ORGANISASI Persatuan Afrika (OAU) akhirnya sepakat juga mengakui
Republik Rakyat Angola (MPLA), pekan silam. Pada pertemuan
tingkat tinggi mereka di Adis Abeba beberapa waktu yang lalu,
suara dalam organisasi ini persis terbagi dua. Tidak ada kata
putus. Kemenangan yang terus-menerus dinikmati oleh MPLA di satu
pihak, serta bantuan Afrika Selatan dan tentara sewaan terhadap
gabungan UNITA dan FNLA di lain fihak, secara bersama menggiring
negara-negara Afrika itu untuk bersimpati kepada PLA. "Persoalan
pemerintahan saingan di Angola sudah selesai", kata Peter Onu,
pembantu Sekjen OAU pekan silam, beberapa saat setelah
mengumumkan pengakuan organisasinya terhadap MPLA.
Dari 62 negara yang mengakui MPLA, 32 adalah negara Afrika.
Zaire dan Zambia yang berbatasan dengan Angola -- dan tentu saja
juga Afrika Selatan -- masih belum sudi memberikan pengakuannya.
"Tarik dulu pasukan-pasukan Kuba dan Uni Soviet, baru kita
pertimbangkan pengakuan itu", kata Presiden Zaire, Mobutu.
Alasan yang sama juga terdengar dari Washington. "Sulit
memberikan pengakuan sebab, belum jelas siapa sebenarnya yang
berkuasa di sana, kata John Trattner, juru bicara deparlu di
Washington. "Sementara pasukan Kuba masih bertempur di bekas
jajahan Portugal itu, saya rasa belum perlu memikirkan sebuah
pengakuan", tambah Trattner pula.
Lebih keras dari juru bicaranya adalah Menlu Kissinger dalam
suatu konperensi pers di Washington beberapa hari silam,
Kissinger dikutip sedang "mempertimbangkan dengan
sungguh-sungguh kemungkinan pengiriman tentara ke Zaire dan
Zambia, jika kedua negara itu meminta dengan alasan-alasan bahwa
mereka terancam oleh keadaan di Angola". Sambil mengumumkan
ancaman seriusnya Menlu Amerika itu juga berbicara tentang tidak
adanya kebencian Washington terhadap pemerintahan MPLA. "Tapi
kami memusuhi campur tangan asing di bekas koloni Portugal itu".
Kissinger secara terus terang mendakwa kemenangan MPLA sekarang
ini merupakan akibat langsung dari terlibatnya 12 ribu tentara
Kuba dengan 300 juta dollar bantuan dari Moskow. Beberapa hari
kemudian, di Venezuela, Kissinger berbicara lebih keras lagi.
"Amerika Serikat tak akan membiarkan campur tangan bersenjata
Kuba lebih lanjut di luar negeri, seperti yang dilakukannya di
Angola sekarang ini", katanya.
Ketika baik Kongres maupun komite luar negeri DPR Amerika
menentang keterlibatan Amerika dalam urusan Angola, tidak
dijelaskan oleh Kissinger cara macam apa yang akan ditempuh
Gedung Putih untuk membantu Zaire dan Zambia serta mencegah
merajalelanya pasukan luba di luar negeri. Sementara itu,
ancaman kehadiran pasukan Kuba tersebut memang makin jadi
kenyataan. Sebuah laporan menyebutkan bahwa bahkan sebelum
krisis Angola, pasukan Kuba sebenarnya sudah bertempur di Timur
Tengah melawan tentara Israel. Nampaknya hal ini merupakan
taktik Uni Soviet untuk merebut hati negara-negara dunia ketiga
sembari tidak terlalu mengguncangkan peredam ketegangan yang
sedang dibinanya dengan Amerika Serikat. Uni Soviet bisa saja
mengirimkan tentaranya ke mana-mana, tapi tentu hal ini akan
memancing reaksi keras Washington. Dengan mendesak Fidel Castro
mengirimkan tentaranya, Moskow bisa mengelak tuduhan intervensi
langsung. Pada saat yang sama, Moskow mendahului Peking dalam
merebut simpati dan pengaruh di dunia ketiga.
Justru kenyataan inilah yang ditakutkan oleh Washington dan
beberapa negara Afrika yang pro Barat. "Mana lagi setelah
Angola", tanya seorang pejabat di Zaire. Dan berbagai pergolakan
yang melanda Afrika hitam sekarang ini memang tanah subur bagi
bantuan Soviet dan Kuba, ketika baik Peking maupun Washington
hampir lumpuh dalam soal bantuan macam itu. Afrika Selatan yang
menguasai Namibia (Afrika Barat Daya) yang bergolak dan
ketegangan rasial dalam negeri yang tak kunjung reda, sudah
jeias merupakan sasaran tak terelakkan dari gerakan tersebut.
Karena itulah maka dengan-segala daya, Afrika Selatan membantu
UNITA dan FNLA yang ternyata tidak sanggup menahan tekanan
pasukan Kuba itu.
Di Eropa, ketakutan Washington dan sejumlah negara Afrika
pro-Barat itu bukannya tidak dirasakan. Tapi justru karena
itulah maka Inggeris cepat-cepat memberikan pengakuan. "Supaya
kita bisa punya kontak secara langsung", kata Menlu Canaghan,
pekan silam. Dipelopori oleh Perancis, anggota Masyarakat
Ekonomi Eropa satu per satu akhirnya juga memberikan
pengakuannya. Dibarengi oleh pengakuan dari sejumlah negara
Asia, kedudukan Washington lama-lama tinggal terpencil.
Kenyataan ini toh masih tetap kurang menguntungkan Republik
Rakyat Angola yang tentu akan lebih afdol jika juga diakui oleh
Gedung Putih. Menyadari inilah barangkali maka pekan silam
tersiar kabar pendekatan Presiden Dr. Agustino Nettho ke
Washington. Lewat William Coughlin (pembantu senator John
Tunney) pihak MPLA kabarnya memberikan kabar bahwa pasukan Kuba
sebentar lagi akan ditarik dari Angola. Dan bahwa pemerintahan
rakyat Angola tidak akan mengizinkan dibangunnya sebuah
pangkalan asing pun di wilayahnya. Nah, kalau ini benar, sudah
tentu tidak banyak halangan bagi Washington untuk kirim duta ke
Luanda sana. Tapi sambil lalu saja, buat apa Uni Soviet
mengorbankan 300 juta dollar dan Kuba mengorbankan sejumlah
putra-putranya? Hanya kenangan manis dalam sejarah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini