Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai angkutan daring atau ojek online (ojol) gagal sebagai bisnis transportasi. Sebab, kata dia, pengemudinya sering mengeluh dan demo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bekerja tidak dalam kepastian, status keren sebagai mitra akan tetapi realitasnya tanpa penghasilan tetap, tidak ada jadwal libur, dan tidak ada jaminan kesehatan. Jam kerja tidak terbatas," kata Djoko dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 9 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pengemudi, Djoko melanjutkan, tidak akan merasakan peningkatan pendapatan karena tergerus potongan-potongan fasilitas aplikasi. Apalagi statusnya bukan pegawai, melainkan mitra.
Djoko mengatakan kegagalan bisnis transportasi daring sudah terlihat dari pendapatan yang diperoleh mitranya atau driver ojek online. Sekarang, pendapatan rata-rata pengemudi ojek daring masih di bawah Rp 3,5 juta per bulan dengan lama kerja 8-12 jam sehari dan selama 30 hari kerja sebulan.
Rata-rata pendapatan itu, menurut Djoko, tidak sesuai dengan janji para aplikator angkutan berbasis daring pada 2016. Kala itu aplikator menjanjikan pendapatan sekitar Rp 8 juta per bulan.
Baca juga: Jumlah Penumpang Ojek Online Turun karena Tarif Naik, Berikut Data Lengkapnya
Karenanya, menurut dia, sulit menjadikan profesi pengemudi ojol menjadi sandaran hidup. Sebab, aplikator tidak membatasi jumlah pengemudi, menyebabkan ketidakseimbangan supply dan demand..
Jika ingin menjadikannya sebagai angkutan umum, kata Djoko, otomatis segala persyaratan dan hal-hal yang berlaku juga diterapkan untuk transportasi daring. Misalnya, pengemudi wajib melakukan uji berkala atau KIR, wajib dilengkapi perlengkapan, SIM C Umum, dan plat nomor kendaraan berwarna kuning. Tarif ojol pun ditetapkan perusahaan angkutan umum—bukan aplikator seperti sekarang—atas persetujuan pemerintah.
Djoko menyebut Kota Agats (Kabupaten Asmat) sejak 2011 sudah menerapkan ojek sebagai angkutan umum dan kendaraan pelat kuning. Kendaraan yang digunakan adalah sepeda listrik. Sebab, hampir 100 persen kendaraan di Kota Agats menggunakan kendaraan listrik.
“Kabupaten Asmat sudah memiliki Perda dan Perbup yang dapat mengatur ojek sebagai angkutan umum,” ujarnya.
Karena itu, menurut Djoko, jika pemerintah ingin melindungi warganya, mereka dapat dibuatkan aplikasi dan diserahkan ke daerah untuk dioperasikan. “Seperti halnya yang dilakukan Pemerintah Korea Selatan membuat aplikasi untuk usaha taksi. Dalam upaya untuk melindungi sopir taksi yang kebanyakan tidak berbahasa Inggris dan rata-rata sudah berusia tua,” katanya.
Baca juga: Jumlah Penumpang Ojek Online Turun karena Tarif Naik, Berikut Data Lengkapnya
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini