Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Klinik untuk yang tidur miring

Klinik arsitektur yang merupakan salah satu bagian dari pameran arsitek melayani pertanyaan langsung dari masyarakat.(ilt)

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYONYA Samidi sekeluarga - dengan seorang suami, empat orang anak berumur antara 6-11 tahun serta seorang pembantu - sudah sepuluh tahun ini tidur dengan posisi miring. Masih ditambah bantal untuk menutup kedua lubang kuping mereka. Kebiasaan itu untuk menolak bunyi dan getaran kereta api yang lewat sekitar 10 meter di sebelah kamar tidur mereka. "Tempat ini begitu bising," kata ibu, 35 tahun, yang tinggal di Jalan Taman Garuda, Yogya, ini. Yaitu sebuah tempat di ujung utara Malioboro, diapit jalur kereta api dan jalan raya yang ramai. Bayangkan - apalagi kalau bisa merasakan. "Saya dan anak-anak harus berbicara setengah berteriak, mbengok, agar kedengaran," keluh Nyonya . amidi. Di samping tidur miring, berbicara mbengok akhirnya menjadi kebiasaan keluarga pula. Ini membuat ibu, yang pernah kuliah tingkat II Fakultas Pertanian UGM ini, merasa malu kalau anak-anaknya berkumpul dengan anak-anak keluarga lain: ' Mereka bicara terlalu keras." Persoalan keluarganya itulah, yang mendorong Nyonya Samidi mengunjungi Klinik Arsitektur, di salah satu bagian dari Pameran Arsitektur 4-7 April), menyambut 20 tahun Keluarga Mahasiswa Arsitektur UGM Wiswakharman. Pameran yang diikuti 22 perguruan tinggi se-Jawa dan Bali, sangat ramai dikunjungi "pasien" sehingga baru sampai hari kedua saja telah tercatat 90 orang datang berkonsultasi. "Tersedia 15 orang tenaga untuk memberi konsultasi," kata Ria Wikantari, mahasiswi Arsitektur UGM tingkat III. Menurut koordinator klinik ini, dari jumlah itu, 10 orang siap melayani pertanyaan langsung dari masyarakat. Selebihnya bertugas sebagai juru gambar serta seorang penanggung jawab. Yang menarik, dari 90 pasien yang datang, 50% terdiri dari mahasiswa. Mereka terutama mengeluh soal penataan tempat atau kamar pondokan. Ketut Swa Karma, misalnya. Mahasiswa MIPA UGM jurusan Fisika ini bingung karena ruang pondokarinya begitu sempit. Kamarnya 3 x 3 m, padahal ia harus menempatkan satu tempat tidur, satu meja belajar, rak buku dan almari pakaian. Kesulitan ini ditambah lagi dengan adat istiadat Bali yang masih dianutnya: tidur dengan kepala tidak boleh mcnghadap ke selatan. Sekitar dua puluh menit ia dengan tekun mengikuti konsultasi. "Saya puas," katanya sambil membawa sketsa tata ruang kamarnya. Lain halnya Nita Soegianto. Mahasiswi FH-UII ini manajer Hotel Airlangga di Prawirotaman, Yogya, menginginkan nasihat bagi peletakan tangga untuk hotel baru bertingkat lima. Keluhan "pasien" macam-macam. Maka jawaban dari klinik juga macam-macam. Kepada Nyonya Samidi, misalnya, klinik menyarankan seperti ini: Tembok harus dipertebal, di belakang rumah harus ditanami sesuatu pohon, baik pula dipasang kerei bambu, di samping jendela berdaun ganda. Dengan cara seperti itu, mudah-mudahan, kebisingan bisa diredam. Ada yang datang hanya sekadar mengumbar rasa ingin tahu. Seperti Mulyono letnan dua polisi yang bertugas di bagian Pengumpulan Data Kowil 96 Yogyakarta menginginkan penjelasan bagaimana tata ruang yang baik. "Kami memang tidak membatasi pasien klinik ini," ujar Rino. Harapannya ialah agar masyarakat lebih apresiatif terhadap arsitektur dan karya arsitektur. Prof. Dr. Parmono Atmadi dosen Arsitektur UGM, menyatakan "Masyarakat kita cukup apresiatif terhadap karya arsitektur." Buktinya: banyak tanggapan masyarakat terhadap karya-karya arsitektur yang disalurkan lewat media massa. "Tapi, komunikasi dengan masyarakat itu penting," tambahnya. Dan Klinik Arsitektur salah satu alternatif untuk itu. Kesulitan berkomunikasi inilah rupanya yang dihadapi mahasiswa arsitektur yang berpraktek di klinik ini. Ana Kartina, mahasiswi Arsitektur ITB, terpaksa mengganti istilah view dengan "pandangan yang menarik". Zoning dikatakan sebagai "daerah yang mempunyai fungsi tertentu" dan entrance diterjemahkannya dengan "daerah masuk". "Tapi saya senang," kata gadis hitam berambut pendek ini, "karena dituntut berpikir cepat untuk mengatasi masalah." Gagasan semacam klinik ini pernah pula dilakukan oleh mahasiswa Arsitektur UGM. Yaitu dengan mendirikan Lembaga Bantuan Arsitektur (LBA). Karya mereka pertama, 1980, adalah membuat prototip rumah untuk gelandangan. Dengan denah 3 x 4 meter, rumah itu berbentuk tenda, dan struktur utamanya bambu. Dinding terbuat dari gedek. Atapnya tiga lapis: pertama gedek, kemudian karton, dan lapis terluar dari plastik. Karya ini lalu dibangun di lingkungan kumuh di tepi Kali Code di tengah Kota Yogya. Dan sekarang? "Saya cuma sempat tinggal selama lima bulan," kata Ciptowiyono, 35 tahun, gelandangan asal Prambanan yang dipilih menempati rumah itu. Ia sehari-hari bekerja mengumpulkan barang bekas. Rumahnya memang sudah tak berbekas lagi: dihantam hujan dan dihanyutkan gelombang Code yang juga menenggelamkan sebagian dataran rendah Yogya sekitar awal tahun silam. Bahkan, L.BA itu sendiri tak lagi kedengaran. meski sudah dijadikan organ Ikatan Arsitek Indonesia. Dan Klinik Arsitek ini "kalau cuma temporer, itu tak lebih seperti orang zakat," seperti komentar Ir. Laksono Probosubanu MURP, dosen Perancangan Arsitektur UGM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus