NATAL nampaknya bukan lagi hanya kesibukan Kristen. Bahkan
sebelum orang-orang Nasrani datang ke misa yang sesak tapi
khidmat di hari itu, semua kaum nampak ikut bersuka. Kartu-kartu
dikirimkan mengucapkan Selamat Natal Dst. Dan lagu-lagu
diperdengarkan. Disain kartu itu mungkin dibuat oleh seorang
Budha yang mencoba meniru lukisan Botticelli. Dan di kaset itu
mungkin Nanna Maskouri, wanita Yunani berkacamata, simpatisan
komunis yang menyanyikan Christos Genate. Bukankah Adi Bing
Slamet juga ikut menyeru Yesus yang lahir?
Di tepi jalan besar para penghias etalase pun memajang Santa
Klaus untuk setiap orang yang lewat, seolah-olah setiap orang
merayakan "X-mas", dengan sayu dan kereta-luncur yang ditarik
rusa, seolah-olah di negeri tropis ini kita juga mimpi tentang
Kermis putih, seperti Bing Crossby dan Loretta Lynn.
Natal memang kegembiraan, dan karena itu mungkin semua orang
merasa senang ditulari. Natal juga (seperti hari raya dan suci
lain di zaman ini) telah dikomersiilkan, dan perdagangan serta
iklan memang telah berhasil melintasi batas-batas calon
konsumennya.
Atau mungkin ini semangat peradaban kita kini juga: Natal kita
rayakan karena kita ingin menekankan kembali makna ketenteraman.
Sejarawan Perancis Philippe Aries, dalam sebuah buku yang
menarik tentang masa kanak dari abad ke abad, menunjukkan bahwa
pemujaan kepada Natal adalah gejala sehabis Zaman Tengah Eropa.
Sebelum itu, hari suci utama adalah Paskah, sesuai dengan
theologi Kristen yang percaya bahwa peristiwa Kristus menjadi
Tuhan adalah kejadian yang lebih besar ketimbang kedatangannya
ke bumi.
Konon baru dalam abad ke-19 pemujaan kepada Hari Natal
berkembang-biak, dengan laju. Paskah, Kebangkitan Kembali,
mungkin sesuai dengan nilai keagungan - sesuatu yang "feudal".
Natal, Kelahiran Sang Anak, mungkin sesuai dengan suatu
semangat, ketika keluarga batih jadi penting dan ketika (untuk
memakai kata-kata Aries) "anak jadi unsur yang tak terlepaskan
dari kehidupan sehari-hari". Dengan kata lain, sesuatu yang
"bourgeois": sesuatu yang berseri-seri karena berita kelahiran,
karena sejumlah kado serta hadiah, dan karena suatu suasana
tenteram serta hangat di tengah musim salju yang lebat.
Tapi adakah itu berarti bahwa kita telah kehilangan solidaritas,
dan hanya tersenyum puas di antara tembok rumah sendiri? Ibu
Theresa, biarawati yang berada di tengah-tengah kaum miskin di
Calcutta yang jorok itu, tahu apa jawabnya. Di setiap hari Natal
selalu mungkin ada-gadis penjual korekapi dari cerita Andersen,
yang lapar, kedinginan, dan mencoba menghangatkan diri dengan
tiap geretan, sambil membayangkan sepotong kue, seserpih daging
ayam - tapi sia-sia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini