Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jerat Baru Kasus Usang Panigoro

Berkali-kali diancam masuk penjara, bos perusahaan minyak Arifin Panigoro lolos. Dengan jerat kasus korupsi di Bahana, mampukah dia berkelit?

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KURUNGAN besi penjara pernah sangat dekat dengan Arifin Panigoro. Bos besar perusahaan minyak yang sekarang sangat serius berpolitik itu, pada 1998, hampir meringkuk di bui polisi. Dia dituduh makar setelah ikut berdiskusi dengan pemimpin Muhammadiyah, Amien Rais, di Pusat Pengkajian Studi Kebijakan dan Kewilayahan UGM, Yogyakarta?Amien saat itu memang dianggap musuh politik pemerintahan Soeharto. Arifin sempat diperiksa di Markas Besar Polri. Pada zaman Presiden Habibie berkuasa, Arifin disangka menjadi otak serangkaian demo mahasiswa menentang Presiden Habibie. Dia bisa berkelit. Bidikan politik tak mempan, bekas aktivis mahasiswa Bandung ini kemudian ditembak dengan persoalan ekonomi. Dakwaan seramnya adalah melakukan korupsi dalam kasus commercial paper (CP) dari PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo). Utang Arifin, yang mengeluarkan CP melalui lima anak perusahan Jasindo, waktu itu mencapai Rp 2,5 triliun dan tidak dijaminkan. Akibatnya, Jasindo sebagai induk kebobolan karena harus menanggung surat utang segede itu. Lagi-lagi, Arifin lolos. Hakim Soedarto dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus dia bebas. Presiden berganti, jerat untuk Arifin belum juga dilepas. Presiden Abdurrahman Wahid kini ngotot benar memenjarakannya. Kasus yang dipilih sekarang adalah kasbon PT Medco Energi Corporation Tbk., senilai US$ 75 juta dolar, dari Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI)?lembaga keuangan milik pemerintah. Akibat kasus ini, bekas direktur utama Bahana, Sudjiono Timan, sudah lebih dulu mendekam di tahanan kejaksaan sejak 11 Juni lalu. Jaksa Agung Muda Bachtiar Fachri Nasution kepada Tomi Lebang dari TEMPO mengatakan, Arifin Panigoro dibidik kejaksaan karena membantu Sudjiono melakukan korupsi. Ujin?nama panggilan Timan?menurut Fachri, pada 1996 memberikan pinjaman ke Arifin. Dana tersebut oleh Arifin digunakan untuk membeli 46 persen saham perusahaan minyak Dragon Oil Plc. senilai US$ 57,4 juta. Sampai di sini, secara hitungan bisnis, belum ada masalah. Kejaksaan Agung baru curiga ketika mengetahui Ujin ternyata menjadi salah satu direksi di Dragon Oil, perusahaan tempat Arifin menjadi komisaris utama. Sumber TEMPO di kejaksaan menyebutkan Arifin dan Sudjiono Timan bersekongkol dalam penyaluran pinjaman itu. Selain sebagai direksi, Ujin juga memiliki hak opsi untuk membeli saham Dragon Oil pada harga tertentu. Kalau harga saham si ?ular naga? naik, keuntungan supergede sudah di depan mata. Bagi kejaksaan, ini jelas penyimpangan. Bisa diartikan, Ujin secara tidak langsung memberikan pinjaman yang berpotensi memberikan keuntungan pribadi, kepada dirinya sendiri. Arifin setarikan napas dengan Ujin. Sebagai komisaris di Dragon Oil, dia juga memiliki hak opsi untuk membeli saham tersebut. Menurut sumber di kejaksaan tersebut, ulah Arifin ini jelas-jelas menyimpang. Dia bisa dituduh membantu Sudjiono melakukan korupsi dengan menempatkan mantan bos Bahana tersebut di perusahaan yang sebagian besar sahamnya dimiliki Arifin Panigoro. Keduanya jelas akan menikmati keuntungan melimpah-ruah kalau harga saham perusahaan eksplorasi minyak itu naik. Sialnya, ibarat sedang mengharap telur emas dari saham perusahaan eksplorasi minyak tersebut, eh, yang keluar justru ular naga yang siap mencakar-cakar keduanya. Harga minyak di pasar dunia ketika itu anjlok sampai di bawah US$ 10 per barel. Harga saham Dragon Oil di London Stock Exchange merosot tajam. Untuk menghindari kerugian lebih besar, saham yang sudah dibeli dijual merugi (cut loss). Arifin hanya bisa menyelamatkan US$ 22,5 juta dari pembelian US$ 57,4. Bisnisnya ?berdarah? US$ 34,9 juta. Kerugian itu menyisakan utang Medco ke Bahana US$ 46,8 juta. Medco tak kunjung membayar sisa utangnya. Baru 8 Juni lalu, setelah hampir lima tahun, dicapai kesepakatan antara Medco dan Bahana untuk menyelesaikan utang tersebut. Medco berjanji membayar seluruh utangnya, tidak hanya untuk pembelian Dragon Oil, tapi juga untuk proyek Graha Niaga Tata Utama dan Semen Gombong, dalam enam bulan ke depan. Total jumlahnya US$ 52,3 juta ditambah bunga US$ 23 juta. Banyak yang curiga bahwa kesepakatan baru ini dibuat karena Arifin terancam dibawa ke pengadilan. Dengan kesepakatan baru itu, posisi Arifin jelas di atas angin. Arifin menampik soal Timan itu. Menurut dia, jabatan Sudjiono Timan di Dragon Oil bukan sebagai direksi, tapi komisaris. Posisi itu, katanya, wajar saja. Sebagai pemilik uang, Sudjiono harus mengawasi penggunaan duitnya. Sudjiono Timan melalui kuasa hukumnya, Dani Indrawan, juga mengatakan hal sama. Posisinya di Dragon Oil hanya sebagai komisaris. Hilmi Panigoro, adik kandung Arifin yang terlibat dalam persoalan kakaknya, menjelaskan bahwa Ujin adalah komisaris yang dikaryakan menjadi non-executive director. Sesuatu yang sangat lumrah, peminjam menempatkan orang di perusahaan pengutang agar bisa mengontrol penggunaan dana tersebut. Jabatan ini membuat Ujin tidak terlibat dalam kegiatan sehari-hari perusahaan. Gampangnya, menurut Hilmi, Soedjono adalah komisaris yang dikaryakan sebagai non-executive director. Posisinya juga tidak ditutup-tutupi. Sebagai perusahaan publik yang terdaftar di London Stock Exchange, keberadaan Ujin di Dragon Oil sebagai non-executive director sangat transparan. Lagi-lagi, katanya, tuduhan kejaksaan sangat lemah, baik secara bisnis maupun legal. Motif Arifin mempercepat proses penyelesaian utang untuk menghindari pengadilan juga dibantah Hilmi. Prosesnya sudah berlangsung lama. Korespondensi antara Medco dan Bahana sudah sejak akhir 1998. Direktur Pelaksana Bahana, Hendi Kariawan, mengatakan bahwa penyelesaian utang dilakukan melalui pembelian surat berharga karena posisi keuangan Medco yang agak sulit. Model ini juga tidak hanya pada Medco, tapi juga pada pengusaha lain yang berutang, seperti M.S. Hidayat, Prajogo Pangestu, dan Peter Sondakh. Benarkah Arifin ?putih bersih?? Masih harus dibuktikan kelak. Tapi koleganya di PDI Perjuangan, Zulfan Lindan, mengaitkan kasus bisnis Arifin ini dengan sikap politik Arifin yang sangat kritis terhadap Presiden Abdurrahman. Pengusaha minyak ini menjadi pilar aliansi lintas fraksi yang sangat bersemangat menurunkan Presiden. Rumah Arifin di Jalan Jenggala, di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, bahkan menjadi markas lintas fraksi itu. Sangat bersemangatnya Arifin mendongkel Presiden Abdurrahman, menurut sumber TEMPO, sebenarnya tak jauh dari bau-bau bisnis. Ceritanya, anak perusahaan Arifin di bawah Medco, Exspan Nusantara, sudah dijaminkan ke kreditor Credit Suisse First Boston. Perusahaan ini terancam diambil alih jika sampai tahun 2003 kontrak karyanya tidak diperpanjang. Padahal, pada 1999 saja Exspan menyumbang setiap hari sekitar 40 ribu barel untuk induknya. Harga minyak kala itu US$ 17,5 sebarel. Jelas, Arifin khawatir banget sumber rezekinya itu bakal mampat jika Presiden Abdurrahman masih berkuasa dan tidak memberinya perpanjangan izin kontrak karya tersebut. Soal ini ditanggapi Arifin dengan sewot. ?Exspan itu cerita panjanglah. Kejadiannya saya sudah tidak ikut lagi,? katanya dengan suara agak meninggi. Dengan alasan itu pula, dia menolak membicarakannya. Takut salah omong. Serangan terhadap Arifin tak hanya datang dari luar. Posisinya sebagai salah satu pengurus partai di PDI Perjuangan mengundang pro-kontra dan kecemburuan. Politisi lama PDI -P seperti Haryanto Taslam terang-terangan meminta Arifin mundur dari jabatan Ketua Fraksi PDI-P di DPR. Masalah hukum yang sedang dihadapinya dijadikan alasan. Arifin sendiri terus dengan lobi-lobinya. Dia tetap menggalang pertemuan dengan politisi Partai Golkar, PPP, PBB, dan PAN. ?Ini bukan pertama kali saya menghadapi kejaksaan. Pada zaman Habibie saya dikerjain dengan kasus Jasindo, sekarang Presiden Gus Dur mau ngerjain saya dengan Bahana, ya saya hadapi saja,? katanya. Kali ini, sekali lagi akan dibuktikan, apakah Arifin selicin minyak di tangan. Leanika Tanjung, Edy Budiyarso, Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus