DI selatan Jepang ada gugusan pulau terkenal: Kepulauan Ryukyu.
Kepulauanini jadi beken karena di sana ada nama legendaris:
Okinawa - kancah pertempuran terbesar di Pasifik dalam Perang
Dunia II. Awal 1940-an orang-orang Jepang "daratan", yang
menghuni pulau utama Hokkaido, Hoshu, Shikoku, dan Kyushu, tak
memandang sebelah mata penduduk pulau-pulau selatan ini. Mereka
menyebut orang Okinawa sebagai Ryukyu-Jin orang Ryukyu. Begitu
rendahnya pandangan terhadap orang Okinawa, konon, dulu iklan
lowongan pekerjaan di Jepang senantiasa menambahkan kalimat:
"Orang Korea dan Ryukyu tidak usah melamar."
Sebaliknya, orang Okinawa menyebut orang Jepang daratan dengan
Yamatonchu - orangorang Yamato. Nama itu bagi penduduk Kepulauan
Ryukyu mengandung konotasi "penjajah" atau "penindas". Yamato
adalah nama negara kuno Jepang yang kerjanya antara tahun 400
sampai 500-an.
Luas Okinawa 2.249 kilomete persegi, dan dihuni sekitar 1,12
juta orang. Suhu rata-rata 22,3 derajat Celsius. Curah hujan
sekitar 2,100 mm per tahun dengan kelembaban to. "Okinawa
satusatunya provinsi Jepang yang briklim subtropis," lapor
Koresponden TEMPO Seihi Okawa yang mengunjungi wilayah selatan
itu, Desember. Sejak kantor meteorologi beroperasi di sana,
1890, para petugasnya belum pernah melihat salju jatuh di
Okinawa.
Bukan hanya geografis, juga sejarah, politik, kebudayaan, dan
bahasa, Okinawa berbeda dengan 46 provinsi Jepang lainnya. Di
samping memakai bahasa Jepang, orang-orang Okinawa juga memakai
bahasanya sendiri. Okinawa, tulis Okawa, lebih "Asia" ketimbang
"Jepang".
Alam dan suasana di Okinawa memang lebih dekat dengan negeri di
wilayah tropis. Genteng rumah penduduk yang berwarna merah
segera mengingatkan orang pada Indonesia. "Tari-tariannya juga.
Cara menggerakkan tubuh dan jari-jemari sangat dekat dengan
gerakan tari Bali," kata Okawa.
***
Untuk mengingatkan generasi muda mengenai tragedi perang, di
Naha, ibukota Propinsi Okinawa, didirikan Museum Perdamaian
terletak di Bukit Mabuni. Di depan gedung dipahatkan tulisan
menarik: "Kalbu Okinawa adalah hati yang menghargai kemuliaan
manusia yang membenci perang."
Dalam Perang Dunia II, AS mendaratkan 500 ribu tentaranya untuk
merebut Okinawa. Mereka ini yang dinanti oleh 100 ribu serdadu
Jepang - 28 ribu di antaranya pribumi Okinawa. Selama
pertempuran, Maret sampai September 1945, tercatat korban 245
ribu orang Jepang tewas - lebih dari separuhnya penduduk sipil.
Sedang dari pihak AS hanya 12.520 orang.
Di Bukit Mabuni juga ada tugu peringatan, jumlahnya 39 buah,
untuk mengenang pengorbanan putra daerah. Di antaranya yang
terkenal monumen Putri Bunga Bakung. Di sinilah 169 gadis
melakukan bunuh diri begitu serdadu AS menu ju ke sana. Mereka
adalah pelajar SMA dan SPG, yang direkrut secara paksa oleh
balatentara Dai Nippon untuk menjadi jururawat.
Kini Bukit Mabuni menjadi daerah pariwisata. Setiap tahun ribuan
wisatawan lokal dan asing berkunjung ke sini. Banyak di
antaranya melancong sambil berziarah. "Sayang, sedikit yang
mampir ke museum Okinawa," ujar Munetoshi, seorang staf
Universitas Ryukyu.
Museum Okinawa bertingkat dua, mempunyai luas 1.003 meter
persegi. Dibangun oleh Pemda Okinawa, Juni 1945. Di samping
menyimpan dokumen Perang Okinawa, juga berbagai peralatan perang
seperti pedang dan bedil yang karatan, topi baja, botol dan
gelas yang lebur oleh senjata penyembur api, pakaian seragam
yang rombeng, dan lainnya. Selain itu ada pula ruang khusus yang
disebut Ruan,an Kesaksian Penduduk - tempat menyimpan rekaman
kesaksian mereka yang mengalami langsung peperangan.
Okinawa adalah pulau kapur. Tak heran bila di sana terdapat
banyak gua. Gua-gua itulah yang dipakai tentara Jepang sebagai
lubang perlindungan, markas, dan rumah sakit. "Hingga kini masih
ditemui lubang yang tertutup oleh pengeboman, dan di dalamnya
masih tertimbun ribuan korban," tutur Okawa. Ia menambahkan
diperkirakan di seluruh Pulau Okinawa ada sekitar 3.500 ton bom
yang belum meletus.
***
Pada abad ke-7 penduduk Okinawa sudah mengadakan hubungan
bersahabat dengan bangsa-bangsa di daratan Asia--termasuk Cina.
Tapi masa emasnya baru tujuh abad kemudian, ketika Raja
Shohashi, memerintah di sana. Dalam buku sejarah Okinawa
terdapat nama-nama seperti Sumatera, Sunda, dan beberapa daerah
Indonesia lainnya, yang punya hubungan dagang dengan mereka.
Hubungan dagang ini telah membawa kemakmuran bagi Okinawa.
Tahun 1609 datang bala di Okinawa. lehisa Shimazu, bangsawan
dari Satsuma, dengan restu Shogun Tokugawa mengirim 3.000
serdadu ke Okinawa. Sejak itulah Okinawa menjadi daerah
taklukan. Ketika Meiji tahun 1871 membentuk provinsiprovinsi,
Okinawa ditempatkan di bawah Provinsi Kagoshima.
Satu abad kemudian Okinawa resmi menjadi provinsi. Tapi status
ini tidak mengubah kehidupan rakyatnya menjadi lebih baik.
Akibatnya, banyak anak negeri yang lari ke luar negeri. Ini
dimulai pada 1899 dengan beremigrasinya 26 penduduk Okinawa ke
Honolulu. Dua puluh tahun berikutnya kaum emigran itu sudah
mulai tersebar di Amerika Latin, terutama Brazil, Peru, dan
Argentina. Pulau Saipan, yang terletak di Samudra Pasifik, juga
kebagian jatah. Tahun 1942, tercatat sekitar 50 ribu emigran
asal Okinawa mendarat di sana.
Usai Perang Dunia II, Kepulauan Ryukyu berada di bawah
pemerintah AS - pengawasan telah berakhir tahun 1972. Di samping
memberlakukan dollar, AS juga membangun pangkalan militer di
sana. Pangkalan Kadena adalah pangkalan terbesar di Asia dan
Timur Jauh.
Sampai Juni 1982, jumlah tentara AS di Jepang tercatat 48 ribu
orang terpencar di pangkalan Misawa, Yokota, Atsugi, Zama,
Yokosuka, Iwakuni, dan Sasebo. Daerah yang dikuasai pasukan AS
ini meliputi 254 km persegi -17,66% merupakan wilayah Okinawa.
"Inilah kelainan Okinawa dibanding 46 provinsi Jepang lainnya,"
tulis Okawa.
Pangkalan Kadena, yang memakai areal seluas 6.000 hektar, punya
dua landasan kapal terbang sepanjang 3.700 meter - terbesar
ketiga di dunia setelah bandar udara Kennedy, New York, dan
O'Hare, Chicago. Di sini bermarkas Divisi Udara 313 yang
dilengkapi 72 pesawat tempur F-15 Eagle, tiga buah pesawat E3A,
pengintai SR-71 yang memiliki kecepatan tiga kali suara.
Stratotanker, pesawat patroli antikapal selam P3C, helikopter
HC130 King Bird, dan lainnya.
Dari pangkalan Kadena ini semua wilayah Asia bisa dicapai dengan
mudah. Korea hanya 780 mil dari sini. Tokyo (870 mil), Manila
(785 mil), Shanghai (440 mil), dan Taipeh (335 mil). Tak heran
Kadena merupakan pangkalan terpenting di Timur Jauh.
Di Kadena menetap 10 ribu anggota keluarga militer AS. Segala
sarana buat mereka disediakan mulai dari sekolah, rumah sakit,
supermarket, sampai padang golf. Kecuali 2.700 pekerja pribumi
tak seorang Jepang lain pun boleh masuk ke kawasan militer itu.
Untuk membangun fasilitas militer AS di Okinawa, Pemerintah
Jepang telah mengeluarkan biaya cukup besar. Misalnya, buat
mencegah kebisingan yang ditimbulkan pesawat-pesawat AS, mereka
terpaksa membangun Silencerdi atas kawasan 3.000 meter persegi
dengan biaya tiga milyar yen . Lalu membangun 6.000 rumah untuk
prajurit AS. Tahun 1982, Jepang telah mengeluarkan 9,66 milyar
yen untuk upah buruh dan sewa tanah rakyat yang terpakai oleh
pangkalan militer.
"Karena ada pangkalan militer, kami dapat pekerjaan," komentar
sebagian warga Okinawa. Bagi yang tak setuju ada pangkalan di
sana, titik tolak protes mereka adalah soal kebisingan suara
pesawat. Baru-baru ini 906 penduduk Okinawa yang mewakili warga
enam kota, minta Pengadilan Daerah melarang penerbangan malam
hari, dan ganti rugi 900 juta yen.
Penduduk Okinawa juga kurang senang terhadap Jieitai - pasukan
beladiri Jepang. Menurut Badan Pertahanan Jepang, ada 6.100
anggota Jieitai bertugas di Okinawa. Mereka ditempatkan di sana
sejak Okinawa dikembalikan kepada Jepang, 1972. Jieitai, menurut
penduduk setempat, mengingatkan mereka pada masa Perang Dunia
II.
Penduduk Okinawa hidup dari hasil pertanian, perikanan, dan
pariwisata. Pemandangan yang indah, suhu yang menyenangkan
(berkisar antara 4 sampai 16 derajat) merupakan daya tarik
utama bagi wisatawan domestik - juga asing. Ketika musim dingin
berlangsung di Jepang, iklan serta poster menawarkan kenyamanan
Okinawa. Memakan waktu tiga sampai empat hari berlayar dari
Tokyo, ongkosnya sekitar 60 ribu yen per kepala.
Belakangan ada kecenderungan Okinawa menjadi sasaran pasangan
pengantin baru. Menurut catatan Biro Perjalanan Jepang (JTB),
tahun silam ada sekitar dua juta wisatawan berkunjung ke Okinawa
- sepertiga di antaranya mereka yang ingin berbulan madu.
Taiwan, di tahun yang sama mengirim sekitar 45 ribu turis.
Kendati turisme merupakan tambang emas di Okinawa, penghasilan
penduduk, berdasarkan statistik 1981 Kantor Perdana Menteri
Jepang, cuma 1,22 juta yen per tahun. Angka 70,7% dari
penghasilan ratarata orang Jepang.
* * *
Selain Pulau Okinawa, tambang pariwisata lain adalah Pulau
Ishigaki - 40 km di selatan Naha. Pulau ini, bagian dari
Kepulauan Yaeyama, juga menjadi sasaran kunjungan pasangan bulan
madu. Sehingga perlawatan ke mari disebut surat kabar setempat
sebagai Honeymoon Jack Flight.
Taiwan cuma 250 km, tujuh jam perjaanan laut, maka di sini
terdapat sekitar 350 keturunan Taiwan. Mereka hidup sebagai
petani buah. "90% kebun buah-buahan di Yaeyama milik keturunan
Taiwan," tulis Okawa. Selain itu mereka juga menanam nenas,
beternak babi dan belut.
Sekalipun sudah menjadi warganegara Jepang, solidaritas kecinaan
orang-orang keturunan Taiwan masih melekat erat. Mereka bahkan
punya perkumpulan eksklusif. Jika ada kapal nelayan Taiwan yang
ditangkap karena memasuki perairan Jepang, mereka membantu
membayarkan denda.
Jarak yang terlalu dekat itu sempat menimbulkan pertanyaan di
kalangan tertentu. Jika suatu ketika nanti RRC mengambil-alih
Taiwan, akankah Yaeyama menjadi sasaran pengungsian? Soalnya,
pengungsi Perang Indocina sudah memberi contoh. Tahun 1978, 80
pengungsi Indocina mendarat di Pulau Yonakuni - terletak di
ujung paling selatan Jepang.
Lain Okinawa, lain pula Yonakuni. Di Yonakuni, yang berpenduduk
sekitar 2.000 orang, warga setempat menggantungkan nasib pada
tiga bisnis besar: usaha bangunan rumah, sumur, dan kuburan. Di
antara ketiga bisnis itu yang paling maju adalah pembangunan
kuburan. Soalnya penduduk di sana percaya pada pepatah kuno
mereka: "Manusia bisa menyewa rumah, tapi tidak bisa menyewa
kuburan."
Tak heran bila di Yonakuni terdapat berbagai bentuk kuburan.
Yang favorit adalah kuburan yang disebut kikobo - makam
berbentuk kura kura. Tapi yang leoih heat adalahkuburan yang
meniru model Arch de Triomphe di Paris. Luas tanah kuburan 3.300
meter persegi. Kompleks yang dikelilingi pagar besi itu
dilengkapi pula dengan taman, serta jamban untuk pria dan
wanita.
Pemilik kuburan itu Tomo Fuyama, 65 tahun, orang kaya di pulau
itu. "Sebelum ayah saya meninggal, beliau mewasiatkan agar
membuat kuburan paling besar," tutur Fukuyama, pengusaha
pelayaran dan supermarket di Yonakuni. Ia menambahkan untuk
membuat disain kuburan itu diperlukannya ke Filipina bersama
seorang arsitek untuk mencari model yang ditiru.
Fukuyama menolak menyebut biaya pembuatannya. Tapi ada yang
memperkirakan sekitar 50 juta yen.
Hebat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini