BISA difahami jika gagasan wilayah perdagangan bebas yang semula
dilansir oleh Singapura tak jadi dibicarakan dalam KTT ASEAN di
Bali. Selain Indonesia merasa keberatan untuk meluluskan gagasan
itu dalam jangka pendek -- karena dipandang bakal memukul
kepentingan dalam negeri sendiri membicarakan masalah yang masih
peka itu sekarang juga tentunya hanya akan menyulitkan jalannya
konperensi yang ingin menempuh konsensus. Maka untuk melicinkan
jalan ke Bali, Menlu Singapura S. Rajaratnam setibanya di
pelabuhan udara Ngurah Rai, Jumat lalu cepat berkata: "Singapura
tak akan menampilkan masalah tersebut selama konperensi".
Untuk sementara, barangkali. Beberapa hari sebelum para delegasi
dari Singapura terbang ke Bali, koran-koran di Kota Singa itu
masih juga menampilkan gagasan yang begitu mereka dambakan. Juga
dalam pertemuan tingkat pejabat senior ASEAN di Jakarta, selepas
pertemuan tingkat Menlu di Pattaya Muangthai dan menjelang KTT
di Bali, konon masih dilakukan penjajagan seberapa jauh topik
wilayah perdagangan bebas itu patut dikemukakan. Konsensus yang
timbul di Pattaya untuk membicarakan kerjasama perdagangan di
kawasan ASEAN dengan melihat masalah demi masalah (item by item)
memang mendapat tempat dalam KTT di Bali. Tapi jika dalam
tingkat Kepala Negara maupun tingkat pertemuan para Menteri,
kemungkinan kerjasama di bidang indusri dan perdagangan antar
ASEAN itu tak ampai dipersoalkan secara mendetil. Salah satu
kemungkinan'yang dilemparkan dalam konperensi, untuk mengukuhkan
pertemuan tingkat Menteri dan para pejabat senior sebelumnya,
misalnya adalah kemungkinan untuk mendirikan suatu pabrik pupuk
bersama. Juga tentang gagasan yang datang dari Indonesia untuk
membina kerjasama di bidang minyak dan pangan.
Kurang Tangan
Cara menempuh kerjasama ekonomi seperti itu yang juga disebut
piecemeal cooperation, agaknya memang sejalan dengan yang
dikemukakan para ahli dari PBB. Yakni, agar liberalisasi
perdagangan itu dilakukan secara selektif dan pendirian
pabrik-pabrik itu dilakukan secara merata di antara kelima
negara ASEAN. Tapi sebaliknya, cara seperti itu oleh Singapura
dipandang hanya akan mengulangi kegagalan atau kelambanan yang
terjadi di antara negara-negara Amerika Latin. Tang I-Fang,
Wakil Ketua dari Economic Development Board, Singapura dalam
suatu konperensi di Hongkong akhir Oktober tahun lalu pernah
mengemukakan secara panjang lebar tentang perlu perdagangan yang
lebih bebas di antara ASEAN. Menanggapi pendekatan item by item
itu, Tang yang juga adalah penasehat dekat Pemerintah Singapura
itu, beranggapan "cara demikian hanya akan menimbulkan friksi
dan frustrasi daripada kerjasama dan kemajuan". Menurut Tang,
penekatan seperti itu pernah dicoba oleh negara-negara di
kawasan Amerika Tah, Selatan dan Afrika Tengah. Juga antara
Singapura dan Malaysia di awal tahun 1960-an. "Seluruh diskusi
untuk itu jadi punah tak tentu rimbanya . . ."', katanya.
Kembali pada KTT di Bali, maka bisa dimengerti kalau Singapura
-- dan mungkin juga Pilipina yang menyetujui gagasan wilayah
perdagangan bebas -- tak begitu tertarik mendalami
kemungkinan-kemungkinan kerjasama di bidang ekonomi secara
selektif itu. Sebaliknya, kerjasama tentang keamanan dan masalah
pebatasan yang tersimpul dalam Treaty of Amity and Cooperation,
merupakan hal yang lebih mendapat perhatian sehma konperensi
yang cuma 2 hari itu. Juga tentang bagaimana sebaiknya hubungan
dengan kawasan Asia Tenggara dengan poros Hanoi konon menjadi
pembicaraan di balik pintu tertutup di ruang konperensi di
Pertamina Cottage Bali yang megah itu. Adapun tentang Treaty of
Amity yang menyangkut masalah keamanan terutama untuk
daerah-daerah perbatasan antar negara ASEAN pada mulanya timbul
sedikit kesulitan. Yakni antara Malaysia dan Filipina tentang
soal Sabah. Tapi dengan semang persaudaraan ASEAN, KTT di Bali
itu pun akhirnya bersetuju untuk menyambut usul Presiden Marcos:
bahwa kerjasama keamanan itu tak boleh diartikan sebagai
peningkatan persenjataan antar anggota ASEAN.
Bagi Indonesia sendiri, yang merasa belum bisa mengikuti jejak
Singapura, agaknya bukan cuma ketertinggalan dalam industri dan
perdagangannya saja yang meniadi alasan ditolaknya gagasan
perdagangan bebas. Tapi, lebih dari itu, kesulitan ekonomi yang
tiba-tiba menyerang posisi keuangan dalam negeri setidaknya
membuat para pengatur negeri ini kurang tangan untuk bicara
banyak dalam perkara pembebasan tarif yang disodorkan rekan
Singapura.
Diplomasi Widjojo
Tapi itu bukan berarti bahwa langkah-langkah untuk menjalin
kerjasama ekonomi jadi kurang dibicarakan di Bali. Bagi Menteri
Ekuin Widjojo Nitisastro yang belakangan ini mulai tampil dalam
layar ASEAN, pertemuan puncak di Bali itu telah dimanfaatkan
untuk paling tidak menjelaskan duduk perkara sebenarnya mengapa
Indonesia merasa belum cukup siap untuk menerima gagasan
Singapura, yang cepat atau lambat sesungguhnya menjadi idaman
dari kerjasama ekonomi antar negara ASEAN. Dan diplomasi Prof.
Widjojo tampaknya berhasil. Wartawan TEMPO Toeti Kakiailatu
dalam interlokalnya yang diterima Senin pagi lalu, melaporkan
telah tercapai suatu kerjasama ekonomi ASEAN, bernama
Declaration of ASrAN Concord Terdiri dari 5 pasal, deklarasi
yang ditandatangani oleh kelima anggota ASEAN itu mencapai kata
mufakat untuk saling membantu di bidang pangan dan enerji.
Disebutkan bahwa negara anggota harus saling membantu
mengembangkan kedua kebutuhan pokok tersebut, terutama bila
timbul suatu krisis. Selain prioritas di bidang pangan dan
enerji (minyak) itu, deklarasi juga menyetujui dirintisnya suatu
kerjasama di bidang proyek industri yang besar (large scale).
Deklarasi tersebut memang belum bicara sampai ke masalah detil.
Tapi baru mengemukakan pokok-pokoknya saja. Untuk itu para
Menteri ekonomi ASEAN akan kembali berkumpul di Kuala Lumpur 8
Maret nanti untuk melanjutkan pembicaraan, baik tentang
perdagangan (preferential trading commdities),terutama yang
menyangkut peningkatan perdagangan bahan-bahan pokok (basic
commodities) di antara negara ASEAN. Juga tentang penentuan
jenis dan lokasi industri besar tingkat ASEAN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini