APRIL ini, genap dua tahun pemukiman rumah susun di Tanah Abang, Jakarta. Menurut Mochtar Muhammad, kepala Pengelolaan Rumah Susun Tanah Abang, keluhan penghuni saat ini adalah tidak adanya balai pertemuan, taman kanak-kanak, dan sarana olah raga. Menteri Negara Urusan Perumahan Rakyat, Cosmas Batubara, mengakui kekurangan itu. "Dalam hal sarana penunjang, fasilitas yang disediakan baru taraf minimal," katanya kepada TEMPO, pekan
lalu. Tetapi, "dalam meningkatkan kesadaran bangsa kita terhadap lingkungan, proses itu sudah dimulai di rumah susun."
Sadar lingkungan memang telah tumbuh di antara penghuni rumah susun Tanah Abang. Mochtar Muhammad, misalnya, menyebut adanya pembagian tugas dalam memelihara tanaman. Penghuni lantai bawah
menanam bunga, penghuni lantai di atasnya turun secara bergilir menyiraminya. "Solidaritas dan semangat gotong royong mereka cukup tinggi," kata Mochtar.
Kenyataan ini untuk membantah kekhawatiran Kelompok Kerja Habitat Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Kelompok kerja yang menyelenggarakan Seminar Habitat Nasional I di Jakarta (24-26
Maret), antara lain mengkhawatirkan terjadinya sikap
individualistis di flat. "Masyarakat kita biasa bertetangga horisohtal, ngobrol kanan kiri, dan bukan atas bawah. Sistem bertetangga vertikal itu belum pernah ada di kalangan masyarakat kita," kata Sekjen IAI, Ir. Madrim D. Gondokusumo, yang juga ketua pelaksana seminar.
Tentu saja bertetangga vertikal hal yang baru. Apalagi rumah
susun Tanah Abang proyek perumahan pertama dibangun Perum
Perumnas. Namun, menarik pengamatan Menteri Cosmas Batubara yang
menyebut bahwa mereka yang sebelumnya tinggal di daerah yang
padat dan sumpek (slum) justru tidak mengenal dan tak mendapat
kesempatan untuk bergotong royong. "Setelah di flat mereka
memiliki solidaritas dan bisa mengadakan berbagai kegiatan,"
katanya. Kegiatan itu, seperti juga dikatakan Mochtar Muhammad,
misalnya, pengaJian yang diadakan di rumah-rumah.
Soal pembuangan sampah juga disoroti kelompok kerja IAI.
Dikhawatirkan kebiasaan melempar sampah sembarangan terbawa-bawa
ke flat. "Masyarakat kita biasa begitu," kata Madrim.
Dalam mencari pemecahan pembuangan sampah ini, seminar habitat
menyarankan dipergunakan sistem lubang yang langsung menuju ke
tanah. "Dan itu perlu biaya serta riset yang mendalam untuk
mendapatkan sistem agar sampah tidak bau. Dinding lubang pun
harus dari porselin yang licin agar sampah tidak nyangkut,"
saran Madrim yang juga dosen Fakultas Teknik UI.
Ternyata sistem pembuangan sampah di Tanah Abang sederhana dan
murah. "Sampah dibungkus rapi di dalam plastik dan dibawa ke
luar flat, kemudian ada petuga yang mengambilnya sekaligus
membagikan plastik baru," kata Kepala Perumnas Cabang III
Sugiarto.
Penghuni rumah susun mematuhi disiplin itu dengan ketat. Memang
akhirnya kekur angan truk sampah yang menjadi masalah sehingga
di seberang rumah susun masih ada onggokan sampah yang belum
terangkut. Menurut Cosmas Batubara, "ini sudah problema Jakarta,
bukan lagi problema khusus rumah susun Tanah Abang."
Apa yang dihasilkan oleh seminar habitat ini memang agak
teoritis. Kecemasankecemasan diungkapkan dengan perbandingan di
negara maju. Padahal, baik penghuni maupun pengelola rumah susun
Tanah Abang, tak berpikir sejauh itu. Selama dua tahun ini,
misalnya, dari enam kematian, semuanya wajar saja - tidak terjun
bunuh diri memanfaatkan gedung yang tinggi. Perkelahian yang
pernah terjadi itu pun melibatkan orang luar kompleks.
Yang mengagetkan, menurut seminar habitat, kebutuhan akan rumah
ternyata bukanlah kebutuhan paling mendesak bagi kalangan
masyarakat miskin. "Menurut riset kami, kebutuhan rumah jauh di
belakang kebutuhan akan air bersih, makanan, pekerjaan, dan
pendidikan," kata Madrim yang melakukan riset di kawasan miskin
seperti Penjaringan, Jakarta Utara. "Kami bisa saja membuat
rumah banyak-banyak. Tapi kami belum menganggap itu kebutuhan
pokok."
Sugiarto yang juga ikut dalam seminar ini - kaget. "Bagaimana
kebutuhan rumah dikatakan tak mendesak, kita bangun 1.000 unit
yang minta 5.000 peminat," katanya. Di Bekasi dibangun 2.040
unit, formulir pendaftaran yang masuk 32.000. "Apakah itu tak
mendesak?" tanya Sugiarto.
Cosmas Batubara menanggapi lebih kalem. "Barangkali risetnya
salah," katanya. Ia kemudian menguraikan tingkat pendapatan
masyarakat Indonesia yang terbagi tiga bagian. Lapisan terbawah,
kalangan termiskin, ada 20%. Lapisan tengah berpenghasilan
cukup, 60%. Kalangan atas, berpenghasilan menengah dan tinggi,
20%. "Yang memerlukan rumah bukan golongan terbawah, melainkan
golongan tengah yang 60%," katanya.
Melihat kebutuhan rumah semakin meningkat, Cosmas Batubara
belakangan ini lembur hingga petang di kantornya yang
lama--Departemen PU. "Bersama tim ahli, kami sedang mempelajari
pembangunan rumah susun berlantai delapan," katanya. Alasannya,
selain bisa menghemat tanah, juga pengalaman dari rumah susun
Tanah Abang dan rumah susun Kebon Kacang yang segera rampung
itu, tidak menimbulkan dampak negatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini