Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ivan Ahmad, pengemudi ojek online atau ojol tengah beristirahat di pinggir jalan Melawai, Jakarta Selatan. Ia terus menatap ponselnya, menunggu pesanan datang. Sejak jam enam pagi hingga pukul 6 sore, ia mengungkapkan baru mendapat 10 pesanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Sekarang maksimal saya dapat 15 orderan. Dulu juga segitu, tapi penghasilan saya sekarang lebih kecil," ujar Ivan saat ditemui Tempo pada Rabu, 21 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pria berusia 32 tahun itu bercerita dirinya selalu memulai hari menjemput pesanan pada sekitar jam enam pagi dan menutup hari pada pukul 11 malam. Ia biasa mengantarkan penumpang mulai dari tempat tinggalnya di sekitar Jalan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan, hingga Bekasi. Sebelum pulang, ia selalu mengisi bensin kendaraannya agar perjalanannya di pagi hari lebih lancar.
Ivan sudah melakukan rutinitas itu sebagai sejak 2015. Di awal-awal ketika memulai jadi pengemudi ojol, ia bisa mengumpulkan uang lebih dari Rp 600 ribu per hari. Terlebih, bonus saat itu bisa mencapai Rp 200 ribu, katanya. Namun sekarang, dengan 15 orderan sehari penuh, penghasilan kotornya hanya mencapai Rp 300 ribu.
"Itu pendapatan kotor saya. Lebih sering lagi cuma Rp 200 ribu. Tapi dipotong 20 persen untuk biaya aplikasi," tutur Ivan sambil memperlihatkan riwayat pesanan yang ia peroleh hari itu.
Terlihat ia mendapat pesanan penumpang ke daerah Bintaro Rp 30 ribu. Pendapatan yang ia dapatkan dari pesanan itu sebesar Rp 22 ribu, sisanya Rp 8 ribu masuk ke kantong aplikator sebagai potongan biaya aplikasi.
"Ini lagi (potongan komisi) 20 persen, kadang malah lebih dari 25 persen. Nama potongannya itu sebenarnya macem-macem, sampai saya enggak hapal," kata dia.
Ivan mengaku sempat mendengar bahwa pemerintah telah menaikan tarif ojol dan menurunkan biaya potongan aplikasi atau komisi menjadi 15 persen. Namun hingga hari ini, belum terasa potongan biaya-biaya itu. Pendapatannya pun tak banyak berubah, khususnya sejak pandemi Covid-19 ketika aplikator tak lagi memberi bonus besar seperti dulu.
Ia mengaku pasrah pendapatannya terpotong melebihi ketentuan. "Saya capek kerja. Mau protes juga nanti poin saya takut kenapa-kenapa," kata dia.
Ivan pun menceritakan pengalamannya pada 2018 silam saat ikut berdemonstrasi menuntut kenaikan tarif dan kejelasan perlindungan bagi para pengemudi bersama komunitas ojol. Tapi kali ini, ia mengaku tak sanggup ikut berunjuk rasa lagi.
Sementara itu, Lily Pujiati bersama kawannya sesama pengemudi ojol yang menamakan diri sebagai Serikat Pekerja Angkutan Indonesia berupaya menghimpun keluhan para pengemudi ojol. Terutama, keluhan soal pelanggaran jumlah potongan biaya komisi yang menembus batas aturan dari pemerintah, yakni 15 persen.
Aduan itu akan terus ia bawa kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Senin lalu, ia bersama delapan pengemudi ojol lainnya membawa sebuah amplop besar yang bertuliskan atasnya, 'Laporan Dosa Aplikator'. Padahal, tutur Lily, SPAI sudah pernah mengirimkan surat berisi keluhan pelanggaran potongan aplikator ke Kemenhub.
“Namun sampai sekarang tidak ada respons dan tindak lanjut. Kami tidak pernah dihubungi Kemenhub terkait hal tersebut,” ujar Lily.
Adapun penyesuaian tarif baru ojek online disahkan melalui Keputusan Menteri Perhubungan berdasarkan Nomor KP 667 Tahun 2022 mengenai Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi, yang dirilis 7 September lalu.
Di dalam aturan itu disebutkan bahwa biaya potongan aplikasi turun dari 20 persen menjadi 15 persen, dan berlaku secara efektif mulai Ahad pekan lalu, 11 September 2022.
Lily menyerukan kepada driver ojol lainnya untuk melaporkan juga sebagai bentuk pengawasan bersama. Lily berharap ada diskusi antara pengemudi, Kemenhub, dan juga para aplikator. Kehadiran aplikator dinilai penting untuk menjelaskan pelanggaran yang telah dilakukan.
Sebab, usai dikeluarkannya Kepmenhub Nomor KP 667 Tahun 2022, kata dia, aplikator selalu beralasan masih mendiskusikan potongan aplikator dengan pemerintah. Lily menilai hal itu menjadi tanda tanya besar karena seharusnya aplikator langsung menjalankan aturan, bukan malah masih menawar besaran potongan aplikator agar tetap menguntungkan perusahaan.
“Persoalan pelanggaran aplikator ini adalah buntut dari lemahnya posisi driver dengan status mitra yang tidak dilibatkan dalam perundingan bersama,” ucap Lily. Karena itu, para pengemudi ojol menuntut perubahan status mitra menjadi pekerja tetap.
Sementara itu, kenaikan tarif ojol yang diberlakukan oleh Kemenhub juga belum dirasakan manfaatnya oleh para pengemudi. Pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan menilai jika pemerintah meregulasi ojek online untuk menambah pendapatan para mitra pengemudi, maka langkah tersebut keliru. Sebab justru perusahaan penyedia aplikasi ojek online yang mendapatkan keuntungan paling besar.
"Karena pemilik platform prinsip pemotongannya persentase. Semakin tinggi angka, semakin nggak dapat besar persentasenya," tutur Azas.
Ia menilai cara terbaik untuk menaikkan penghasil para mitra memang memangkas presentase biaya jasa yang diberlakukan oleh pemilik platform. Namun pelaksanaan akan sulit karena ojek online dimiliki perusahaan swasta, sehingga aturan tetap di tangan perusahaan.
Selain itu, ojek online belum diakui sebagai transportasi publik. Padahal pengakuan akan ojek online sebagai transportasi publik dan perubahan status mitra menjadi karyawan adalah hal penting.
Oleh karena itu, menurut Azas, harus didorong agar hak-hak mitra pengemudi bisa betul-betul dilindungi oleh negara. Hal tersebut semakin mendesak karena mitra pengemudi ojek online sudah berjumlah jutaan orang dan tersebar hampir di seluruh Indonesia.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mencatat kini tarif ojek online atau ojol sudah di atas tarif ojek pangkalan. Namun persoalannya, semua pendapatan ojek pangkalan bisa masuk ke kantong pengemudi, sedangkan para pengemudi ojol harus membaginya dengan aplikator berupa biaya komisi.
"Selain komisinya yang besar, yakni sekitar 20 persen, ojol juga mengambil biaya penggunaan aplikasi ke konsumen. Jadi 20 persen yang didapat itu bersih," tuturnya saat dihubungi Tempo pada Senin, 19 September 2022.
Yang terjadi sekarang, kata Heru, masalah terkait ojol mulai dari aset, risiko, dan tenaga kerja ditanggung mitra pengemudi ojol. Sehingga dengan kenaikan harga BBM, ongkos produksi pun naik.
Kenaikan tarif ini juga tidak otomatis meningkatkan pendapatan pengemudi karena besarnya ongkos produksi tersebut. Sementara bagi aplikator, kenaikan tarif langsung meningkatkan pemasukannya.
Heru yang juga merupakan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional mengatakan konsumen padahal berharap adanya ojol bisa menawarkan tarif yang lebih terjangkau. Kementerian Perhubungan sebagai regulator dinilai harus segera menggelar public hearing agar masalah-masalah ini dibahas jelas dan transparan.
Saat dimintai konfirmasi, Kementerian Perhubungan mengklaim beberapa pengemudi ojek online atau ojol justri merespons baik atas kenaikan tarif baru. “Saat ini sudah ada beberapa pengemudi yang mengucapkan terimakasih, baik yang datang langsung ke kantor maupun hanya melalui WhatsApp,” ujar Direktur Lalu Lintas Angkutan Jalan Kemenhub Suharto melalui pesan pendek pada Sabtu, 17 September 2022.
Menurut Suharto, para pengemudi ojol itu merasa cukup dengan potongan biaya sewa aplikasi sebesar 15 persen, seperti yang tercatat dalam aturan tersebut. Sehingga, kata dia, apabila ada pengemudi yang berharap ke angka 10 persen, maka harus didiskusikan lagi antar pengemudi terlebih dahulu.
“Karena tak mungkin aplikator menerapkan angka yang berbeda-beda terhadap sesama pengemudi,” tutur Suharto.
Dengan biaya sewa aplikasi ojol sebesar 15 persen, bila ada aplikator yang melanggar, Kemenhub membutuhkan masukan dari para pengemudi ojol dan penumpang sebagai wujud pengawasan bersama. Kemenhub juga akan menindak lanjuti dengan meneruskan laporan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk diberikan sanksi.
Suharto menjelaskan penertiban aplikator yang melanggar adalah wewenang Kominfo, karena berkaitan dengan sistem aplikasi. Namun, Kemenhub bisa memfasilitasi hal itu jika terjadi di lapangan. “Nantinya bisa diambil tindakan (oleh Kominfo) apakah sampai dengan di-suspend atau apakah nanti sifatnya lebih permanen,” tutur Suharso.
Menanggapi hal ini, Senior Vice President Corporate Affairs Gojek Rubi W. Purnomo mengungkapkan perusahaannya terus berupaya untuk menyeimbangkan kebutuhan para pemangku kepentingan yang bergantung pada teknologinya, termasuk mitra pengemudi, UMKM dan pelanggan.
Selain mengikuti aturan terbaru terkait tarif layanan GoRide, kata dia, Gojek juga telah secara proaktif melakukan penyesuaian tarif bagi lima layanan lain di dalam ekosistemnya, yakni GoCar, GoFood, GoSend, GoShop dan GoMart. Hal itu menurutnya guna mendorong potensi pendapatan maksimal bagi para mitra pengemudi Gojek.
"Sekaligus mendukung Gojek dan para mitra untuk terus memberikan layanan terbaik bagi pelanggan," ucap Rubi.
Adapun Grab Indonesia mengaku masih terus berkoordinasi erat dengan pemangku kepentingan terkait mengenai biaya komisi. Director of Central Public Affairs Grab Indonesia Tirza Munusamy mengatakan besaran biaya komisi telah dihitung saksama dan digunakan untuk menunjang kebutuhan mitra pengemudi guna menjaga kesejahteraan mitra pengemudi.
Namun, dia enggan memberikan angka pasti berapa besaran potongan yang diterapkan Grab Indonesia. Biaya tersebut meliputi biaya operasional (24/7 GrabSupport, 24/7 Tim Cepat Tanggap Kecelakaan, Pusat Bantuan, Grab Driver Lounge, Grab Driver Center, Grab Excellence Center, biaya transaksi non-tunai). Selain itu ada penggunaan sistem teknologi yang mengatur orderan dan menghubungkan mitra pengemudi dengan konsumen.
“Hingga berbagai program untuk mitra pengemudi seperti GrabBenefits, donasi, Program Kelas Terus Usaha, dan lainnya,” tutur Tirza.
Sedangkan ojol Maxim yang telah menerapkan biaya komisi maksimal 15 persen juga buka suara soal berbagai protes mengenai besaran potongan biaya aplikasi itu. Business Development Manager Maxim Imam Mutamad Azhar mengatakan hanya kebetulan jika Maxim telah menerapkannya sejak awal.
Namun tiap aplikasi memiliki bisnis model yang berbeda dan bisa saja memiliki perhitungannya masing-masing. Sehingga, aturan komisi itu belum tentu relevan diterapkan pada seluruh aplikator.
Menurut dia, para pemangku kebijakan yang berhubungan dengan bisnis model aplikasi transportasi harus memahami betul hal-hal kritikalnya. Aturan biaya komisi itu justru akan mengakibatkan hal yang negatif. Imam berkata, ada hal yang patut ditelah perihal dasar penetapan besaran potongan komisi tersebut. Ia pun mempertanyakan apakah besaran potongan itu termasuk hal yang boleh dan diharuskan ditetapkan oleh pemerintah.
Imam kemudian membandingkan dengan aturan terhadap aplikasi lain yang tidak berhubungan dengan transportasi. Mereka, kata dia, tidak memiliki ketentuan terkait besaran potongan komisinya, juga untuk transaksi yang dilakukan di aplikasinya. Sementara bisnis modelnya sama dengan aplikasi ojol.
Perbedaannya hanya pada komoditinya saja. Jika aplikasi ojol menawarkan jasa transportasi, sementara di aplikasi lain berupa barang dan lainnya. "Apabila penentuan dari penetapan potongan tersebut menyebabkan kerugian terhadap aplikator, bukan tidak mungkin layanan transportasi di aplikasi tersebut ditutup," kata dia saat dihubungi Tempo pada Selasa, 20 September 2022.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.