Berniat mengubah nasib, para "koeli kontrak" dari Jawa, berangkat ke Deli. Tetapi di sana kesengsaraan lebih dalam. Perjudian dan pelacuran menjerat mereka jadi penghuni barak turun-temurun. Lebih kejam dari itu, mereka dirasuki mental kuli. Benarkah nasib keturunan koeli kontrak tak bergerak? HUJAN mengucur semalaman. Jalan-jalan tanah dalam perkebunan pun becek. Serombongan penderes mengayuh sepedanya di antara jajaran pohon karet yang redup. Cahaya matahari yang baru merekah, menyusup celah-celah ranting dan dedaunan, membawa kehangatan. Kedua puluh orang itu masih mengayuh bersama-sama beberapa lama. Kemudian satu per satu memisahkan diri, menusuk sela-sela pepohonan, ke pelukan kerja masing-masing. Mereka segera menorehkan alat deresnya ke batang "rambung" pohon karet -- sambil sesekali membetulkan letak batok aluminium penampung getah. Waktu menunjuk sekitar pukul 06.00 pagi. Perkampungan buruh di Desa Timbang Deli, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pun sepi. Deretan rumah papan beratap seng, tanpa penerangan listrik, hanya ditunggui orang lanjut usia dan bocah-bocah kecil. Sebagian anak-anak pergi sekolah ke Galang, kota kecamatan yang hanya berjarak 1 km dari situ. Penduduk kampung - milik PT SIPEF -- ini sepenuhnya hidup sebagai kuli perkebunan karet. Warung kopi milik Bedul juga sepi. Baru akan ramai bila anak-anak SD pulang ke rumah menjelang siang. Nanti akan nampak enam atau delapan anak memancang kayu kecil di tengah jalan yang memisahkan perumahan, membuat gawang. Lalu bola plastik pun menggelinding di antara kaki-kaki kecil mereka -- sebagian besar bintang sepak bola di Sumatera Utara berasal dari daerah perkebunan. Begitulah setiap hari berulang sama. Seakan-akan hidup tak bergerak meskipun terus menggelinding. "Sebenarnya, kalau ada kerja lain saya enggak mau begini," kata Iskandar, 25 tahun, penderes yang terjepit di kawasan itu. Ayahnya, Saiman, dulu buruh kebun yang kini sudah pensiun. Sedangkan almarhum kakeknya juga "dulu kontrakan dari Jawa". Entah berapa generasi lagi keturunan Iskandar akan menggantungkan nasibnya pada getah karet. Turun-temurun sebagai buruh kebun -- karet atau sawit -- bukan hanya nasib Iskandar. Paiman, Paeran, Kamisah, Djani, Rujiman, Boiman, dan ribuan nama Jawa lainnya yang berserak di Sumatera Utara juga bernasib sama. Lihatlah Kamal, anak kelas 1 SD itu. Berbaju lusuh, koyak, di sana-sini berbercak hitam, Kamal berjalan mengiring ayahnya, Paiman, sambil mengangkat ember berisi "lum" -- endapan getah di dasar batok. Tak ada tanda-tanda bahwa Kamal tidak bakal mewarisi profesi ayahnya, kelak. Begitu mudah untuk membayangkan sepuluh atau dua puluh tahun medatang, Kamal kecil ini akan mengulang sejarah Paiman. Di belakangnya akan mengekor seorang Kamal baru membawa "lum", seperti yang dilakukannya kini. Inilah cerita sejumlah orang yang dipenjarakan nasib. Padahal, keinginan mengubah nasiblah yang semula mendorong mereka memilih jadi buruh kebun. Katini, buruh generasi pertama yang kini berumur 65 tahun, mengaku, dulu mau menjadi "koeli kontrak" karena ingin lepas dari impitan kemiskinan keluarganya. "Mangan wae susah (makan saja sulit)," kata Katini. Para "werek", calo tenaga kerja, menjanjikan Katini "banyak uang dan makanan", di Deli. Harapannya jadi melambung. Maka, berangkatlah Katini pada tahun 1938 ke Deli meninggalkan kemiskinannya di Ngadiluwih, Kediri, ketika usianya baru 15 tahun. Ia dibawa ke Semarang, lalu dikapalkan. Solidaritas dalam perjalanan, di antara orang yang berontak dari nasibnya itu melahirkan perasaan yang disebut para angkatan tua sebagai dulur tunggal sak kapal -- saudara sekapal. Untuk ukuran Katini dan sejumlah kuli perintis lain seperti Djiman, Lasiem, atau Hadi, Deli untuk sementara adalah perubahan nasib. Waktu itu "para saudara sekapal" dibayar 3 ketip sehari (sama dengan 3,5 kg beras), plus dapat perumahan serta beras. Tetapi perubahan nasib itu dibarengi dengan keharusan membuka hutan untuk perluasan kebun. Dan ini adalah awal kesengsaraan paling pahit bagi para kuli saat itu. Imbalan materi yang mereka terima tiba-tiba tak ada artinya. Karena imbalan itu sekaligus dibarengi dengan terenggutnya kemerdekaan dengan begitu saja. Seperti dilukiskan M. H. Szekely-Lulofs dalam buku Kuli (Grafitipers 1985, terjemahan Dr. A. Ikram), penderitaan telah muncul sejak dalam perjalanan. Bagaimana misalnya, seorang Madura, kelasi kapal dengan seenaknya menarik kuli yang membangkitkan berahinya: "Mari ikut!" Tetapi sekarang tiba-tiba Ruh berdiri di depannya. "Itu istri saya. Dia harus di sini." Kelasi itu memandang Ruki dengan meremehkan. "Kamu mau apa, anjing kontrak? Kamu tidak ada urusan di sini. Perempuan ini ikut saya." Di kebun karet, untuk merebut Rp1.400 sehari, seorang Iskandar kini harus menderes 800 batang rambung bagiannya. Ia tak boleh mangkir, kalau tak ingin dipotong gaji -- jangan terkejut -- Rp3.000 sehari. Ia harus terus menyayat kulit pohon, sampai tiba saat "wolon" (asalnya dari kata "wolu", pukul "delapan"), yakni waktu istirahat, sekitar jam 09.00. Saat para penderes boleh membuka bekalnya, atau pulang makan di rumah. Dua jam kemudian, pekerjaan mengepung lagi. Iskandar harus membersihkan penderesannya. Nanti tengah hari, ia menjemput batok penampung getah, lateks, dan menuangkannya ke bejana berkapasitas 28 liter. Dari dasar batok "lum" dikorek dimasukkan ember. Setelah mengembalikan batok ke tempat dudukannya di batang karet, lalu memunggah tabung getah ke samping boncengan sepeda yang dilapisi rangka kayu. Kemudian baru mendorong hasil kerja ke tangki penampungan. Di tempat penampungan getah karet, adalah Bachrum, 40 tahun. Ia menunggui dua tangki baja, dan bertugas mencatat "penghasilan" penderes. Bachrum dan empat temannya menimbang, mengukur kadar lateks, dan menuangnya ke dalam tangki. Berapa rata-rata perolehan seorang penderes? Yusriadi misalnya, hari itu memperoleh 40 kg lateks dan 8 kg "lum". Di Batangkuis, 16 km dari Medan, para buruh kebun kelapa sawit tak membawa penoreh. Mereka diperlengkapi galah panjang, untuk menyodok. Demikianlah Paeran, dengan upah Rp1.200, seharian harus bisa menyodok 60 tandan sawit. Kalau ia dan 13 teman "sekemandoran" bekerja baik, dalam sebulan akan ada tambahan Rp15.000 per orang. Tetapi sekali saja salah, bila seorang di antara mereka salah memetik tandan muda, misalnya, maka insentif bagi semuanya diturunkan jadi Rp5.000. Di antara pemetik sawit itu, ada juga kuli babat. Mereka disebut buruh "anemer", dan dibayar berdasarkan borongan pekerjaan. Djani atau Kamisah, misalnya. Mereka harus membabat rumput atau semak yang tumbuh di antara pohon sawit. Setiap hektar, mereka dibayar Rp1.000. Djani mengaku, rata-rata mendapat upah Rp1.500 sehari. Setiap Sabtu, pada minggu keempat setiap bulan, suasana di depan Balai Karyawan semarak. Ini terlihat, antara lain, di PTP IX, Pagar Merbau, Tanjungmorawa. Ratusan buruh, sebagian besar bersepeda, berkerumun di situ. Mereka, laki-laki dan perempuan, memenuhi halaman. Sebagian di antaranya menunggu di teras gedung yang tertutup "jerejak" papan. Sebagian lagi duduk di batu pembatas antara jalan dan halaman. Inilah saat mereka gajian. Tepat pukul 17.00, 4 jendela gedung itu dibuka. Tiap meja pembagian gaji dilayani 2 petugas. Di dalam, terdapat 2 meja pula yang siap melayani mereka. Sementara itu, seorang mandor, yang mengambilkan gaji semua buruhnya, membagi-bagikan uang itu kepada anggotanya, di bangku panjang di teras. Ruangan jadi riuh oleh kegembiraan, padahal uang yang diterima tak seberapa. Di antara orang yang bergembira itu nampak Rujiman, 63 tahun, dan Ngadimin, 70 tahun. Sebagai buruh "anemer", mereka hanya gajian satu kali. Tak ikut gajian kecil. "Kalau buruh 'anemer' nggak dapat beras dan jaminan kesehatan," kata Rujiman. Hari itu Rujiman mengantungi uang Rp45 ribu. Keluar dari ruangan, Rujiman mendorong sepeda bututnya ke pintu gerbang. Gembira? Tentu saja. Tetapi kegembiraan Rujiman hanya sebentar. Di rumahnya ia telah menunggu pedagang angsuran yang siap merampas uangnya. Selain itu, ia juga harus membayar utang belanjaan sehari-hari, di kedai dekat rumah. "Saya mesti bayar utang belanjaan, sama angsuran. Duit saya selalu cuma tinggal Rp1O ribu," ujarnya. "Wah, di sini banyak 'tekab', Mas," kata Bedul, Bukan "tekab" sembarang "tekab", ini singkatan dari "tukang kain Batak" -- gaya Sumatera Utara untuk mencemooh. Kebanyakan buruh juga harus menyelesaikan angsuran pada tukang pakaian, yang umumnya orang Batak. Tekab-tekab itu menyempurnakan kemiskinan buruh-buruh perkebunan. "Ya, nasib kami ini mirip ijon," kata Iskandar. Memang jeratan utang melilit semua buruh kebun. Mereka sebenarnya praktis memakan pendapatan bulan berikutnya. Karena itulah di sekitar perkebunan dikenal adanya sebutan "hari percaya" -- sebuah istilah lama. Artinya, bila besok hari gajian, maka warung-warung boleh diutangi. Tetapi setelah gajian, sebutan yang layak hanya "hari sial" -- uang habis tapi nggak boleh utang. Bila tiba masa pensiun, buruh diberi kesempatan satu tahun sebelum enyah dari rumah papan yang mereka huni. Tetapi rumah itu dapat dipertahankan kalau mereka mau bekerja sebagai buruh harian. Atau bila salah seorang anak mereka mewarisi kerja orangtuanya. Kebijaksanaan ini merupakan jerat yang ampuh. Rujiman, misalnya, langsung mendaftarkan diri menjadi buruh harian. "Supaya tak diusir," kata laki-laki yang bekerja di kebun sejak tahun 1948 -- meneruskan karier ayahnya sebagai kuli kontrak. Urusan rumah itu pulalah yang mendorong Boiman bekeria di kebun. Anak ini sebenarnya sudah mencoba mengubah nasib dengan bekerja serabutan di kota. Lalu ia terpaksa balik-pulang, karena Lasiem, orangtuanya, pensiun. Boiman terpaksa jadi buruh kebun, untuk mengoper hak menempati sepetak barak berdinding separuh batu separuh papan itu. Di depan petak itulah kini Lasiem, yang sudah berumur 71 tahun, saban hari duduk melewatkan waktunya. "Habis kalau diusir dari rumah ini kan kasihan," katanya. Menurut ketentuan, para buruh hanya dikontrak tiga tahun. Setelah itu bebas. Tapi nyatanya lain. Pihak perkebunan selalu berhasil menciptakan suasana sebegitu rupa -- konsumerisme dan perjudian -- sehingga para buruh terjebak dan akhirnya terus terikat. Bukan saja orang-orang itu kemudian terpaksa terus memburuh, melainkan mental kuli kemudian merangsuki jiwa mereka. Mental macam itu diwariskan turun-temurun pada anak cucunya. Apa yang disebut "mental kuli" adalah peri laku yang muncul akibat kebiasaan berjudi, mabuk-mabukan, dan perdagangan seks jerat-jerat yarg memang sejak dulu dipacu untuk menggagalkan buruh-buruh itu keluar dari sangkarnya. Ir. Amaluddin Nasution, seorang staf perkebunan, pernah "berbaik-baik" dengan buruh kebunnya, dengan mengajak berbincang dan memberinya rokok. Tapi apa yang terjadi kemudian, ketika ia tak lagi memberi rokok? "Mereka malah malas-malasan," kata Fidel, nama panggilan Amaluddin. "Buruh itu kelihatannya memang harus sedikit dikerasi." Apakah karena adanya faktor "mental kuli" itu, kalangan staf lalu mencoba mengambil jarak dengan buruh-buruhnya? Atau kerenggangan antara mereka juga merupakan warisan lama: tidak layak buat staf bergaul dengan bawahan. Apa pun penyebabnya, beda strata memang sangat terasa. Di perkebunan, rumah staf yang lapang, dengan pekarangan luas dan deretan lapangan tenis, bagaikan rumah dewa dibandingkan dengan barak-barak papan lusuh, yang hanya diterangi lampu "teplok". Keadaan begini melahirkan perasaan tertentu bagi anak-anak buruh maupun staf. Kamal, anak yang berbaju sobek itu, enggan bermain di sekitar perumahan staf, misalnya. "Takut kalau dimarahi," ucap Kamal. "Waktu saya kecil pernah diludahi anak staf. Wah, menyakitkan," kata Sugeng Satya Dharma, keturunan buruh kebun yang kini menjadi wartawan di Medan. Di kalangan buruh ada anggapan bahwa sulit bagi anak mereka untuk bisa menjadi staf di perkebunan itu, walaupun berpendidikan ffnggi. Maka, hanya ada satu jalan bagi mereka untuk maju: tinggalkan kebun. Kenyataannya, banyak yang tak mampu meskipun niat ada. Persoalan buruh dan perkebunan, menurut Ir. Sawarno, Direktur Utama PTP IX, adalah soal kultur. Akibat manajemen Belanda, buruh menjadi terlalu menggantungkan diri pada perusahaan. Padahal, mereka konsumtif. Untuk mengatasi itu, ia mengaku telah mencoba membangkitkan kerja sama antara mereka, di antaranya dengan mendorong tumbuhnya koperasi, dan Sarikat Gotong Royong. Dengan iuran Rp25 bagi buruh, Rp500 atau Rp1.OOO bagi staf, "Sarikat" bisa memberikan Rp1,5 juta pada anggotanya yang mendapatkan musibah. Tipisnya nilai keagamaan di kalangan perkebunan menjadikan urusan seks longgar. Acap ada skandal antara mereka -- sering mandor dengan buruh wanitanya. Pada mereka ada istilah "ora kalong wae" (toh, tak kehilangan apa-apa) dalam soal seks. Untuk itu Sawarno juga telah mengancam keras para stafnya: "Kalau ada pelanggaran seks, tidak ada maaf bagimu." Upaya memperbaiki nasib buruh secara mendasar -- walaupun baru dirasakan sebagian kecil mereka -- telah dilakukan. Beberapa tahun lalu ada Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU) -- cikal bakal Perkebunan Inti Rakyat (PIR), proyek yang dibiayai Bank Dunia. Setiap keluarga buruh perkebunan diberi jatah kebun karet masing-masing 2 hektar. Begitu kontrak dengan Bank Dunia habis, kebun itu milik mereka. Kenyataannya, menurut Fidel, tak demikian. Sebagian besar petani yang dibimbing P3RSU dulu, sekarang malah menjadi buruh di tanahnya sendiri. Kendati tetap bekerja di situ, "mereka diam-diam menjual kebunnya pada orang lain," kata Fidel. Para kuli nampaknya memang sulit untuk bangkit. Seperti yang diceritakan Lulofs: Semuanya habis diperjudikan. Uangnya. Kepingan emasnya. Pakaiannya. Dengan telanjang dada, hanya memakai celana pendek ia kembali ke kamarnya. Jalannya tenang, diam...". Paeran, yang cuma lulus SD, menguatkan, "Yo wis nasipe ngene, yo opo meneh? (ya sudah, nasibnya memang begini, mau apa lagi)". Sedang Lasiem, yang sampai di Sumatera tahun 1933, menimpali, "Saya 'nyesel kok' dulunya kok mau neken kontrak." Begitu dalam kesengsaraan kuli-kuli perkebunan, sebenarnya mereka bukan yang paling sial. Dibanding penghasilan banyak buruh pabrik sekitar Jakarta (ada yang hanya Rp 900 sehari plus makan siang), misalnya, mereka yang mendapat hak tempat tinggal itu, ternyata, masih bisa dikatakan lumayan. Menurut Sawarno, "Nilai gaji buruh sehari Rp 3.100." Ini termasuk nilai beras, perumahan, juga biaya pengobatan. Barangkali masalahnya, mengapa nasib buruk itu tak dapat digerakkan meskipun sekian generasi telah lewat. Para buruh tua mengatakan, nasib buruh kini lebih buruk ketimbang zaman dahulu. "Dulu ban sepeda saja disediakan," kata seorang buruh. Zaim Uchrowi, Muchsin Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini