Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Urusan kendur moral

Penyelewengan dan perjudian di kalangan para kuli kontrak di perkampungan buruh, kab.deli serdang, berlangsung sejak zaman belanda. akibatnya kehidupan mereka terus melarat & tak berdaya menolak kontrak.

21 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu malam, setelah hari gajian besar, perkampungan buruh tampak sepi. Hanya dari sebuah rumah terdengar dentam gendang dan denting saron. Di sana ada hajat sunatan. Mereka "nanggap" kuda kepang. Dua orang lelaki, Parjo dan Iskandar, berjalan ke arah warung Atun. Di dekat warung itu keduanya berbelok menuju sebuah rumah. Itu rumah kakak ipar Iskandar. Hanya sebentar, kemudian Iskandar keluar lagi, lalu menuju warung buat "ngopi". Parjo ditinggal di rumah itu, entah melakukan apa. Kabarnya, Parjo ada main dengan kakak ipar Iskandar. Sejam kemudian Parjo keluar dari rumah "pacarnya" itu, menuju warung. Lelaki berkulit hitam dengan kumis melintang itu lalu mengajak Iskandar pergi ke keramaian. "Yok, nonton kuda kepang. Nanti biar saya yang 'nggendangi'," ajak Parjo. Iskandar pun melangkah. Ia "cuek" terhadap apa yang baru saja terjadi. Di keramaian, di antara dentam gendang, mereka bersua dengan seorang wanita. Wanita itu sendirian. Tak berapa lama, seorang lelaki mendekatinya. Iskandar, Parjo, dan siapa pun yang melihat tak acuh saja, walaupun pria itu bukan suami wanita tadi. Maklum, sang suami, Sutrisno, sedang tugas malam di pabrik. Setelah ngobrol sebentar di pojok yang gelap, pelan-pelan wanita dan pria itu pergi. Di tengah kegelapan jalan becek, samar-samar kedua insan itu menyelinap masuk rumah si wanita yang hanya diterangi lampu teplok. Apa yang terjadi dapat diduga. Tapi mereka yang melihat tak peduli. "Alaaaah, nggak usah diributin," kata Iskandar sembari senyum. "Dari dulu dia juga begitu, kok." Melacurkan diri diam-diam, bikin skandal, dan urusan-urusan "kendur moral" lainnya, adalah hal biasa di perkebunan-perkebunan sawit dan karet di Sumatera Utara. "Soal perempuan memang soal biasa di kebun," kata Djiman, yang sudah kakek-kakek itu. Pengakuan itu tak hanya tertuju pada keluarga lain tetapi juga untuk keluarga mereka sendiri. Ini dikemukakan sendiri oleh Katini, istri Djiman. "Saya ini dulu kesayangan Tuan Smith, lho," kata Katini dibaringi terkekeh-kekeh. Djiman hanya tersenyum. "Memang Katini dulu cantik," kata Djiman mengomentari istrinya. "Sampai Tuan Smith mengejar-ngejar." Padahal, ketika itu Djiman dan Katini sudah menikah. Tapi ia menganggap hal itu biasa saja. Bagi sebagian besar buruh, bila anak (atau istri) diambil "tuan Belanda" sebagai " nyai", bukan aib. Mereka malah bangga. Sebab -- ini kata Rumini, 62 tahun -- wanita itu akan dipanggil "jeng", keluarganya pun dibikinkan rumah dan diberi uang. Bukan hanya Belanda saja yang suka menikmati para wanita bawahannya. Para staf dan mandor pribumi pun doyan. Dulu, lho. Cara prakteknya macam-macam. Di antaranya, dengan meminta buruh wanita yang diincarnya bekerja membersihkan rumput di pekarangan rumah. Lalu, terjadilah apa yang ingin terjadi. Imbalannya hanya sekadar tak usah kerja di kebun, dan sedikit persenan. Syukurlah sekarang percintaan gelap begini telah berhenti. Bukan karena para stafnya lebih bermoral, tetapi -- seperti yang dikatakan Parjo -- "kalau mau nyeleweng lebih aman di kota bukankah transportasi mudah, dan mereka semua bermobil." Tapi penyelewengan antara keluarga buruh sekarang masih terus terjadi. Acap seorang suami berpura-pura tak tahu (malah pergi) bila istrinya main dengan tetangga. Sementara itu, sang suami mungkin juga menggauli istri orang lain. Hal begini sudah jadi rahasia umum. Kebejatan semacan itu menjadi-jadi karena adanya judi. Sejak zaman Belanda, setiap gajian besar atau gajian kecil, suasana kebun selalu meriah. Belanda mesti mengundang hiburan ke perkebunan: Ronggeng Jawa, Wayang Cina, judi "kepyek" serta "ceki". Pendamping paling baik terhadap semua itu, apa lagi kalau bukan minuman keras. Sasarannya jelas: membuat para koeli kontrak itu terus melarat sehingga tak berdaya menolak kontrak. "Kebanyakan orang di sini melarat karena main judi. Biar laki-laki atau perempuan, semuanya berjudi," kata Rumini. Hanya para Cinalah yang makin tambun lantaran judi karena merekalah bandarnya. Kenyataan ini dibenarkan oleh para buruh tua. Persis seperti yang diceritakan Lulofs di dalam buku Kuli, hampir semua buruh pada masa lalu menabung untuk bisa pulang ke Jawa. Yang tragis, simpanan berhari-hari, bahkan bertahun-tahun, tandas semalam saja di meja judi. Hal semacam dialami Lasiem. Mau balik ke Jawa, "eee, duitnya habis dibuat Ardjobesari main judi." Ardjobesari adalah suami Lasiem. Almarhum ayah Rujiman juga mabuk judi. Setiap kali habis gajian, "bapak saya bawa tempurung ke pasar buat main 'kepyek'." Kalau sudah begitu, ia tak mau berhenti sebelum uangnya habis. Pernah suatu saat ibu Rujiman melahirkan. Suaminya tak ada di tempat, maka Rujiman pun disuruh menyusul ayahnya. "Bapak lalu memberi seringgit, tapi ya nggak pulang. Asyik main judi." Kini perjudian dan mabuk-mabukan alhamdulillah sudah tidak segila dulu. Tetapi celakanya sekarang mereka merubung kode-kode ramalan KSOB dan TSSB terbitan sejumlah koran kuning di Jakarta atau Medan yang bergeletakan di meja. Kalau sudah begini, ya sama saja. Kapan nasib mereka akan bererak? Z.U & M.L.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus