Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Yang jatuh di kaki junta

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU siang di kota pantai Mar del Plata,seorang mayor Angkatan Darat Argentina, tampak berang. Ada apa? Dia dan rekan-rekannya, katanya, kini serba salah. Di luar negeri, mereka dicap sebagai pembunuh dan penyiksa. Di dalam negeri, dituduh rakyat sebagai perusak. "Rakyat telah melupakan kami," ujar mayor itu. "Mereka lupa bahwa tentara telah menyelamatkan bangsa ini dari malapetaka pada Maret 1976." Tahun itu Angkatan Bersenjata Argentina menggulingkan Presiden Isabel Martinez de Peron - yang gagal mengendalikan ekonomi negeri yang kalang kabut. Tapi kudeta itu dibayar mahal oleh rakyat. Lebih dari enam ribu jiwa dilaporkan "hilang" di tangan pasukan keamanan. "Setiap perang selalu ada korban," kata sang mayor. Angkatan Bersenjata Argentina kembali dapat corengan sewaktu dipukul Inggris dalam Perang Malvinas, Juni lalu. Akibat dua peristiwa "memalukan" yang beruntun itu, kini kelompok militer dipandang rendah, dan dipaksa untuk melaksanakan pemilu sebelum akhir tahun ini. "Kami dikhianati," gerutu sang mayor - tidak jelas kepada siapa. Di Provinsi Mendoza, seorang sopir truk dengan perasaan bangga mengangkut hasil bumi ke pasar. Perawakannya besar, berkulit hitam, dan penuh semangat. Ia tetap menambatkan kesetiaannya kepada ajaran Juan Domingo Peron sekalipun sang penguasa itu telah meninggal sembilan tahun lalu. Sopir itu tetap membenci tentara. "Mereka telah merusakkan negeri ini," katanya. Mereka dan para pejabat ekonomi bekerja untuk melayani oligarki dan konco-konco mereka di berbagai bank internasional." Karena itulah, kata sopir truk tersebut, inflasi melejit sampai rata-rata 500% setahun nomorwahid di dunia. Kini di Argentina banyak orang menganggur. Banyak keluarga yang tidak mampu membeli daging. "Negeri ini baru bisa diperbaiki melalui pembersihan besar-besaran," kata sang sopir. Tahun 1977, petugas keamanan mendobrak rumah seorang perempuan. Ia, dibawa dengan mata tertutup, dijebloskan ke penjara rahasia. Petugas menelanjangi dan menyiksanya. Dan mencoba memaksa dia bermain seks dengan ipar lelakinya - yang diculik lebih dulu. Mereka juga menyetrum pasangan itu. Setelah enam hari, dia dilepaskan. Ia menuturkan cerita itu dengan sinar mata yang berubah dari rasa malu menjadi menantang. Ia, katanya, diciduk, karena membantu suaminya, seorang pemimpin Montoneros. Sang suami sekarang meringkuk dalam pen jara. Ketika pemilu dijanjikan, dan para kandidat politik berdebat secara terbuka untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun, banyak harapan diarahkan pada "perdamaian nasional" - yang sempat dihayati bangsa Argentina selama Perang Malvinas. Tapi setelah perang berakhir dengan kegagalan, persatuan kembali berubah jadi khayalan. Dan kemungkinan diadakannya pemilihan umum tidak membuat hati lega. Para pekerja mulai melecehkan prajurit-prajurit yang mencela-cela kaum politisi. Ekonomi begitu morat-marit keadaannya hingga pemerintah berterus terang mengakui bahkan tidak bisa mulai membayar kembali utang luar negeri Argentina yang berjumlah US$37 milyar - utang nomor tiga terbesar di dunia. Lebih dari 1.500 mayat yang tak dikenal, banyak di antaranya digolongkan dalam "mereka yang hilang", telah digali kembali dari selusin pekuburan dalam mingguminggu belakangan ini. Setiap ditemukan kuburan baru yang tak dikenal terasa bagaikan detak-detik bom waktu. Perwira yang menjadi panglima daerah militer, yang tangannya langsung dilumuri darah mereka yang hilang, ketakutan. Desas-desus akan terjadi pemberontakan di dalam negeri dan kudeta bertambah. Kelompok-kelompok sayap kanan gelap muncul lagi - tampaknya ingin mengacaukan keadaan negeri. Pemerintahan Presiden Reynaldo B. Bignone yang berusia enam bulan sang presiden sendiri adalah seorang mayor jenderal pensiunan yang peramah - berusaha mengatasi keadaan. Tapi sebagian besar pemimpin politik telah menolak usul pemerintah untuk berunding mengenai masalah-masalah yang dihadapi negara. Dan menjelang tutup tahun, masyarakat Argentina terobek-robek oleh protes mengenai hak-hak asasi dan situasi ekonomi. Suatu pemogokan umum yang berlangsung selama 24 jam diikuti oleh 90 persen dari 10 juta orang pekerja - ini merupakan demonstrasi politik terbesar sejak 1976. Junta militer yang mengawasi presiden mengusulkan untuk mengganti Presiden Bignone - walau tidak jelas apakah mereka menginginkan seorang jenderal yang lebih keras atau seorang sipil untuk berusaha meredakan oposisi. Kemungkinan yang akan menggantikannya, lagi-lagi, kaum Peronis. Bagi bangsa Argentina, malaise merupakan kisah lama yang berulang kali terjadi selama 50 tahun terakhir. Sebagai negeri nomor delapan terbesar di dunia, Argentina dikaruniai bahan mentah berlimpah iklim sedang, rakyat yang berpendidikan tinggi, serta penduduk yang homogen - sebagian asal Eropa. Lima puluh tahun lalu kemajuan budaya dan ekonomi Argentina dapat disamakan dengan Kanada, dan lebih maju dari Australia. Kini Argentina jauh tertinggal di belakang kedua negara itu. Dapat dipahami bahwa bangsa Argentina yang dulu periang, kini menjadi sinis dan kecewa. Secuil kepercayaan dalam hati mereka terhadap lembaga-lembaga negara lenyap tak bersisa lagi, ketika mereka pada akhir Perang Malvinas mengetahui bahwa mereka dikibuli oleh kaum militer dan media massa agar berpikir Argentina sedang menang. (Maka pemberitaan televisi nasional yang menamakan dirinya sebagai "Saat Kebenaran" oleh rakyat disebut "Saat Kebohongan"). Mata uang Argentina mulai tak berharga. Tiga tahun lalu, satu dollar nilainya 1.000 peso. Sekarang satu dollar 40.000 peso - dan kalau di pasar gelap lebih 60.000 peso. Devaluasi peso begitu cepat berlangsung, sehingga kalangan bisnis tidak bisa bikin rencana, rakyat tidak bisa menabung. Ketika beberapa kali banjir besar melanda bagian utara, bagian lain negeri itu bermuram durja terus. "Bukan karena memikirkan air naik," kata seorang pekerja Argentina di lift dengan kumis terkulai. "Tapi karena negeri ini sedang 'tenggelam'." Selama tujuh tahun terakhir ini citra Argentina di mata internasional adalah seperti Cambalache - sebuah kedai barang bekas, di mana terdapat segala macam keanehan. "Hidup kita tenggelam berantakan," seru seorang penyanyi, "dan semua kita dikotori noda yang sama. Tidak ada yang lebih baik, semuanya sama saja . . . Mereka yang tidak menangis tidak akan menyusu, dan mereka yang tidak mencuri adalah orang tolol." Di mana letak kesalahan Argentina? Adalah mudah untuk menyalahkan kaum militer. Argentina mengalami tujuh kudeta sejak tahun 1930. Ketika tentara menumbangkan pemerintah terpilih untuk pertama kalinya dalam abad ini dan mulailah kemerosotan yang besar. Ada lelucon yang sering diceritakan orang Argentina: SesudahTuhan menciptakan dunia, ternyata lebih banyak kekayaan yang dikaruniakan-Nya kepada Argentina ketimbang negeri-negeri yang lain. Maka, demi keseimbangan, Ia pun menciptakan bangsa Argentina 'berantakan'. "Orang Argentina bukanlah bangsa yang bermoral," kata Jose Miguens, sosiolog Argentina yang paling terkemuka, "dalam arti bahwa mereka tidak menilai tindakan tindakan mereka berdasarkanpatokan yang berubah." Sejak berdirinya negara Argentina, kelayakan merupakan nilai politik dan sosial yang memimpin. Orang Spanyol si penakluk tidaklah datang mencari-cari kebebasan agama atau politik guna membangun suatu negara baru. Mereka datang untuk melakukan pengisapan. Berdasarkan perjanjian dengan Kerajaan Spanyol nan jauh, mereka hidup dengan kredo mereka yang sinis: Obedeczo pero no cumpio - Saya patuh tapi tidak mengeluh. Suatu warisan yang tidak memiliki pranata dan prinsip yang bisa dijadikan dasar untuk membangun negara yang sehat. Argentina bukanlah negeri tanpa hukum dewasa ini. Hanya sedikit terdapat kejahatan jalanan, karena birokrat turut mendukung dilaksanakannya peraturan yang sedikit jumlahnya itu. Cuma belakangan ini rasa tidak hormat terhadap norma hukum atau moral sudah mulai meresap ke dalam masyarakat. Hampir semua pemilik toko kecil tidak menggunakan mesin kas guna hendak menghindari pajak. Penyelundupan komoditi dagang besar seperti ternak dan barang-barang mesin dengan menyogok dan memalsukan surat-surat merajalela. Seorang agen polisi baru-baru ini pada suatu malam memaafkan seorang pengendara asing karena keliru membelok dan bertanya: "Nah, apa yang ingin Anda perbuat untuk saya?" Chanta - berarti tipu dalam dialek Argentina - menjadi kebiasaan nasional. Seorang.tuan tanah, bekas pejabat tinggi pemerintah, memasukkan satu pasal ketentuan menghukum ke dalam suatu kontrak sewa-menyewa yang dilakukan seorang petani yang bekerja untuk sebuah perusahaan asing. Akhirnya, ketentuan itu menimbulkan biaya besar. "Ehh, apa peduli," kata si tuan tanah serta mengulurkan tangan dengan jabatan ramah. "Toh perusahaan Anda yang akan membayar." Konstitusi sedikit saja pengaruhnya. Pemimpin-pemimpin militer membenarkan tindakan putsch yang mereka lakukan dengan mengatakan bahwa tanggung jawab mereka bukanlah pada konstitusi, tapi pada cita-cita yang lebih tinggi untuk negara. Dalam pada itu, kelompok lain pun yang mempunyai cita-cita berbeda tentang bagaimana seharusnya negara, menempatkan diri sendiri pula di atas konstitusi. Jadi teroris kiri atau kanan yang main culik, main potong, dan main bunuh ribuan orang Argentina dalam tahun 1970-an atas nama negara. Seorang pemuda kelas menengah, yang baru-baru ini dibebaskan sesudah enam tahun di penjara, mengaku telah menjadi penyelundup senjata sewaktu menjadi pemimpin mahasiswa di universitas. "Kesalahan kami ialah memulai pertempuran sebelum rakyat memihak kami," katanya. Ia juga bicara tentang "membentuk undang-undang rakyat" - ini bahasa golongan sendiri bukan konstitusi. Dan kemudian terdapat pemimpin politik sipil. Di belakang setiap kudeta yang terjadi selama 50 tahun terakhir ini terdapat banyak sekali politisi dari berbagai belang yang menghasut kaum militer dari tangsinya. Seorang penerbit surat kabar tahun lalu menawarkan suatu tinjauan tentang kudeta yang menjadikan rezim sekarang berkuasa. Diceritakannya, bagaimana hariannya menjadi "pendukung utama" dalam menumbangkan Isabel Peron, dan bagaimana pemimpin-pemimpin militer "dipersiapkan", melalui pembicaraan panjang antara mereka dan para editor La Opinion, untuk melakukan revolusi yang bertujuan mengembalikan stabilitas negeri. Hal ini merupakan pembenaran dilakukannya kudeta. Tapi apa yang luar biasa adalah bahwa keterangan itu ditulis oleh Jacobo Timmerman dalam bukunya, Prisoner Withouta Name, Cell Without a Number. Dalam buku itu, Timmerman menceritakan bahwa dia sesudah kudeta ditangkap oleh kaum militer dan disiksa dengan menggunakan alat-alat listrik. Yang lebih luar biasa lagi bahwa Timmerman terus juga mendukung kudeta itu. Katanya, dia adalah korban dari golongan garis keras serta anti-Semitisme dalam tentara. Timmerman juga menyokong suatu kudeta militer tahun 1966 - yang merupakan suatu contoh lain akan keengganan menanti pemilu untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Dan demikianlah ironi akhirnya: Jacobo Timmerman, pengacara hak-hak asasi manusia yang kini hidup dalam pembuangan di Israel, sebagai perwujudan Argentina yang sempurna - manusia bijaksana. * * * Semua negeri Amerika Latin menderita karena warisan sang penakluk. Tapi masing-masing menyesuaikan diri dengan cara yang berbeda-beda. Argentina yang menikmati tingkat hidup tertinggi di kawasan itu dengan sombong memandang rendah tetanggatetangganya. Seperti kata-kata sebuah Meksiko datang dari bukit, bangsa Brasil dari pohon, dan orang Argentina dari kapal - yang mengandung arti bahwa orang Brasil adalah monyet dan orang Argentina adalah orang Eropa yang berbudaya. Nosostros somos Europeos "Kami orang Eropa" - lama telah menjadi semboyan Argentina. Dan benar: wajah Buenos Aires adalah tampang ibukota kerajaan Eropa. Jalan-jalan rayanya luas dan penuh dengan patung. Rakyatnya berpakaian tampan dan duniawi kelihatan mengunjungi opera di Colon Thetre yang molek atau mengendarai kuda di Taman Palermo yang rindang. Seorang pramuria wanita muda pada suatu jamuan malam di Barrio Norte dengan kagum mengatakan pada seorang tamu "pasti seperti inilah rupanya Paris abad ke-19-nya Balzac." Tapi lihat di belakang itu: Telepon-telepon tidak jalan. Dalam sebuah bangunan apartemen mewah yang baru, letaknya menghadap Kedutaan Besar Inggris, pegangan pintunya copot. Ritsliting busana-busana butik yang sering putus. Citra Eropa pura-pura. "Konon, orang Inggris selalu menjadi orang Inggris, di mana juga pun dia hidup," demikian pendapat Marco Denevi, seorang penulis Argentina. "Saya khawatir, tidaklah demikian halnya dengan orang Argentina, bahkan di dalam Argentina pun tidak. Kewarganegaraan Algentina mereka dijamin oleh suratsurat resmi, tapi apa buktinya kebangsaan Argentina mereka?" Negeri ini telah menjadi korban kemakmurannya sendiri dan masuknya kaum imigran. Pada 1869, penduduk Argentina kurang dari dua juta orang. Tapi 45 tahun kemudian jumlahnya melipat empat kali ketika kaum imigran asal Eropa mengembangbiakkan proletariat di kota-kota. Begitu banyak pendatang berasal dari Italia. Hingga sekarang ini bukan!ah orang Spanyol yang menjadi kelompok etnis terbesar di Argentina, tetapi justru orang Italia. Pemukiman Indian di pampa kawasan padang rumput yang nyaris tak berpohon di Argentina sebagian besar musnah dalam aksi-aksi militer. Soalnya, para penguasa militer dan sipil yang kaya masih ingin lebih kaya lagi dengan mengklaim hak atas kawasan itu. Kemakmuran yang diperoleh dengan gampang agaknya telah mendorong Argentina kehilangan identitas sebagai bangsa. Sekitar sebelas juta rakyatnya - kira-kira40% dari penduduk negeri itu - kini tinggal berserakan di kota metropolitan Buenos-Aires. Sebagian besar sisanya menetap di kota-kota berdekatan. Di Patagonia, bagian utara negeri sepakbola itu, kepadatan penduduknya hanya satu orang untuk setiap mil persegi. Seluruh negeri dalam keadaan "kosong" dan telantar. Penyebabnya, lebih merupakan kekurangan dana ketimbang dari ketiadaan perhatian. Para ekonom memperkirakan bahwa orang-orang Argentina setidaknya menyimpan US$ 8 milyar di bank-bank luar negeri - sementara di tanah air sendiri sumber kekayaan alam dibiarkan terbengkalai. Daya tarik kota begitu besarnya, hingga sebagian besar tuan tanah juga tinggal di Buenos Aires. Di hari Jumat, jalan-jalan raya menuju ke pampa sarat dengan mobil bermuatan keluarga tuan tanah berikut tamunya. Tentu bukan untuk mengayunkan cangkul di tanah-tanah pertanian, karena tujuan mereka adalah untuk ber-week end. Paling-paling yang diayunkan tongkat golf, raket tenis, atau sekadar menunggang kuda di campo milik keluarga. Hidup yang enak. "Terlalu enak," komentar seorang analis pertanian asing. Ia memperkirakan, hasil panen biji-bijian dan ternak Argentina dengan mudah dapat ditingkatkan sebesar 50%, dengan suatu "andaikata". Yaitu "jika para tuan tanah langsung siap menggarap tanah sendiri, ketimbang mempercayakannya pada seorang centeng." Lalu ke mana duit orang-orang kaya itu dibawa? Mudah saja - ternyata terdapat banyak koleksi pribadi barang-barang seni. Amalia Lacroze de Fortabat, warga Argentina, pada 1980 menghabiskan US$ 6,4 juta di kantor lelang New York untuk menebus sebuah lukisan karya J.M.W Turner. Kabarnya itu jumlah tertinggi yang pernah dibayar untuk sebuah lukisan di dunia ini. Padahal Argentina tidak memiliki sebuah museum yang lumayan besarnya, tidak punya universitas swasta yang besar. Sekolah yang nonprofit cuma sedikit, apalagi sebuah foundation. "Itu memang lagak gaya ala Eropa, namun langka bobot," komentar Edward Schumacher - penulis karangan ini. * * * Tapi itu mungkin sudah berbeda. Pada abad, para tuan tanah oligarki yang menguasai Argentina menghasilkan sejumlah demokrat yang sadar. Partai kelas menengah kota yang baru, Radical, berhasil merebut kekuasaan. Sayang, kaum radikal itu menyerah kepada biang kerok lama Argentina, yaitu para pemimpin garis keras yang disebut caudillo - yang menolak melepaskan kepemimpinan partai. Partai retak dari dalam dan menjadi banci. Mereka tidak mampu menjawab tuntutan kaum proletariat imigran. Tinggal menggantungkan harapan pada seorang caudillo baru, Jenderal Peron . Terpilih sebagai presiden pertama kali pada 1946, sembilan tahun kemudian ia disingkirkan dan dibuang ke Spanyol. Tapi itu hanya suatu masa istirahat panjang -18 tahun. Dalam dekade sepeninggal Peron, pemerintah sipil dan militer silih berganti berkuasa, dan sejarah politik Argentina merupakan adegan tarik tambang. Yaitu antara kaum Peronis yang hendak menjalankan ekonomi proteksi dengan pengawasan negara dengan kaum kelas atas yang ingin mengembangkan ekonomi pasar bebas dari abad ke-19. Sementara kaum militer dan kelas menengah terperangkap di antaranya. Setelah kebangkrutan ekonomi di bawah kaum Peronis pada 1976, kaum kelas menengah dan atas mendukung kudeta yang dilakukan golongan militer. Yang diharap adalah adanya perubahan struktur ekonomi secara mendasar berikut jaringan pasar bebasnya. Suku bunga ditiadakan dan bea masuk diturunkan. Namun usaha itu mengalami kegagalan pula. Penyebabnya: pengeluaran militer yang kelewat boros, dan keengganan melego industri-industri negara yang tidak efisien. Hendaklah dipahami bahwa Peronisme bukanlah partai tradisional - ia cuma sebuah gerakan. Peron itu korup. Tapi ia dewa yang punya Dewi Evita. Pasangan yang memberikan sebuah martabat kepada kelas baru: kuli-kuli industri. Padahal semua orang tahu, Evita itu adalah anak jadah yang miskin dari pedalaman yang tiba-tiba muncul di kalangan para bintang film. Kelebihannya, ia mampu memanggil para kuli dengan mis descamisados - kaumku yang tak berbaju. Dengan kata-kaa bersayap yang menawan demikian, pasangan ini berjaya sampai di singgasana kekuasaan dengan dukungan serikat karyawan. Peron menggambarkan kebijaksanaan dalam dan luar negerinya sebagai "cara ketiga." Apa pula itu? "Sesuatu yang bukan Marxis dan bukan kapitalis, tidak pula pro-Amerika atau pro-Soviet," tulis Schumacher. Di dalam bentuknya yang domestik, itu bisa disebut populisme. "Tapi apa sesungguhnya ia, tidak pernah dirumuskan." Populisme Argentina pada akhirnya person Peron sendiri - konon. Dan untuk melaksanakannya perlu demagogi besar-besaran. Guru besarnya tak tanggung-tanggung: Benito Mussolini saat tokoh ini berkuasa, Peron menjadi atase militer di Italia. Dalam mencapai tujuan, Peron memaksakan kehendaknya melalui pengerahan massa dan huru-hara yang ditimbulkan oleh kelompok serikat buruh yang setia. Kini, poster Peron muncul lagi di mana-mana. Toko-toko buku mulai dipenuhi buku-buku tebal yang memuat pidatonya. Politisi dan anak anak muda mengutip ucapannyaseperti yang pernah dilakukan di Cina terhadap kata-kata Mao. * * * Studi sejarah di Argentina secara tradisi telah terperosok dalam perdebatan berlarut-larut - yang mencerminkan perpecahan politik bangsa itu. "Anda harus meniti hatihati di antara patok-patok sejarah masa kini," kata seorang kepala sekolah swasta, "karena Anda tidak pernah tahu apa yang dipikirkan anak adik Anda atau orang tua mereka." Para profesor universitas acap kali tidak memiliki pilihan lain kecuali main pokrol bambu terhadap rezim yang berkuasa - untuk menghindar dari kecaman atau larangan memberikan kuliah. "Hidup di negeri seperti ini," kata Miguens, seorang sosiolog, "bisa membuat Anda senu." Kurangnya kesadaran akan sejarah bisa membantu menjelaskan mengapa kebangkitan kembali Peron bisa terjadi. Tak menjadi persoalan bagi rakyat, siapa pemimpin mereka dan berasal dari mana. Evita Peron telah memperagakan sikap remeh orang Argentina pada sejarah. Ia pernah memusnahkan akta kelahirannya. Otobiografinya bacaan wajib di sekolah - diminta pula direvisi. Yaitu dengan mengubah usia, warna rambut, dan tempat lahirnya. Para reporter sejumlah majalah terkemuka negeri itu terus menerus mengeluh terhadap perintah dari para penerbitnya - tentang keharusan memangkas laporan demi pertimbangan politik. Dalam masa Perang Malvinas, Gente, mingguan terkemuka di Argentina, memuat wawancara dua halaman dengan pasukan komando Argentina yang berada di belakarg garis musuh - di Pulau Georgia Selatan. Wawancara yang diduga keras dilakukan secara sembunyi-sembunyi melalui radio, ternyata dilarang muat oleh seorang editor. Alasannya tak disebutkan. Dalam keadaan negeri yang kacau balau, senantiasa ada kecenderungan mencari kambing hitam. Dalam masa Perang Malvinas, banyak orang Benna yang tidak menyetujui gempuran terhadap kepulauan yang oleh pihak Inggris disebut Falkland itu. Tetapi ketidaksetujuan itu dipendam saja karena takut dicap "anti-Argentina." Ini dialami oleh Jacobo timmerman dan pers asing yang senang mengungkit-ungkit masalah hak-hak asasi manusia. Barubaru ini, hal itu menimpa Jose Martinez de Hoz, arsitek kebijaksanaan ekonomi yang gagal dari junta militer. Ia dikucilkan, dan kaum ekonom Peronis menolak hadir dalam suatu konperensi bersamanya. Tanpa suatu dialog, tanpa penganalisaan, dan tidak ada pula rasa saling mengikat satu sama lainnya. Karenanya, tidak usah terlalu heran jika negeri itu terjerumus ke dalam kekerasan. Mitos pun berkembang. Mitos tentang tidak akan habis-habisnya kekayaan negeri itu: "Tuhan menciptakannya dalam satu malam apa yang orang Argentina musnahkan dalam satu hari." Itulah ucapan yang sering terdengar di mana-mana. Mitos lain tentang Peron. Ia diceritakan hidup dalam limpahan kemewahan di pembuangan. Tapi sopir truk di Mendoza, seperti umumnya Peronis lain, bersiteguh bahwa "ia hidup bersakit-sakit dari sumbangan sukarela kaum pekerja Argentina." "Kalau ada keterangan tambahan yang melebih-lebihkan itu tentu berasal dari kaum oligarki," katanya. Di Argentina, seseorang bisa dengan gampang membiasakan hidup enak. Misalnya, sambil goyanggoyang kaki mengiris bistik, berasyik-asyik di gedung opera, atau bersantai-santai di akhir minggu. Tetapi tidak banyak diplomat atau wartawan asing yang menyukai negeri itu. Buktinya, banyak penerbitan yang memindahkan Biro Amerika Selatannya dari Buenos Aires ke Rio de Janeiro, Brazil. Para diplomat AS tampak ogahogahan kalau disuruh bertugas di Argenti,na. Alasan yang umum dikemukakan: merasaputus hubungan dengan apa yang mereka sebut sebagai "dunia nyata." Orang-orang Argentina tak hendak mempercayai bahwa pemusnahan berlangsung di sana. Dan mereka tidak lagi risau dengan suara-suara dari dunia luar. Dan untuk menghalalkan cara, mereka tidak sungkan-sungkan bilang: teror harus dilawan dengan teror. Dan bahwa ada "siksaan jelek", dan ada pula "siksaan baik". Siksaan mah siksaan atuh! V.S. Nailpaul menyimpulkan begini: "Menulis realis tentang masyarakat negeri ini ada kesulitan yang cukup ganjil. Membeberkan secara akurat, itu mustahil." Orang Argentina masih menaruh secuil harapan. Seorang kontraktor mengaku setiap minggu berembuk dengan para pemimpin buruh. "Untuk mendiskusikan masalah bersama, dan menghindari konfrontasi," katanya. Dengan matinya Peron, konon, pemimpin politik dan buruh menjadi lebih terbuka. "Konsensus dibangun dari dalam, setapak demi setapak," tambah anemer tersebut. "Mungkin lima tahun sejak sekarang, kita akan mampu melihat ke belakang dan berkata: ini adalah titik balik dalam sejarah Argentina." Harapan serupa datang pula dari kalangan gereja - satu dari segelintir lembaga yang masih memiliki kredibilitas. Mereka berniat memasuki arena politik sebagai mediator untuk mencari apa yang disebut "rekonsiliasi." November tahun kemarin, sebuah dewan keuskupan mulai mengadakan pendekatan dengan kaum militer, politisi, para pemimpin buruh, dan kelompok lainnya. Yang dicari: kesepakatan nasional untuk membikin mulusnya pengalihan demokrasi. Presiden Bignone dan junta tampaknya dengan tulus berjanji mengadakan pemilu untuk pemilihan anggota Congress dan Presiden. Waktu yang dijanjikan: akhir 1983 dan paling lambat Maret 1984. Dalam masa enam bulan terakhir, partai politik berikut kegiatannya akan diperbolehkan. Dan rencana undang-undang yang menjamin pemilihan demokratis di kalangan parpol sendiri sedang digarap - ini dengan maksud untuk menyepak ke luar para tua bangka caudillo. Masa transisi demokrasi itu masih tetap rapuh dan merupakan teka-teki yang bisa memperangkap. Rasa takut akan huru-hara yang ditimbulkan kaum buruh, atau perebutan kekuasaan oleh kelompok-kelompok militer tertentu, masih menghantui seluruh negeri. Akankah penderitaan dan kesedihan rakyat Argentina akan berakhir? Siapa tahu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus