Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Biarlah adat berubah

Protes dan ketegangan menyambut pengangkatan kepala-kepala desa di sumatra utara. diduga itu semua sekedar perebutan kursi. sebab jabatan itu menyangkut kehormatan seseorang di desa. (dh)

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI, pesta perkawinan adat, baralek, di Pasar Sorkam terasa tak lengkap. Gulai kepala kambing jatah kepala desa tak perlu lagi disajikan. Buat apa -- toh kepala desa di Kabupaten Tapanuli Tengah tersebut tak akan muncul di perhelatan. "Tak ada lagi orang yang mau mengundangnya," seperti kata Bilal Samsaloden, pegawai masjid yang menyelenggarakan perkawinan kemanakannya akhir bulan lalu, menyebutkan sebab-musababnya. Penduduk Pasar Sorkam, seperti halnya Bilal, belakangan ini memang enggan berurusan dengan kepala desa. Coba saja: alangkah berabenya bila para tamu serentak meninggalkan tempat begitu melihat kepala desa menghadiri baralek. Sampai-sampai ada seorang ibu meraung-raung menangisi pesta anak daranya yang ditinggalkan tetamu. Jadi, ujar Bilal, "biarlah tak beradat asal tetap bermasyarakat." "Perbahan adat" nelayan Suku Pesisir memang terjadi semenjak Camat Sorkam, Kamal Pohan, menunjuk Abdul Kahar Tanjung sebagai Pelaksana Kepala Desa di Pasar Sorkam, 40 km dari Sibolga, 10 April lalu. Penunjukan tersebut kenyataannya menimbulkan ketegangan di antara penduduk yang setuju dan menolak Kahar. Protes bermula, ketika Camat Kamal Pohan mencalonkan Kahar, setelah kepala desa yang lama, Syahrul Pasaribu, mengundurkan diri (Desember 1980). Memang ada juga kelompok yang mendukung Kahar. Camat pernah mengundang penduduk bermusyawarah memilih kepala desa. Tapi pertemuan yang dihadiri Sekda Kabupaten Tapanuli Tengah, Drs Abdul Radjab Simatupang, tidak menghasilkan kesepakatan. Tidak begitu jelas keberatan mereka yang menolak Kahar. Ada yang menyebut Kahar, pegawai Dinas Pendapatan Kantor Camat, sebagai orang yang angkuh dan sombong. Yang lain mengatakan, Kahar bukan penduduk asli Pasar Sorkam, walaupun beristri penduduk desa situ. Karena alasan itu juga, penduduk desa melayangkan surat ke Bupati Tapanuli Tengah, melihat gelagat Kahar diorbitkan. 135 orang dari 2000 penduduk desa ikut tandatangan. Sekaligus mengusulkan seorang tauke ikan, Mulia Tanjung, menduduki jabatan penting di desa mereka. Surat itu disusul lagi dengan yang lebih keras dan mengancam "Kalau Kahar jadi kepala desa, harapan kemenangan orde baru pada Pemilu 1982 menjadi sulit." Lihat saja pengalaman Pemilu yang lalu, katanya, kekalahan Golkar disebabkan - kepala desa tidak disukai rakyat. Seorang penandatangan menjamin, Golkar akan menang bila Kahar tidak diangkat. Jaminan demikian diberikan pula calon kepala desa dari kelompok anti-Kahar. Mulia Tanjung, pedagang ikan terkaya di desa itu dan Bendahara MKGR Golkar Kecamatan Sorkam, mengaku semula menolak dicalonkan. "Pekerjaan saya cukup merepotkan -- setiap hari bolak-balik Sorkam-Sibolga," katanya. Namun karena didesak terus oleh masyarakat, katanya, akhirnya ia menerima pencalonan itu. Ternyata semua jaminan dan protes penduduk tidak berarti. Kahar diangkat menjadi kepala desa. Suasana tambah runcing. Ketegangan nyaris menumpahkan darah. Tengah malam, 27 April, beberapa orang -- di antaranya berpakaian Hansip -- mendatangi rumah M. Zen Piliang, Ketua LKMD Pasar Sorkam. Mereka meminta M. Zen menyerahkan papan nama LKMD berikut inventaris dan arsip surat-surat. Alasannya, begitu katanya, M. Zen sudah tidak terpilih lagi sebagai Ketua LKMD. M. Zen, yang termasuk anti-Kahar, menolak permintaan itu. Untung orang-orang tersebut tidak memaksakan kehendaknya. Kalau tidak, lihatlah, sekitar 150 orang kelompok anti-Kahar sudah mengintip dengan senjata terhunus. Demikian cerita Mulia Tanjung. Menggejala Kahar, yang merasa menerima jabatan itu sekedar memenuhi perintah atasan, hanya mengatakan: "Seluruh masalah sudah pada camat dan bupati." Sedangkan Camat Kamal Pohan menjawab singkat: "Saya hanya meneruskan kebijaksanaan bupati -- silakan tanya beliau." Dan sampai berita ini diturunkan Bupati Tapanuli Tengah, Lundu Panjaitan, masih rapat di Medan. Ketegangan semacam di Sorkam, bulan-bulan terakhir ini menggejala di berbagai desa di Sum-Ut, semenjak pengangkatan kepala desa menjadi pegawai negeri. Seorang bekas Kepala Desa Sangkar Ni Huta di Tapanuli Utara, misalnya, menulis resolusi kepada Bupati Salmon Sagala. Tindakan Camat Balige memberhentikannya dan mengangkat kepala desa baru, katanya, "merupakan tindakan politis." Terjadi perang dingin di antara penduduk yang berkelompok. Ketegangan juga terjadi di Desa Paraoran Tamba, juga di Tapanuli Utara. 22 kepala keluarga minta agar bupati meninjau kedudukan Kepala Desa AP. Tamba. Alasannya Tamba, 65 tahun, sudah uzur. Dan pekan lalu Bupati Lundu Panjaitan SH memang menjanjikan akan mengadakan pemilihan Kepala Desa Sorkam secara langsung. "Untuk menampung aspirasi rakyat," kata Bupati kepada Bersihar Lubis dari TEMPO. Protes-protes terhadap kepala desa, menurut Kepala Bidang Informasi dan Data Kantor Gubernur Sum-Ut, TW. Simangunsong, bukan lantaran kepegawainegerian kepala desa dan pelantikannya oleh camat. Tapi, lanjutnya, "mereka, berebut kursi kepala desa." Sebab, jabatan penting desa tersebut, kata Simangunsong, menyangkut "kehormatan seseorang di desa yang masih dipengaruhi adat. "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus