Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nasib pengamen amerika

Karena faktor ekonomi, banyak musisi amerika terjun ke jalanan. harga diri jadi kempes. di as persaingan untuk bisa menonjol tak semudah di indonesia. (fk)

28 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALI-SEKALI, boleh juga mendengar cerita dari New York. Bila orang berjalan sepanjang Fifth Avenue sejak sekitar dua tahunan ini, akan terdengar musik berganti-ganti, bagaikan dari sejumlah toko radio. New York kini menumbuhkan para pengamen. Obo, klarinet, akordeon, harmonika listrik. bahkan juga harpa dan.... piano -- dengan serius atau tak serius dimainkan di bawah udara musim panas atau semi. Ada band Appalachian, duet klasik, kwartet jazz, kwintet Baroque. Ada musik New England, Amerika Latin, suara tradisionil Irlandia, Afrika, Italia. Puerto Rico dan entah apa lagi. Yang belum ada barangkali cuma permainan kecapi untuk mengiringi Kembang Breum atau Dandanggula Turu Lare, gitar di sela-sela seruan A Sing Sing So atau gendang buat lagu Bergadang Keadaan perekonomian Amerika yang lagi prihatin tercermin di situ. Para musisi bokek. Tapi mereka berharap ada para pejalan kaki yang punya sisa uang receh yang lebih. Mereka berharap hati para orang lewat lagi dermawan, dan cuaca cukup kooperatif. Hasilnya memang tak selalu begitu. Kebanyakan pengamen mendapatkan $ 100 setiap minggu -- suatu jumlah yang rada pas-pasan buat harga gaya New York di masa krisis ini. Faktor lain, selain keadaan perekonomian mengembangkan gejala ini. Orang mulai bertambah penghargaannya kepada kebudayaan rakyat, kebudayaan orang biasa yang bertautan dengan hidup sehari-hari -- berkat gerakan hippie di masa lalu. Dan jalanan dianggap jadi salah satu pusat kebudayaan itu. Dan para musisi tak canggung lagi terjun ke sana. Seorang pemain biola berumur 26 tahun, James Graseck, yang menggesek biola selama 15 tahun mengumpulkan hasil ngamennya sejak tahun lalu buat membiayai konsernya di Carnegie Hall, Pebruari barusan. Namun tak semua musisi ikhlas memilik pertunjukan di jalanan itu. Jalanan, seperti kata seorang pemain gitar, adalah pentas paling bengis di dunia. Dan keluh yang lain: "Di sini harga diri saya kempes betul-betul". Tapi apa daya? Di AS, persaingan untuk bisa menonjol tak semudah di Indonesia. Kini persaingan itu makin menyempit arenanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus