BERITANYA kembali bermula dari Radio Australia, khususnya siaran
bahasa Inggeris ABC (Australian Broadcasting Commission), 17
Pebruari lalu ABC memberitakan bahwa gangguan gerilyawan OPM
(Organisasi Papua Merdeka) telah meningkat menyusul penyerbuan
'sukarelawan' Indonesia di Timor-Timur. Menurut koresponden ABC,
Albert Asbury, hal itu telah dibenarkan oleh sumber-sumber
intelijen Papua Nugini di Port Moresby, negeri tetangga yang
langsung berbatasan darat dengan Irian Jaya, daerah operasi OPM.
Tapi pasukan keamanan PNC sendiri tidak terlibat dalam masalah
intern Irian Jaya -- dan RI pada umumnya -- karena mereka hanya
berpatrol di perbatasan PNG. Ini dilegaskan oleh kalangan intel
PNG membantah klaim gembong-gembong OPM di Senegal, Afrika
Barat, bahwa serdadu-serdadu PNG telah menangkap 20 pelarian
Irian Jaya yang menyeberang perbatasan, kemudian menyerahkannya
pada pasukan Indonesia di Irian Jaya. Menurut versi OPM itu,
orang-orang desa itu memasuki wilayah PNG hanya untuk mencari
pertolongan pengobatan, tapi kemudian dibunuh tentara Indonesia
sesudah diserahkan kembali.
Menlu Adam Malik yang diwawancarai Reuter, membantah hahwa
pemberontakan sedang berkecamuk di Irian Java. "Mungkin
korban-korban itu justru merupakan anggota gerakan separatis di
Papua Nugini yang mencoba lari ke wilayah Indonesia, kemudian
terbunuh dalam usaha pelarian itu", kata Malik. Menlu juga
menegaskan, bahwa apa yang dinamakan "Pemerintah Revolusioner
Irian Barat" yang berbasis di Senegal itu sebenarnya tidak ada.
"Mungkin", kata Adam Malik, "mereka itu adalah sisa-sisa RMS
yang mencoba menjelek-jelekkan Indonesia di luar negeri". Adapun
soal pemulangan orang orang Irian Jaya yang melintasi perbatasan
ke PNG, sudah tercapai persetujuan antara kedua pemerintah (RI &
PNG), yang juga sepakat bersama-sama memelihara perdamaian
sepanjang perbatasan kedua negara.
Juga Kaskopkamtib Laksamana Sudomo membantah berita Radio
Australia itu. "Di sana aman dan tidak terjadi apa-apa. Saya
tidak melihat aktivitas OPM di daerah kita", katanya pada pers
yang mencegatnya di jalan Cendana. Bahkan dari Port Moresby
sendiri, PM Papua Nugini Michael Somare menganggap perlu
menanggapi berita itu. Kepada Reuter Somare menegaskan bahwa
negaranya tidak mengakui atau mendukung organisasi pemberontakan
apapun dari wilayah Indonesia, khususnya Irian Jaya. "PNG
menghormati kedaulatan Irian Jaya sebagai bagian integral dari
RepubLik Indonesia", katanya. "Karena itu, apabila ada sisa-sisa
pemberontak dari Irian Jaya yang tinggal di negaranya, mereka
akan dikembaLikan ke wilayah Indonesia. Sedang warganegara PNC
yang diketahui membantu pemberontak Irian Jaya akan ditindak
menurut hukum yang berlaku di Papua Nugini". Selanjutnya tentang
penjagaan keamanan di perbatasan, Somare menegaskan bahwa mereka
hanya melakukan "patroli rutin" di sepanjang perbatasan.
"Seperti Indonesia, kami tidak mengerahkan pasukan".
Bantuan Belanda
Sesudah keterangan PM Papua Nugini itu, hari Minggu lalu ada
keterangan tambahan dari MenLu PNG Sir Maori Kiki, tahun 1973
pemerintahnya memang pernah mengadakan kontak dengan "Tentara
Nasional Pembebasan Papua Barat" untuk mencari penyelesaian
damai dengan Indonesia. Namun kontak itu sepenuhnya diketahui
oleh pemerintah Indonesia dan hasilnya juga dilaporkan ke
Jakarta. Tidak dijelaskan apakah kontak dengan sisa-sisa OPM itu
masih terus dibina sampai sekarang setelah PNG mempeoleh
kemerdekaan penuh dari Australia.
Sementara itu dari Jayapura masih tersiar berita meyerahnya
sejumlah tokoh OPM berikut pasukannya -- suatu pertanda bahwa
gerakan itu belum padam sama sekali. Menurut kalangan diplomatik
PNG, pelarian-pearian OPM yang merembes masuk PNG umumnya
berasal dari daerah pedalaman Jayapura, yang letaknya hanya 30
mil dari perbatasan PNG. Kalau mereka masuk PNG membawa senjata,
mereka otomatis bisa ditangkap oleh polisi PNG atas dasar
larangan memiliki dan membawa-bawa senjata di PNG (TEMPO, 27
Desember 1975). Tapi kalau mereka masuk PNG dalam keadaan sakit
atau luka-luka, biasanya mereka mendapat pertolongan. Pemerintah
PNG juga memberikan kesempatan pada mereka masuk warganegara
PNG, sesuai dengan persyaratan yang berlaku bagi setiap orang
asing di sana. Dan selain itu, ada bantuan uang dan obat-obatan
dari Negeri Belanda melalui yayasan Door de eeuwen trouw yang
setiap tahun mengalirkan sekitar 150 ribu gulden (Rp 22,5 juta)
ke sana. Atau 2 x lipat bantuan yayasan itu untuk RMS (TEMP0, 10
Januari).
Lewat Dakar
Seperti halnya RMS, sebagian pentolan OPI juga beroperasi di
negeri Belanda. Jumlahnya jauh lebih sedikit (hanya 6000 orang),
dan terpecah dalam 3 kelompok. Yang didukung oleh Door de eeuwen
rouw adalah kelompok Herman Womsiwor. Komandannya Seth Jafet
Rumkoren masih tetap bergerilya di hutan-hutan Irian. Seperti
dikemukakan oleh Dubes RI Letjen Sutopo Yuwono di minggu ketiga
Januari lalu pada Toeti Kakiailatu dari TEMPO: "gerakan OPM ini
harus lebih kita perhatikan dari pada RMS". Mengapa? "Secara
jujur, gerakan gerilya yang dipimpin oleh Rumkoren ini sulit
ditumpas. Arealnya memang sulit karena gerakan ini berada dekat
perbatasan. Pasukan kita tidak bisa dengan intensif mengontrol
mereka. Bukan saja karena daerannya hutan rimba, tapi juga
karena perlengkapan kita kurang". Dubes Sutopo Yuwono mengakui
bahwa satu-satunya negara yang teiah mengakui OPM secara resmi
adalah Senegal.
Seperti diberitakan oleh koran Belanda NRC-Handelsblad, Presiden
Senegal Leopold Senghor juga telah mengundang ir Manusama
berkunjung ke sana, dengan paspor diplomatik yang dikeluarkan
oleh kedutaan Senegal di Paris. Undangan itu telah dimanfaatkan
benar oleh Manusama dan 'kabinet'nya, yang berkunjung ke Dakar
15 Januari lalu sebelum acara tatap muka dengan PM Belanda Joop
den Uyl. Perhatian presiden Senegal itu diduga tergugah oleh
aksi pembajakan RMS di Belanda akhir tahun lalu. Bertolak dari
kejadian itu, mungkin betul juga sinyalemen Menlu Malik bahwa
sisa-sisa RMS telah memperluas kampanye anti-RI-nya lewat Dakar,
dan tidak hanya di Negeri Belanda. Sambil bekerjasama dengan
orang-orang OPM di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini