussolini kembali mengambil alih pimpinan. Setelah itu ditinggalkannya orang yang dulu menjadi pujaannya itu, sambil mengancam akan menghancurkan Italia dengan gas beracun seandainya ada yang berani menentangnya. Edda, Rachelle, dan yang lain, memohon dengan sangat supaya Mussolini menolak. Tetapi dengan sedih ia berkata, "Aku harus menanggung bebanku sampai selesai." Lalu, Mussolini yang terpukul dan dipermalukan itu mengunjungi Hitler untuk menerima perintah. Sejak itu jadilah ia boneka Hitler di Italia Utara, di negara yang disebut Republica Sociale Italiana atau Republik Sallo, karena ibu kotanya di Sallo, kota kecil di Danau Garda, dekat perbatasan Swiss. Semua keputusan di "republik" itu diambil oleh penasihat Jerman. Semua pejabat Italia punya pendamping Jerman. Ke mana pun Mussolini pergi, di dampingi seorang Jerman. Bahkan dokternya dokter Jerman. Penguasa sebenarnya adalah seorang jenderal Jerman, Kesserling. Satu-satunya hal yang dikerjakan sendiri oleh Kaum Fasis adalah pengadilan terhadap para pendukung Grandi, Gottardi, Pareschi, Marinelli, Cianetti, De Bono, dan Ciano. Mussolini justru sangat tak suka dengan pengadilan ini. Dia terutama tak yakin bahwa Ciano, menantunya itu, salah. Maka, ia pun menjadi murung, penyedih dan tertekan. Dia sering berkonsultasi dengan pastor setempat, dan dalam dirinya rasa keagamaan tiba-tiba bangkit. Meski demikian, ia selalu menunda-nunda waktu jika di suruh menerima sakramen. Beberapa jam sebelum eksekusi Ciano dkk., Mussolini menerima surat dari Edda, anaknya tercinta. Edda, yang melarikan diri ke Swiss, mengancam akan menerbitkan catatan harian Ciano yang penuh bukti kesalahan Mussolini jika Ciano tak dibebaskan dalam tiga hari. Mussolini menjadi pucat. Meski demikian, ia tak melakukan tindakan apa pun. Keenam orang itu tetap dieksekusi pada waktunya. Dia hanya sangat terpukul. Berkali-kali dia menanyai petugas penjara tentang kisah eksekusi itu sampai ke detail-detailnya. Kepada siapa pun yang mau mendengar, ia selalu berusaha mempertahankan ketidakbersalahan Ciano. Beberapa bulan kemudian ia berkata, "Dari semua guncangan yang pernah kualami, eksekusi itu adalah yang paling dramatis. Sentimen dan akal sehat bertubrukan dalam jiwaku." Berkali-kali ia menyurati Edda, mohon maaf dan mohon Edda mau berbaikan kembali. Edda, terhadap surat bapaknya yang paling menyentuh, membalas, "Aku istri seorang pengkhianat dan pencuri. Dan aku sangat bangga akan hal itu. Kubawa nama suamiku dengan kebanggaan: itu suatu kehormatan." Hari-hari selanjutnya Mussolini boleh dikatakan tak mengacuhkan pekerjaannya. Bahkan Claretta, yang telah dibebaskan dari tahanan dan bergabung dengan dia, tak bisa menghiburnya lagi. Sebagian besar waktunya di habiskan untuk omong-omong dengan siapa pun yang mau mendengarkannya biasanya tentang keyakinan sosialismenya. "Aku ingin kaum proletar Italia tahu apa tujuan mereka sebenarnya .... Apa pun akhir peperangan ... jika aku harus hilang, perwaris Italia harus kaum sosialis." Lalu dia mengungkapkan kegagalannya, dan berkata, "Aku bukan negarawan. Aku seorang penyair yang sedikit gila." Dan, "Aku tak pernah melakukan kesalahan ketika hanya menuruti naluri. Hanya, ketika menuruti akal, aku habis. Barangkali aku seharusnya memberi arah saja, cuma meletakkan dasar yang aman dan kuat. Tetapi kapan ada diktator yang selalu tepat perhitungan?" * * * Republik Sallo makin lama makin habis. Dari selatan tentara Sekutu menggerogotinya. Di dalam, kaum partisan, pasukan anti-Fasis, makin lama makin kuat. Sekutu minta penyerahan tanpa syarat, melalui Kardinal Schuster, uskup agung Milan. Tanggal 23 April 1945, Milan jatuh ke tangan kaum partisan. Mussolini lari ke Como. Sekutunya, Jerman, juga sudah tak berdaya. Anak buahnya minta dia menyeberang ke Swiss. Dia menolak dengan marah, dan mengatakan tak akan meninggalkan tanah Italia dalam keadaan apa pun. Kaum partisan sampai ke Como, dan Mussolini terpaksa lari lagi. "Aku akan ke gunung-gunung," katanya. "Mungkinkah kita memperoleh 500 orang pasukan?" katanya. Tak ada anak buahnya menyahut. Malamnya, dengan penerangan lampu minyak, diktator itu menulis surat untuk Rachelle yang gagal dihubunginya lewat telepon. Rachelle waktu itu tak jauh dari suaminya. Ia juga di Como, di Vila Mantero. Dia akhirnya berhasil menghubungi suaminya melalui telepon. "Benito, jangan pergi. Ikutlah kami ke Swiss. Mereka akan mengizinkan kamu masuk." "Tidak, Rachelle. Tak ada harapan. Akan kuikuti takdirku," jawab Benito, tenang. "Pasti ada anak buahmu yang bisa membantu." Mussolini tertawa. "Rachelle, bahkan sopirku telah menghilang. Aku sendirian. Semuanya telah berakhir. " Rachelle tahu tak ada gunanya lagi. Dibawanya anak-anaknya ke gagang telepon, untuk berbicara dengan bapaknya. Setelah itu ia sendiri mengucapkan selamat tinggal. Tangan Mussolini gemetar ketika menaruh gagang telepon. Dia lalu mengemasi barangnya, keluar menuju sebuah mobil lapis baja. Bersama beberapa anak buahnya ia lari ke utara. Di kegelapan malam, dia menjenguk keluar, dan berkata, "Tak seorang pun bisa menyangkal, akulah yang membangun jalan ini. Dia akan tetap di sini lama setelah aku pergi." Fajar tiba, dan mereka sampai di Vila Castelli di Menaggio. Beberapa jam kemudian Claretta dan abangnya datang naik pesawat ringan, dengan paspor Spanyol. Mussolini mula-mula menolak menemuinya. "Apa maunya? Ingin mati bersamaku?" Tetapi akhirnya mau juga. Adanya Claretta membuat Mussolini mau menyeberang ke Swiss. Tetapi ketika itu dilakukan, sebagian dari mereka justru tertangkap partisan yang bersiaga di dekat perbatasan. Mussolini kembali ke Vila Castelli. Di situ dia mendengar berita bahwa Rachelle ternyata ditolak memasuki Swiss, dan kembali ke Como. Mussolini bertanya kepada Graziani tentang pesan dari Hitler. Graziani bilang: tak ada. Mussolini menghela napas. "Hanya sejarah yang bisa menentukan siapa dari kami yang lebih besar," katanya. Kaum partisan menyerang Menaggio. Bersama beberapa yang tertinggal, termasuk Claretta, Mussolini ikut konvoi pasukan Jerman yang mundur melalui kota itu. Angin kencang, hawa dingin, dan hujan yang kadang-kadang turun mengiringi mereka. Sepuluh mil dari kota, mereka dicegat pasukan partisan. Dari jendela mobil terdepan, seorang Jerman mengacungkan bendera putih. Komandannya, Letnan Fallmeyer, keluar. Setelah berunding selama enam jam, Fallmeyer berhasil meyakinkan kaum partisan - yang jauh lebih sedikit - bahwa mereka cuma ingin pulang, tak ingin bertempur. Kaum partisan setuju melepas mereka, dengan syarat konvoi itu mau diperiksa di Dongo untuk mencari perwira Fasis yang melarikan diri. Fallmeyer dan anak buahnya setuju. Pemeriksaan diadakan pukul 3 sore. Partisan minta kartu identitas. Semua tentara Jerman mematuhinya. Semua orang Italia yang mengikuti mereka di tahan di sebuah sekolah. Semua truk diperiksa secara teliti. Truk kedua dari belakang berisi 12 tentara. Mereka menyerahkan kartu mereka tanpa banyak bicara. Pemeriksaan hampir selesai ketika seorang partisan melihat sesosok tubuh menggeletak di antara dua drum bensin. Prajurit itu kelihatan mabuk. Topi bajanya jatuh menutupi wajahnya, dan leher bajunya ditarik ke atas. Partisan itu hampir tak mengacuhkannya ketika dia melihat sepatu but prajurit itu. Sepatu yang mahal! Sangat mengkilat, lagi. Ditanyainya seorang Jerman. Jerman itu tertawa sambil mengangkat bahu, dan berkata, "Derbetrunken Kamerad . . . Camerata ubriaco." Partisan itu menyepak si "kamerad mabuk" itu, dan bertanya dalam bahasa Italia, "Kamu orang Italia?" "Kamerad mabuk" itu panik, dan kehilangan kontrol. Meski sangat bangga dengan Jermannya, ia bicara dalam bahasa Italia: "Ya, aku Italia." Partisan itu memanggil pemimpinnya. Pemimpin itu naik ke mobil dan mengambil helm si kamerad. Pandangannya dibalas dengan tatapan kosong. "Paduka, Andakah itu?" Mussolini membuka mulutnya, tetapi tak satu kata pun keluar. Dia gemetaran ketika pemimpin itu menuntunnya turun. Dengan patuh dia mengikuti pemimpin itu ke markas pusat partisan. Kepalanya menunduk, mengamati lantai batu lapangan itu. Seolah ingin meyakinkan Mussolini, pemimpin itu berkata dengan ramah, "Jangan takut, Duce, tak seutas rambut pun akan copot dari kepalamu." Ketika dilihatnya kepala Mussolini yang botak, orang itu ketawa berkepanjangan. Mussolini, dari ketermanguannya, menjawab, "Aku tahu rakyat Dongo akan menerima aku dengan baik." Seperti baru disalami wali kota dalam pidato penyambutan saja. Dari Dongo Mussolini dibawa ke sebuah barak di Desa Germasino di atas bukit. Di sini Mussolini minta disampaikan salamnya untuk "seorang sinora yang ditangkap di Dongoi". "Siapa namanya?" Mussolini tak menjawab. "Lebih baik kau katakan kami akan mengetahuinya juga nanti." Mussolini mengguman "Signora Pettacci." Tetapi ketika salam itu disampaikan, Claretta mengaku tak mengenal Mussolini. Pembawa pesan itu ketawa, "Dia telah menyebut namamu." Claretta lalu mengaku, dan minta dijadikan satu dengan Mussolini. Dia sangat tenang ketika itu, tetapi tiba-tiba menjadi histeris: "Aku ingin berbagi nasib dengan dia! Jika kau bunuh dia, bunuh pula aku!" Beberapa hari kemudian, seorang utusan Komite Pembebasan Italia, Kolonel Valerio, datang untuk membawa Mussolini dan Claretta Petacci. Kepada Mussolini ia mengaku akan membebaskan mereka. Mata Mussolini bersinar, tetapi kemudian meredup kembali. "Jika benar, ambillah imperium ini," katanya. Claretta mengambil mantel bulunya. Bertiga mereka keluar, ke sebuah mobil yang sudah menunggu. Valerio menyuruh mereka duduk di kursi belakang. Dia menutup pintu dan menoleh ke arah Mussolini. Di tangannya tergenggam sepucuk senapan. Mobil itu melaju di jalan kampung sejauh satu mil. Pada sebuah belokan, Valerio menyuruh sopir berhenti, dan berkata bahwa ia mendengar sesuatu dan ingin memeriksanya. Dia keluar, dan beberapa menit kemudian kembali serta menyuruh tawanannya keluar. Mussolini menolak. Valerio mengancamnya dengan senapan, lalu mendorongnya dengan ujung senapan, dan membawanya ke arah Vila Belmonte, sebuah rumah besar yang tertutup pepohonan. Claretta mengikuti. Mussolini melihat jalan itu habis di sebuah tembok. Dia berhenti, menoleh, dan bertanya kepada Valerio, apakah jalannya sudah benar. Valerio memerintahkannya untuk jalan terus sambil menuding dinding itu dengan senapan. Duce tergelincir sesaat, berdiri lagi, dan meneruskan langkah. Claretta rnengikutinya beberapa langkah di belakang. Sesampai di dinding, Mussolini berputar menghadap Valerio. Kolonel itu, dengan suara penuh emosi, membaca hukuman mati: "Atas perintah Korps Sukarela untuk Kemerdekaan, aku dikirim untuk menjalankan keadilan atas nama rakyat Italia." Dia sama sekali tak menyebut Komite Pembebasan Nasional. Mussolini terus memandang Valerio. Dia bingung. Baru setelah berpikir beberapa saat ia tahu arti putusan itu. Akhirnya ia berkata, "Tetapi, Kolonel, apa yang telah kulakukan kepadamu?" Claretta lari ke arah Mussolini dan berdiri di depannya, menutupi tubuh kekasihnya, dan berteriak "Tidak! Tidak! Mussolini tak boleh mati!" Valerio berteriak "Minggir, atau kau ikut mati!" Claretta menyingkir. Valerio mengangkat senapannya, membidik dan menarik picu. Tak terjadi apa-apa. Dipandangnya senapannya, diserahkannya kepada Guido, dan diambilnya pistol Guido. Sekali lagi dia membidik dan menarik picu. Tak jalan juga. Dengan marah diangkatnya senapannya, seolah mau memukul kepala Mussolini. Seorang partisan datang dengan senapan otomatis. Valerio merebutnya, dan dengan tergesa-gesa kembali membidik Mussolini. Ditembakkannya lima butir peluru ke badan Mussolini. Sesaat, mata Duce itu memandang ke kejauhan. Tubuhnya melorot, lututnya jatuh duluan, lalu kepalanya. Setelah itu dia terguling. Claretta berteriak dan lari ke kekasihnya. Ketika dia memeluk dan menciumi mayat itu, tembakan lain terdengar. Tembakan itu bergema di pegunungan, lalu sirna. Pukul 04.10. Pagi hari berikutnya, mayat Mussolini dan Claretta digeletakkan di depan garasi Piazalle Loretto di Milan. Orang mulai berkumpul, sebagian meneriakkan kata-kata cabul, yang lain ketawa. Seorang wanita menembak mayatMussolini lima kali untuk "membalas dendam bagi lima anak saya yang mati". Beramai-ramai kedua mayat itu lalu digantung terbalik, supaya semua orang bisa menyaksikannya, Selama empat jam khalayak bergantian mengejek dan meludahi mereka. Hari berikutnya Mussolini dikuburkan di permakaman keluarga di Predappio. Dua tahun sebelumnya, ketika ditahan, Mussolini pernah berkata, "Inilah takdirku: dari debu, berkuasa, dan kembali ke debu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus