NYONYA Samidi sekeluarga - dengan seorang suami, empat orang
anak berumur antara 6-11 tahun serta seorang pembantu - sudah
sepuluh tahun ini tidur dengan posisi miring. Masih ditambah
bantal untuk menutup kedua lubang kuping mereka. Kebiasaan itu
untuk menolak bunyi dan getaran kereta api yang lewat sekitar 10
meter di sebelah kamar tidur mereka.
"Tempat ini begitu bising," kata ibu, 35 tahun, yang tinggal di
Jalan Taman Garuda, Yogya, ini. Yaitu sebuah tempat di ujung
utara Malioboro, diapit jalur kereta api dan jalan raya yang
ramai. Bayangkan - apalagi kalau bisa merasakan. "Saya dan
anak-anak harus berbicara setengah berteriak, mbengok, agar
kedengaran," keluh Nyonya . amidi. Di samping tidur miring,
berbicara mbengok akhirnya menjadi kebiasaan keluarga pula. Ini
membuat ibu, yang pernah kuliah tingkat II Fakultas Pertanian
UGM ini, merasa malu kalau anak-anaknya berkumpul dengan
anak-anak keluarga lain: ' Mereka bicara terlalu keras."
Persoalan keluarganya itulah, yang mendorong Nyonya Samidi
mengunjungi Klinik Arsitektur, di salah satu bagian dari Pameran
Arsitektur 4-7 April), menyambut 20 tahun Keluarga Mahasiswa
Arsitektur UGM Wiswakharman. Pameran yang diikuti 22 perguruan
tinggi se-Jawa dan Bali, sangat ramai dikunjungi "pasien"
sehingga baru sampai hari kedua saja telah tercatat 90 orang
datang berkonsultasi.
"Tersedia 15 orang tenaga untuk memberi konsultasi," kata Ria
Wikantari, mahasiswi Arsitektur UGM tingkat III. Menurut
koordinator klinik ini, dari jumlah itu, 10 orang siap melayani
pertanyaan langsung dari masyarakat. Selebihnya bertugas sebagai
juru gambar serta seorang penanggung jawab.
Yang menarik, dari 90 pasien yang datang, 50% terdiri dari
mahasiswa. Mereka terutama mengeluh soal penataan tempat atau
kamar pondokan. Ketut Swa Karma, misalnya. Mahasiswa MIPA UGM
jurusan Fisika ini bingung karena ruang pondokarinya begitu
sempit. Kamarnya 3 x 3 m, padahal ia harus menempatkan satu
tempat tidur, satu meja belajar, rak buku dan almari pakaian.
Kesulitan ini ditambah lagi dengan adat istiadat Bali yang masih
dianutnya: tidur dengan kepala tidak boleh mcnghadap ke selatan.
Sekitar dua puluh menit ia dengan tekun mengikuti konsultasi.
"Saya puas," katanya sambil membawa sketsa tata ruang kamarnya.
Lain halnya Nita Soegianto. Mahasiswi FH-UII ini manajer Hotel
Airlangga di Prawirotaman, Yogya, menginginkan nasihat bagi
peletakan tangga untuk hotel baru bertingkat lima.
Keluhan "pasien" macam-macam. Maka jawaban dari klinik juga
macam-macam. Kepada Nyonya Samidi, misalnya, klinik menyarankan
seperti ini: Tembok harus dipertebal, di belakang rumah harus
ditanami sesuatu pohon, baik pula dipasang kerei bambu, di
samping jendela berdaun ganda. Dengan cara seperti itu,
mudah-mudahan, kebisingan bisa diredam.
Ada yang datang hanya sekadar mengumbar rasa ingin tahu. Seperti
Mulyono letnan dua polisi yang bertugas di bagian Pengumpulan
Data Kowil 96 Yogyakarta menginginkan penjelasan bagaimana tata
ruang yang baik. "Kami memang tidak membatasi pasien klinik
ini," ujar Rino. Harapannya ialah agar masyarakat lebih
apresiatif terhadap arsitektur dan karya arsitektur. Prof. Dr.
Parmono Atmadi dosen Arsitektur UGM, menyatakan "Masyarakat
kita cukup apresiatif terhadap karya arsitektur." Buktinya:
banyak tanggapan masyarakat terhadap karya-karya arsitektur yang
disalurkan lewat media massa. "Tapi, komunikasi dengan
masyarakat itu penting," tambahnya. Dan Klinik Arsitektur salah
satu alternatif untuk itu.
Kesulitan berkomunikasi inilah rupanya yang dihadapi mahasiswa
arsitektur yang berpraktek di klinik ini. Ana Kartina, mahasiswi
Arsitektur ITB, terpaksa mengganti istilah view dengan
"pandangan yang menarik". Zoning dikatakan sebagai "daerah yang
mempunyai fungsi tertentu" dan entrance diterjemahkannya dengan
"daerah masuk". "Tapi saya senang," kata gadis hitam berambut
pendek ini, "karena dituntut berpikir cepat untuk mengatasi
masalah."
Gagasan semacam klinik ini pernah pula dilakukan oleh mahasiswa
Arsitektur UGM. Yaitu dengan mendirikan Lembaga Bantuan
Arsitektur (LBA). Karya mereka pertama, 1980, adalah membuat
prototip rumah untuk gelandangan.
Dengan denah 3 x 4 meter, rumah itu berbentuk tenda, dan
struktur utamanya bambu. Dinding terbuat dari gedek. Atapnya
tiga lapis: pertama gedek, kemudian karton, dan lapis terluar
dari plastik. Karya ini lalu dibangun di lingkungan kumuh di
tepi Kali Code di tengah Kota Yogya.
Dan sekarang? "Saya cuma sempat tinggal selama lima bulan," kata
Ciptowiyono, 35 tahun, gelandangan asal Prambanan yang dipilih
menempati rumah itu. Ia sehari-hari bekerja mengumpulkan barang
bekas. Rumahnya memang sudah tak berbekas lagi: dihantam hujan
dan dihanyutkan gelombang Code yang juga menenggelamkan sebagian
dataran rendah Yogya sekitar awal tahun silam.
Bahkan, L.BA itu sendiri tak lagi kedengaran. meski sudah
dijadikan organ Ikatan Arsitek Indonesia. Dan Klinik Arsitek ini
"kalau cuma temporer, itu tak lebih seperti orang zakat,"
seperti komentar Ir. Laksono Probosubanu MURP, dosen Perancangan
Arsitektur UGM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini