SUATU siang di kota pantai Mar del Plata,seorang mayor Angkatan
Darat Argentina, tampak berang. Ada apa? Dia dan rekan-rekannya,
katanya, kini serba salah. Di luar negeri, mereka dicap sebagai
pembunuh dan penyiksa. Di dalam negeri, dituduh rakyat sebagai
perusak.
"Rakyat telah melupakan kami," ujar mayor itu. "Mereka lupa
bahwa tentara telah menyelamatkan bangsa ini dari malapetaka
pada Maret 1976." Tahun itu Angkatan Bersenjata Argentina
menggulingkan Presiden Isabel Martinez de Peron - yang gagal
mengendalikan ekonomi negeri yang kalang kabut.
Tapi kudeta itu dibayar mahal oleh rakyat. Lebih dari enam ribu
jiwa dilaporkan "hilang" di tangan pasukan keamanan. "Setiap
perang selalu ada korban," kata sang mayor.
Angkatan Bersenjata Argentina kembali dapat corengan sewaktu
dipukul Inggris dalam Perang Malvinas, Juni lalu.
Akibat dua peristiwa "memalukan" yang beruntun itu, kini
kelompok militer dipandang rendah, dan dipaksa untuk
melaksanakan pemilu sebelum akhir tahun ini. "Kami dikhianati,"
gerutu sang mayor - tidak jelas kepada siapa.
Di Provinsi Mendoza, seorang sopir truk dengan perasaan bangga
mengangkut hasil bumi ke pasar. Perawakannya besar, berkulit
hitam, dan penuh semangat. Ia tetap menambatkan kesetiaannya
kepada ajaran Juan Domingo Peron sekalipun sang penguasa itu
telah meninggal sembilan tahun lalu. Sopir itu tetap membenci
tentara.
"Mereka telah merusakkan negeri ini," katanya. Mereka dan para
pejabat ekonomi bekerja untuk melayani oligarki dan konco-konco
mereka di berbagai bank internasional." Karena itulah, kata
sopir truk tersebut, inflasi melejit sampai rata-rata 500%
setahun nomorwahid di dunia.
Kini di Argentina banyak orang menganggur. Banyak keluarga yang
tidak mampu membeli daging. "Negeri ini baru bisa diperbaiki
melalui pembersihan besar-besaran," kata sang sopir.
Tahun 1977, petugas keamanan mendobrak rumah seorang perempuan.
Ia, dibawa dengan mata tertutup, dijebloskan ke penjara rahasia.
Petugas menelanjangi dan menyiksanya. Dan mencoba memaksa dia
bermain seks dengan ipar lelakinya - yang diculik lebih dulu.
Mereka juga menyetrum pasangan itu.
Setelah enam hari, dia dilepaskan. Ia menuturkan cerita itu
dengan sinar mata yang berubah dari rasa malu menjadi menantang.
Ia, katanya, diciduk, karena membantu suaminya, seorang pemimpin
Montoneros. Sang suami sekarang meringkuk dalam pen jara.
Ketika pemilu dijanjikan, dan para kandidat politik berdebat
secara terbuka untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun, banyak
harapan diarahkan pada "perdamaian nasional" - yang sempat
dihayati bangsa Argentina selama Perang Malvinas. Tapi setelah
perang berakhir dengan kegagalan, persatuan kembali berubah jadi
khayalan. Dan kemungkinan diadakannya pemilihan umum tidak
membuat hati lega.
Para pekerja mulai melecehkan prajurit-prajurit yang
mencela-cela kaum politisi. Ekonomi begitu morat-marit
keadaannya hingga pemerintah berterus terang mengakui bahkan
tidak bisa mulai membayar kembali utang luar negeri Argentina
yang berjumlah US$37 milyar - utang nomor tiga terbesar di
dunia.
Lebih dari 1.500 mayat yang tak dikenal, banyak di antaranya
digolongkan dalam "mereka yang hilang", telah digali kembali
dari selusin pekuburan dalam mingguminggu belakangan ini. Setiap
ditemukan kuburan baru yang tak dikenal terasa bagaikan
detak-detik bom waktu.
Perwira yang menjadi panglima daerah militer, yang tangannya
langsung dilumuri darah mereka yang hilang, ketakutan.
Desas-desus akan terjadi pemberontakan di dalam negeri dan
kudeta bertambah. Kelompok-kelompok sayap kanan gelap muncul
lagi - tampaknya ingin mengacaukan keadaan negeri.
Pemerintahan Presiden Reynaldo B. Bignone yang berusia enam
bulan sang presiden sendiri adalah seorang mayor jenderal
pensiunan yang peramah - berusaha mengatasi keadaan. Tapi
sebagian besar pemimpin politik telah menolak usul pemerintah
untuk berunding mengenai masalah-masalah yang dihadapi negara.
Dan menjelang tutup tahun, masyarakat Argentina terobek-robek
oleh protes mengenai hak-hak asasi dan situasi ekonomi. Suatu
pemogokan umum yang berlangsung selama 24 jam diikuti oleh 90
persen dari 10 juta orang pekerja - ini merupakan demonstrasi
politik terbesar sejak 1976.
Junta militer yang mengawasi presiden mengusulkan untuk
mengganti Presiden Bignone - walau tidak jelas apakah mereka
menginginkan seorang jenderal yang lebih keras atau seorang
sipil untuk berusaha meredakan oposisi. Kemungkinan yang akan
menggantikannya, lagi-lagi, kaum Peronis.
Bagi bangsa Argentina, malaise merupakan kisah lama yang
berulang kali terjadi selama 50 tahun terakhir. Sebagai negeri
nomor delapan terbesar di dunia, Argentina dikaruniai bahan
mentah berlimpah iklim sedang, rakyat yang berpendidikan tinggi,
serta penduduk yang homogen - sebagian asal Eropa. Lima puluh
tahun lalu kemajuan budaya dan ekonomi Argentina dapat disamakan
dengan Kanada, dan lebih maju dari Australia. Kini Argentina
jauh tertinggal di belakang kedua negara itu.
Dapat dipahami bahwa bangsa Argentina yang dulu periang, kini
menjadi sinis dan kecewa. Secuil kepercayaan dalam hati mereka
terhadap lembaga-lembaga negara lenyap tak bersisa lagi, ketika
mereka pada akhir Perang Malvinas mengetahui bahwa mereka
dikibuli oleh kaum militer dan media massa agar berpikir
Argentina sedang menang. (Maka pemberitaan televisi nasional
yang menamakan dirinya sebagai "Saat Kebenaran" oleh rakyat
disebut "Saat Kebohongan").
Mata uang Argentina mulai tak berharga. Tiga tahun lalu, satu
dollar nilainya 1.000 peso. Sekarang satu dollar 40.000 peso -
dan kalau di pasar gelap lebih 60.000 peso. Devaluasi peso
begitu cepat berlangsung, sehingga kalangan bisnis tidak bisa
bikin rencana, rakyat tidak bisa menabung.
Ketika beberapa kali banjir besar melanda bagian utara, bagian
lain negeri itu bermuram durja terus. "Bukan karena memikirkan
air naik," kata seorang pekerja Argentina di lift dengan kumis
terkulai. "Tapi karena negeri ini sedang 'tenggelam'."
Selama tujuh tahun terakhir ini citra Argentina di mata
internasional adalah seperti Cambalache - sebuah kedai barang
bekas, di mana terdapat segala macam keanehan. "Hidup kita
tenggelam berantakan," seru seorang penyanyi, "dan semua kita
dikotori noda yang sama. Tidak ada yang lebih baik, semuanya
sama saja . . . Mereka yang tidak menangis tidak akan menyusu,
dan mereka yang tidak mencuri adalah orang tolol."
Di mana letak kesalahan Argentina? Adalah mudah untuk
menyalahkan kaum militer. Argentina mengalami tujuh kudeta sejak
tahun 1930. Ketika tentara menumbangkan pemerintah terpilih
untuk pertama kalinya dalam abad ini dan mulailah kemerosotan
yang besar.
Ada lelucon yang sering diceritakan orang Argentina:
SesudahTuhan menciptakan dunia, ternyata lebih banyak kekayaan
yang dikaruniakan-Nya kepada Argentina ketimbang negeri-negeri
yang lain. Maka, demi keseimbangan, Ia pun menciptakan bangsa
Argentina 'berantakan'.
"Orang Argentina bukanlah bangsa yang bermoral," kata Jose
Miguens, sosiolog Argentina yang paling terkemuka, "dalam arti
bahwa mereka tidak menilai tindakan tindakan mereka
berdasarkanpatokan yang berubah."
Sejak berdirinya negara Argentina, kelayakan merupakan nilai
politik dan sosial yang memimpin. Orang Spanyol si penakluk
tidaklah datang mencari-cari kebebasan agama atau politik guna
membangun suatu negara baru. Mereka datang untuk melakukan
pengisapan. Berdasarkan perjanjian dengan Kerajaan Spanyol nan
jauh, mereka hidup dengan kredo mereka yang sinis: Obedeczo pero
no cumpio - Saya patuh tapi tidak mengeluh. Suatu warisan yang
tidak memiliki pranata dan prinsip yang bisa dijadikan dasar
untuk membangun negara yang sehat.
Argentina bukanlah negeri tanpa hukum dewasa ini. Hanya sedikit
terdapat kejahatan jalanan, karena birokrat turut mendukung
dilaksanakannya peraturan yang sedikit jumlahnya itu. Cuma
belakangan ini rasa tidak hormat terhadap norma hukum atau moral
sudah mulai meresap ke dalam masyarakat.
Hampir semua pemilik toko kecil tidak menggunakan mesin kas guna
hendak menghindari pajak. Penyelundupan komoditi dagang besar
seperti ternak dan barang-barang mesin dengan menyogok dan
memalsukan surat-surat merajalela. Seorang agen polisi baru-baru
ini pada suatu malam memaafkan seorang pengendara asing karena
keliru membelok dan bertanya:
"Nah, apa yang ingin Anda perbuat untuk saya?"
Chanta - berarti tipu dalam dialek Argentina - menjadi kebiasaan
nasional. Seorang.tuan tanah, bekas pejabat tinggi pemerintah,
memasukkan satu pasal ketentuan menghukum ke dalam suatu kontrak
sewa-menyewa yang dilakukan seorang petani yang bekerja untuk
sebuah perusahaan asing. Akhirnya, ketentuan itu menimbulkan
biaya besar. "Ehh, apa peduli," kata si tuan tanah serta
mengulurkan tangan dengan jabatan ramah. "Toh perusahaan Anda
yang akan membayar."
Konstitusi sedikit saja pengaruhnya. Pemimpin-pemimpin militer
membenarkan tindakan putsch yang mereka lakukan dengan
mengatakan bahwa tanggung jawab mereka bukanlah pada konstitusi,
tapi pada cita-cita yang lebih tinggi untuk negara.
Dalam pada itu, kelompok lain pun yang mempunyai cita-cita
berbeda tentang bagaimana seharusnya negara, menempatkan diri
sendiri pula di atas konstitusi. Jadi teroris kiri atau kanan
yang main culik, main potong, dan main bunuh ribuan orang
Argentina dalam tahun 1970-an atas nama negara. Seorang pemuda
kelas menengah, yang baru-baru ini dibebaskan sesudah enam tahun
di penjara, mengaku telah menjadi penyelundup senjata sewaktu
menjadi pemimpin mahasiswa di universitas. "Kesalahan kami ialah
memulai pertempuran sebelum rakyat memihak kami," katanya. Ia
juga bicara tentang "membentuk undang-undang rakyat" - ini
bahasa golongan sendiri bukan konstitusi.
Dan kemudian terdapat pemimpin politik sipil. Di belakang setiap
kudeta yang terjadi selama 50 tahun terakhir ini terdapat banyak
sekali politisi dari berbagai belang yang menghasut kaum militer
dari tangsinya.
Seorang penerbit surat kabar tahun lalu menawarkan suatu
tinjauan tentang kudeta yang menjadikan rezim sekarang berkuasa.
Diceritakannya, bagaimana hariannya menjadi "pendukung utama"
dalam menumbangkan Isabel Peron, dan bagaimana pemimpin-pemimpin
militer "dipersiapkan", melalui pembicaraan panjang antara
mereka dan para editor La Opinion, untuk melakukan revolusi yang
bertujuan mengembalikan stabilitas negeri.
Hal ini merupakan pembenaran dilakukannya kudeta. Tapi apa yang
luar biasa adalah bahwa keterangan itu ditulis oleh Jacobo
Timmerman dalam bukunya, Prisoner Withouta Name, Cell Without a
Number. Dalam buku itu, Timmerman menceritakan bahwa dia sesudah
kudeta ditangkap oleh kaum militer dan disiksa dengan
menggunakan alat-alat listrik. Yang lebih luar biasa lagi bahwa
Timmerman terus juga mendukung kudeta itu. Katanya, dia adalah
korban dari golongan garis keras serta anti-Semitisme dalam
tentara.
Timmerman juga menyokong suatu kudeta militer tahun 1966 - yang
merupakan suatu contoh lain akan keengganan menanti pemilu untuk
mencapai tujuan-tujuan politik. Dan demikianlah ironi akhirnya:
Jacobo Timmerman, pengacara hak-hak asasi manusia yang kini
hidup dalam pembuangan di Israel, sebagai perwujudan Argentina
yang sempurna - manusia bijaksana.
* * *
Semua negeri Amerika Latin menderita karena warisan sang
penakluk. Tapi masing-masing menyesuaikan diri dengan cara yang
berbeda-beda. Argentina yang menikmati tingkat hidup tertinggi
di kawasan itu dengan sombong memandang rendah
tetanggatetangganya. Seperti kata-kata sebuah Meksiko datang
dari bukit, bangsa Brasil dari pohon, dan orang Argentina dari
kapal - yang mengandung arti bahwa orang Brasil adalah monyet
dan orang Argentina adalah orang Eropa yang berbudaya.
Nosostros somos Europeos "Kami orang Eropa" - lama telah menjadi
semboyan Argentina. Dan benar: wajah Buenos Aires adalah tampang
ibukota kerajaan Eropa. Jalan-jalan rayanya luas dan penuh
dengan patung. Rakyatnya berpakaian tampan dan duniawi kelihatan
mengunjungi opera di Colon Thetre yang molek atau mengendarai
kuda di Taman Palermo yang rindang. Seorang pramuria wanita muda
pada suatu jamuan malam di Barrio Norte dengan kagum mengatakan
pada seorang tamu "pasti seperti inilah rupanya Paris abad
ke-19-nya Balzac."
Tapi lihat di belakang itu: Telepon-telepon tidak jalan. Dalam
sebuah bangunan apartemen mewah yang baru, letaknya menghadap
Kedutaan Besar Inggris, pegangan pintunya copot. Ritsliting
busana-busana butik yang sering putus. Citra Eropa pura-pura.
"Konon, orang Inggris selalu menjadi orang Inggris, di mana juga
pun dia hidup," demikian pendapat Marco Denevi, seorang penulis
Argentina. "Saya khawatir, tidaklah demikian halnya dengan orang
Argentina, bahkan di dalam Argentina pun tidak. Kewarganegaraan
Algentina mereka dijamin oleh suratsurat resmi, tapi apa
buktinya kebangsaan Argentina mereka?"
Negeri ini telah menjadi korban kemakmurannya sendiri dan
masuknya kaum imigran. Pada 1869, penduduk Argentina kurang dari
dua juta orang. Tapi 45 tahun kemudian jumlahnya melipat empat
kali ketika kaum imigran asal Eropa mengembangbiakkan
proletariat di kota-kota.
Begitu banyak pendatang berasal dari Italia. Hingga sekarang ini
bukan!ah orang Spanyol yang menjadi kelompok etnis terbesar di
Argentina, tetapi justru orang Italia.
Pemukiman Indian di pampa kawasan padang rumput yang nyaris tak
berpohon di Argentina sebagian besar musnah dalam aksi-aksi
militer. Soalnya, para penguasa militer dan sipil yang kaya
masih ingin lebih kaya lagi dengan mengklaim hak atas kawasan
itu.
Kemakmuran yang diperoleh dengan gampang agaknya telah mendorong
Argentina kehilangan identitas sebagai bangsa. Sekitar sebelas
juta rakyatnya - kira-kira40% dari penduduk negeri itu - kini
tinggal berserakan di kota metropolitan Buenos-Aires. Sebagian
besar sisanya menetap di kota-kota berdekatan. Di Patagonia,
bagian utara negeri sepakbola itu, kepadatan penduduknya hanya
satu orang untuk setiap mil persegi.
Seluruh negeri dalam keadaan "kosong" dan telantar. Penyebabnya,
lebih merupakan kekurangan dana ketimbang dari ketiadaan
perhatian. Para ekonom memperkirakan bahwa orang-orang Argentina
setidaknya menyimpan US$ 8 milyar di bank-bank luar negeri -
sementara di tanah air sendiri sumber kekayaan alam dibiarkan
terbengkalai.
Daya tarik kota begitu besarnya, hingga sebagian besar tuan
tanah juga tinggal di Buenos Aires. Di hari Jumat, jalan-jalan
raya menuju ke pampa sarat dengan mobil bermuatan keluarga tuan
tanah berikut tamunya. Tentu bukan untuk mengayunkan cangkul di
tanah-tanah pertanian, karena tujuan mereka adalah untuk
ber-week end. Paling-paling yang diayunkan tongkat golf, raket
tenis, atau sekadar menunggang kuda di campo milik keluarga.
Hidup yang enak. "Terlalu enak," komentar seorang analis
pertanian asing. Ia memperkirakan, hasil panen biji-bijian dan
ternak Argentina dengan mudah dapat ditingkatkan sebesar 50%,
dengan suatu "andaikata". Yaitu "jika para tuan tanah langsung
siap menggarap tanah sendiri, ketimbang mempercayakannya pada
seorang centeng."
Lalu ke mana duit orang-orang kaya itu dibawa? Mudah saja -
ternyata terdapat banyak koleksi pribadi barang-barang seni.
Amalia Lacroze de Fortabat, warga Argentina, pada 1980
menghabiskan US$ 6,4 juta di kantor lelang New York untuk
menebus sebuah lukisan karya J.M.W Turner. Kabarnya itu jumlah
tertinggi yang pernah dibayar untuk sebuah lukisan di dunia ini.
Padahal Argentina tidak memiliki sebuah museum yang lumayan
besarnya, tidak punya universitas swasta yang besar. Sekolah
yang nonprofit cuma sedikit, apalagi sebuah foundation. "Itu
memang lagak gaya ala Eropa, namun langka bobot," komentar
Edward Schumacher - penulis karangan ini.
* * *
Tapi itu mungkin sudah berbeda. Pada abad, para tuan tanah
oligarki yang menguasai Argentina menghasilkan sejumlah demokrat
yang sadar. Partai kelas menengah kota yang baru, Radical,
berhasil merebut kekuasaan. Sayang, kaum radikal itu menyerah
kepada biang kerok lama Argentina, yaitu para pemimpin garis
keras yang disebut caudillo - yang menolak melepaskan
kepemimpinan partai. Partai retak dari dalam dan menjadi banci.
Mereka tidak mampu menjawab tuntutan kaum proletariat imigran.
Tinggal menggantungkan harapan pada seorang caudillo baru,
Jenderal Peron .
Terpilih sebagai presiden pertama kali pada 1946, sembilan tahun
kemudian ia disingkirkan dan dibuang ke Spanyol. Tapi itu hanya
suatu masa istirahat panjang -18 tahun. Dalam dekade sepeninggal
Peron, pemerintah sipil dan militer silih berganti berkuasa, dan
sejarah politik Argentina merupakan adegan tarik tambang. Yaitu
antara kaum Peronis yang hendak menjalankan ekonomi proteksi
dengan pengawasan negara dengan kaum kelas atas yang ingin
mengembangkan ekonomi pasar bebas dari abad ke-19. Sementara
kaum militer dan kelas menengah terperangkap di antaranya.
Setelah kebangkrutan ekonomi di bawah kaum Peronis pada 1976,
kaum kelas menengah dan atas mendukung kudeta yang dilakukan
golongan militer. Yang diharap adalah adanya perubahan struktur
ekonomi secara mendasar berikut jaringan pasar bebasnya. Suku
bunga ditiadakan dan bea masuk diturunkan. Namun usaha itu
mengalami kegagalan pula. Penyebabnya: pengeluaran militer yang
kelewat boros, dan keengganan melego industri-industri negara
yang tidak efisien.
Hendaklah dipahami bahwa Peronisme bukanlah partai tradisional -
ia cuma sebuah gerakan. Peron itu korup. Tapi ia dewa yang punya
Dewi Evita. Pasangan yang memberikan sebuah martabat kepada
kelas baru: kuli-kuli industri. Padahal semua orang tahu, Evita
itu adalah anak jadah yang miskin dari pedalaman yang tiba-tiba
muncul di kalangan para bintang film. Kelebihannya, ia mampu
memanggil para kuli dengan mis descamisados - kaumku yang tak
berbaju. Dengan kata-kaa bersayap yang menawan demikian,
pasangan ini berjaya sampai di singgasana kekuasaan dengan
dukungan serikat karyawan.
Peron menggambarkan kebijaksanaan dalam dan luar negerinya
sebagai "cara ketiga." Apa pula itu? "Sesuatu yang bukan Marxis
dan bukan kapitalis, tidak pula pro-Amerika atau pro-Soviet,"
tulis Schumacher. Di dalam bentuknya yang domestik, itu bisa
disebut populisme. "Tapi apa sesungguhnya ia, tidak pernah
dirumuskan."
Populisme Argentina pada akhirnya person Peron sendiri - konon.
Dan untuk melaksanakannya perlu demagogi besar-besaran. Guru
besarnya tak tanggung-tanggung: Benito Mussolini saat tokoh ini
berkuasa, Peron menjadi atase militer di Italia. Dalam mencapai
tujuan, Peron memaksakan kehendaknya melalui pengerahan massa
dan huru-hara yang ditimbulkan oleh kelompok serikat buruh yang
setia.
Kini, poster Peron muncul lagi di mana-mana. Toko-toko buku
mulai dipenuhi buku-buku tebal yang memuat pidatonya. Politisi
dan anak anak muda mengutip ucapannyaseperti yang pernah
dilakukan di Cina terhadap kata-kata Mao.
* * *
Studi sejarah di Argentina secara tradisi telah terperosok dalam
perdebatan berlarut-larut - yang mencerminkan perpecahan politik
bangsa itu. "Anda harus meniti hatihati di antara patok-patok
sejarah masa kini," kata seorang kepala sekolah swasta, "karena
Anda tidak pernah tahu apa yang dipikirkan anak adik Anda atau
orang tua mereka." Para profesor universitas acap kali tidak
memiliki pilihan lain kecuali main pokrol bambu terhadap rezim
yang berkuasa - untuk menghindar dari kecaman atau larangan
memberikan kuliah. "Hidup di negeri seperti ini," kata Miguens,
seorang sosiolog, "bisa membuat Anda senu."
Kurangnya kesadaran akan sejarah bisa membantu menjelaskan
mengapa kebangkitan kembali Peron bisa terjadi. Tak menjadi
persoalan bagi rakyat, siapa pemimpin mereka dan berasal dari
mana.
Evita Peron telah memperagakan sikap remeh orang Argentina pada
sejarah. Ia pernah memusnahkan akta kelahirannya. Otobiografinya
bacaan wajib di sekolah - diminta pula direvisi. Yaitu dengan
mengubah usia, warna rambut, dan tempat lahirnya.
Para reporter sejumlah majalah terkemuka negeri itu terus
menerus mengeluh terhadap perintah dari para penerbitnya -
tentang keharusan memangkas laporan demi pertimbangan politik.
Dalam masa Perang Malvinas, Gente, mingguan terkemuka di
Argentina, memuat wawancara dua halaman dengan pasukan komando
Argentina yang berada di belakarg garis musuh - di Pulau
Georgia Selatan. Wawancara yang diduga keras dilakukan secara
sembunyi-sembunyi melalui radio, ternyata dilarang muat oleh
seorang editor. Alasannya tak disebutkan.
Dalam keadaan negeri yang kacau balau, senantiasa ada
kecenderungan mencari kambing hitam. Dalam masa Perang Malvinas,
banyak orang Benna yang tidak menyetujui gempuran terhadap
kepulauan yang oleh pihak Inggris disebut Falkland itu. Tetapi
ketidaksetujuan itu dipendam saja karena takut dicap
"anti-Argentina." Ini dialami oleh Jacobo timmerman dan pers
asing yang senang mengungkit-ungkit masalah hak-hak asasi
manusia. Barubaru ini, hal itu menimpa Jose Martinez de Hoz,
arsitek kebijaksanaan ekonomi yang gagal dari junta militer. Ia
dikucilkan, dan kaum ekonom Peronis menolak hadir dalam suatu
konperensi bersamanya.
Tanpa suatu dialog, tanpa penganalisaan, dan tidak ada pula rasa
saling mengikat satu sama lainnya. Karenanya, tidak usah terlalu
heran jika negeri itu terjerumus ke dalam kekerasan.
Mitos pun berkembang. Mitos tentang tidak akan habis-habisnya
kekayaan negeri itu: "Tuhan menciptakannya dalam satu malam apa
yang orang Argentina musnahkan dalam satu hari." Itulah ucapan
yang sering terdengar di mana-mana.
Mitos lain tentang Peron. Ia diceritakan hidup dalam limpahan
kemewahan di pembuangan. Tapi sopir truk di Mendoza, seperti
umumnya Peronis lain, bersiteguh bahwa "ia hidup bersakit-sakit
dari sumbangan sukarela kaum pekerja Argentina." "Kalau ada
keterangan tambahan yang melebih-lebihkan itu tentu berasal dari
kaum oligarki," katanya.
Di Argentina, seseorang bisa dengan gampang membiasakan hidup
enak. Misalnya, sambil goyanggoyang kaki mengiris bistik,
berasyik-asyik di gedung opera, atau bersantai-santai di akhir
minggu. Tetapi tidak banyak diplomat atau wartawan asing yang
menyukai negeri itu. Buktinya, banyak penerbitan yang
memindahkan Biro Amerika Selatannya dari Buenos Aires ke Rio de
Janeiro, Brazil.
Para diplomat AS tampak ogahogahan kalau disuruh bertugas di
Argenti,na. Alasan yang umum dikemukakan: merasaputus hubungan
dengan apa yang mereka sebut sebagai "dunia nyata."
Orang-orang Argentina tak hendak mempercayai bahwa pemusnahan
berlangsung di sana. Dan mereka tidak lagi risau dengan
suara-suara dari dunia luar. Dan untuk menghalalkan cara, mereka
tidak sungkan-sungkan bilang: teror harus dilawan dengan teror.
Dan bahwa ada "siksaan jelek", dan ada pula "siksaan baik".
Siksaan mah siksaan atuh!
V.S. Nailpaul menyimpulkan begini: "Menulis realis tentang
masyarakat negeri ini ada kesulitan yang cukup ganjil.
Membeberkan secara akurat, itu mustahil."
Orang Argentina masih menaruh secuil harapan. Seorang kontraktor
mengaku setiap minggu berembuk dengan para pemimpin buruh.
"Untuk mendiskusikan masalah bersama, dan menghindari
konfrontasi," katanya. Dengan matinya Peron, konon, pemimpin
politik dan buruh menjadi lebih terbuka. "Konsensus dibangun
dari dalam, setapak demi setapak," tambah anemer tersebut.
"Mungkin lima tahun sejak sekarang, kita akan mampu melihat ke
belakang dan berkata: ini adalah titik balik dalam sejarah
Argentina."
Harapan serupa datang pula dari kalangan gereja - satu dari
segelintir lembaga yang masih memiliki kredibilitas. Mereka
berniat memasuki arena politik sebagai mediator untuk mencari
apa yang disebut "rekonsiliasi." November tahun kemarin, sebuah
dewan keuskupan mulai mengadakan pendekatan dengan kaum militer,
politisi, para pemimpin buruh, dan kelompok lainnya. Yang
dicari: kesepakatan nasional untuk membikin mulusnya pengalihan
demokrasi.
Presiden Bignone dan junta tampaknya dengan tulus berjanji
mengadakan pemilu untuk pemilihan anggota Congress dan Presiden.
Waktu yang dijanjikan: akhir 1983 dan paling lambat Maret 1984.
Dalam masa enam bulan terakhir, partai politik berikut
kegiatannya akan diperbolehkan. Dan rencana undang-undang yang
menjamin pemilihan demokratis di kalangan parpol sendiri sedang
digarap - ini dengan maksud untuk menyepak ke luar para tua
bangka caudillo.
Masa transisi demokrasi itu masih tetap rapuh dan merupakan
teka-teki yang bisa memperangkap. Rasa takut akan huru-hara yang
ditimbulkan kaum buruh, atau perebutan kekuasaan oleh
kelompok-kelompok militer tertentu, masih menghantui seluruh
negeri. Akankah penderitaan dan kesedihan rakyat Argentina akan
berakhir? Siapa tahu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini