Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kecemasan dari ruang seminar

Seminar habitat nasional yang diselenggarakan oleh kelompok kerja habitat ikatan arsitek indonesia, mencemaskan tentang dampak negatif rumah susun. (ling)

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APRIL ini, genap dua tahun pemukiman rumah susun di Tanah Abang, Jakarta. Menurut Mochtar Muhammad, kepala Pengelolaan Rumah Susun Tanah Abang, keluhan penghuni saat ini adalah tidak adanya balai pertemuan, taman kanak-kanak, dan sarana olah raga. Menteri Negara Urusan Perumahan Rakyat, Cosmas Batubara, mengakui kekurangan itu. "Dalam hal sarana penunjang, fasilitas yang disediakan baru taraf minimal," katanya kepada TEMPO, pekan lalu. Tetapi, "dalam meningkatkan kesadaran bangsa kita terhadap lingkungan, proses itu sudah dimulai di rumah susun." Sadar lingkungan memang telah tumbuh di antara penghuni rumah susun Tanah Abang. Mochtar Muhammad, misalnya, menyebut adanya pembagian tugas dalam memelihara tanaman. Penghuni lantai bawah menanam bunga, penghuni lantai di atasnya turun secara bergilir menyiraminya. "Solidaritas dan semangat gotong royong mereka cukup tinggi," kata Mochtar. Kenyataan ini untuk membantah kekhawatiran Kelompok Kerja Habitat Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Kelompok kerja yang menyelenggarakan Seminar Habitat Nasional I di Jakarta (24-26 Maret), antara lain mengkhawatirkan terjadinya sikap individualistis di flat. "Masyarakat kita biasa bertetangga horisohtal, ngobrol kanan kiri, dan bukan atas bawah. Sistem bertetangga vertikal itu belum pernah ada di kalangan masyarakat kita," kata Sekjen IAI, Ir. Madrim D. Gondokusumo, yang juga ketua pelaksana seminar. Tentu saja bertetangga vertikal hal yang baru. Apalagi rumah susun Tanah Abang proyek perumahan pertama dibangun Perum Perumnas. Namun, menarik pengamatan Menteri Cosmas Batubara yang menyebut bahwa mereka yang sebelumnya tinggal di daerah yang padat dan sumpek (slum) justru tidak mengenal dan tak mendapat kesempatan untuk bergotong royong. "Setelah di flat mereka memiliki solidaritas dan bisa mengadakan berbagai kegiatan," katanya. Kegiatan itu, seperti juga dikatakan Mochtar Muhammad, misalnya, pengaJian yang diadakan di rumah-rumah. Soal pembuangan sampah juga disoroti kelompok kerja IAI. Dikhawatirkan kebiasaan melempar sampah sembarangan terbawa-bawa ke flat. "Masyarakat kita biasa begitu," kata Madrim. Dalam mencari pemecahan pembuangan sampah ini, seminar habitat menyarankan dipergunakan sistem lubang yang langsung menuju ke tanah. "Dan itu perlu biaya serta riset yang mendalam untuk mendapatkan sistem agar sampah tidak bau. Dinding lubang pun harus dari porselin yang licin agar sampah tidak nyangkut," saran Madrim yang juga dosen Fakultas Teknik UI. Ternyata sistem pembuangan sampah di Tanah Abang sederhana dan murah. "Sampah dibungkus rapi di dalam plastik dan dibawa ke luar flat, kemudian ada petuga yang mengambilnya sekaligus membagikan plastik baru," kata Kepala Perumnas Cabang III Sugiarto. Penghuni rumah susun mematuhi disiplin itu dengan ketat. Memang akhirnya kekur angan truk sampah yang menjadi masalah sehingga di seberang rumah susun masih ada onggokan sampah yang belum terangkut. Menurut Cosmas Batubara, "ini sudah problema Jakarta, bukan lagi problema khusus rumah susun Tanah Abang." Apa yang dihasilkan oleh seminar habitat ini memang agak teoritis. Kecemasankecemasan diungkapkan dengan perbandingan di negara maju. Padahal, baik penghuni maupun pengelola rumah susun Tanah Abang, tak berpikir sejauh itu. Selama dua tahun ini, misalnya, dari enam kematian, semuanya wajar saja - tidak terjun bunuh diri memanfaatkan gedung yang tinggi. Perkelahian yang pernah terjadi itu pun melibatkan orang luar kompleks. Yang mengagetkan, menurut seminar habitat, kebutuhan akan rumah ternyata bukanlah kebutuhan paling mendesak bagi kalangan masyarakat miskin. "Menurut riset kami, kebutuhan rumah jauh di belakang kebutuhan akan air bersih, makanan, pekerjaan, dan pendidikan," kata Madrim yang melakukan riset di kawasan miskin seperti Penjaringan, Jakarta Utara. "Kami bisa saja membuat rumah banyak-banyak. Tapi kami belum menganggap itu kebutuhan pokok." Sugiarto yang juga ikut dalam seminar ini - kaget. "Bagaimana kebutuhan rumah dikatakan tak mendesak, kita bangun 1.000 unit yang minta 5.000 peminat," katanya. Di Bekasi dibangun 2.040 unit, formulir pendaftaran yang masuk 32.000. "Apakah itu tak mendesak?" tanya Sugiarto. Cosmas Batubara menanggapi lebih kalem. "Barangkali risetnya salah," katanya. Ia kemudian menguraikan tingkat pendapatan masyarakat Indonesia yang terbagi tiga bagian. Lapisan terbawah, kalangan termiskin, ada 20%. Lapisan tengah berpenghasilan cukup, 60%. Kalangan atas, berpenghasilan menengah dan tinggi, 20%. "Yang memerlukan rumah bukan golongan terbawah, melainkan golongan tengah yang 60%," katanya. Melihat kebutuhan rumah semakin meningkat, Cosmas Batubara belakangan ini lembur hingga petang di kantornya yang lama--Departemen PU. "Bersama tim ahli, kami sedang mempelajari pembangunan rumah susun berlantai delapan," katanya. Alasannya, selain bisa menghemat tanah, juga pengalaman dari rumah susun Tanah Abang dan rumah susun Kebon Kacang yang segera rampung itu, tidak menimbulkan dampak negatif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus