ADA onggokan plastik menggunung bergerak ke sana ke mari,
kembang kempis bagaikan bernapas. Ada penari berkostum orang
Dayak lengkap dengan mandau, berjingkat-jingkat. Lalu sejumlah
penari wanita dengan ranting-ranting kering di punggungnya
melenggak-lenggok. Muncul pula penari balet Jermandari grup
terkenal Tanz Forum. Di layar belakang ditembakkan film
tumbangnya pohon-pohon di hutan. Musik pun mengumandangkan
rekaman suara-suara hutan yang diolah kembali dengan musik
elektronik.
Itulah suguhan Sardono W. Kusumo terbaru, Hutan Plastik, di
Teater Arena Taman Ismail Maruki, 13-17 April ini. Tontonan
yang katanya tidak bermula dari perencanaan-perencanaan. "Tapi
bermula dari orientasi dan keprihatinan terhadap satu masalah,"
tutur yang empunya pertunJukan. Dan Jangan kaget, penonton
dipersilakan duduk di lantai, karena semua kursi digusur ke
luar.
Masalah hutan, agaknya mulai tampak muncul dalam diri Sardono,
ketika 1981 ia menjelajahi hutan Kalimantan, menelusuri jalur
perpindahan Suku Dayak Kenyah. "Hutan ternyata bukan alam
perkasa, tapi satu kesatuan yang rapuh," katanya. Mengapa ?
Karena kekayaannya yang tinggal ambil saja itu, hutan
dieksploatasi orang dengan rakus. "Jadi dibutuhkan campur tangan
manusia yang mampu mengerti perilaku gerak kehidupan yang
terjalin antara binatang, alam, dan manusia," lanjut Sardono, 38
tahun.
Berikut wawancara TEMPO dengan pencipta tari yang antara lain
telah menciptakan Samgita Pancasona (1968), Dongeng dari Dirah
(1973), Yellow Submarine (1977) Ngrenaswara (1970), Metaekologi
(1981), tentang Hutan Plastik ciptaannya yang mutakhir.
Mengapa Anda menciptakan satu teater yang menggunakan banyak
media: film, musik elektroakustik, gerak tari primitif dan balet
modern, dan lain-lain?
Orientasi masalahnya mengharuskan saya membuat teater seperti
itu. Kalau saya berjalan di hutan Kalimantan, saya selalu
membawa kamera, buku dan lain-lain. Dan itu semua bagi saya
merupakan bagian dari lingkungan alam keseluruhannya, ya tubuh
saya, ya alat-alat yang saya bawa dengan hutan tempat saya
beralan.
Lalu soal plastik, saya sendiri telah latihan dengan plastik
kira-kira dua tahun yang lalu, tanpa ada rencana pertunjukan.
Setahun yang lalu saya pun berbincang-bincang tentang musik
hutan dengan Otto Sidharta (yang menggarap musik Htan Plastik).
Jadi pertunjukan ini merupakan pengumpulan berbagai pengalaman
saya, yang kemudian ternyata merupakan keprihatinan terhadap
satu soal, ialah hutan. Keprihatinan itulah sebenarnya yang
membuat kami menggali kemungkinan kemungkinan. Dan itu ternyata
membutuhkan banyak media: film, penulisan artikel, buku,
termasuk bekerja dan hidup dengan orang Kenyah. Pokoknya,
orientasi terhadap hidup sebagai sesuatu yang utuh, yang
melahirkan pertunjukan ini.
Tapi Anda hidup di Jakarta, semestinya orientasi pada Jakarta
itulah yang lebih menonjol.
Begini. Bagi saya Jakarta dan hutan Kalimantan itu telah menjadi
satu. Memang kenyataan hutan secara fisik saya lihat hanya
beberapa waktu. Tapi hutan sebagai gema kehidupan, ternyata
muncul dalam diri saya ketika Jakarta ditimpa kemarau panjang
dan sumur saya kering. Dan secara beruntun peristiwa itu
mengingatkan saya ketika saya di Iran - orang-orang sana dengan
sedih menuturkan bahwa gurun-gurun pasir mereka itu dulunya
adalah hutan belantara. Saya melihat hutan dalam satu konteks
yang amat luas.
Jadi apa sebenarnya makna kesenian bagi Anda?
Berkesenian itu sama dengan bila petani terus melatih instink
untuk menangkap perubahan musim. Seperti guru silat yang terus
berlatih meski ia tak harus bertarung melawan musuh. Seperti
guru sekolah yang terus mengajar meski muridnya yang pertama
telah menjadi menteri. Maksud saya orientasinya yang sama, ialah
peningkatan kualitas hidup manusia. Misalnya, kita tersentuh
oleh kisah orang yang mendarat di bulan pertama-tama bukan
karena soal manusia telah mampu menciptakan teknologi tinggi.
Tapi, pertama-tama adalah pertanyaan: bagaimana manusia itu
ketika berada di ruang angkasa luar, sepi, sendiri, dan melihat
bintang dari dekat.
Anda bertolak dari tradisi tari Jawa. Bekal apa yang Anda
peroleh untuk mendasari ciptaan Anda kini?
Mereka yang benar-benar menghayati seni tradisi, yang mana saja,
tahu, bahwa dalam seni tradisi bentuk bukanlah sesuatu yang
eksplisit. Tapi sesuatu yang terbuka. Maksud saya, terbuka untuk
menerima dan memberi. Jadi kebebasan yang ada. Dan untuk
mempertahankan kebebasan itu seniman tidak bisa memisahkan diri
dari arus kehidupan. Misalnya setelah saya mengenal film,
sebenarnya film itu sudah ada dalam konsep pertunjukan wayang.
Cuma secara fisik memang belum muncul, kan film termasuk
teknologi baru. Dari akar kesenian seperti itulah saya datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini