Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sardono melihat hutan

Wawancara dengan tempo sehubungan dengan pementasan hutan plastik. (ter)

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA onggokan plastik menggunung bergerak ke sana ke mari, kembang kempis bagaikan bernapas. Ada penari berkostum orang Dayak lengkap dengan mandau, berjingkat-jingkat. Lalu sejumlah penari wanita dengan ranting-ranting kering di punggungnya melenggak-lenggok. Muncul pula penari balet Jermandari grup terkenal Tanz Forum. Di layar belakang ditembakkan film tumbangnya pohon-pohon di hutan. Musik pun mengumandangkan rekaman suara-suara hutan yang diolah kembali dengan musik elektronik. Itulah suguhan Sardono W. Kusumo terbaru, Hutan Plastik, di Teater Arena Taman Ismail Maruki, 13-17 April ini. Tontonan yang katanya tidak bermula dari perencanaan-perencanaan. "Tapi bermula dari orientasi dan keprihatinan terhadap satu masalah," tutur yang empunya pertunJukan. Dan Jangan kaget, penonton dipersilakan duduk di lantai, karena semua kursi digusur ke luar. Masalah hutan, agaknya mulai tampak muncul dalam diri Sardono, ketika 1981 ia menjelajahi hutan Kalimantan, menelusuri jalur perpindahan Suku Dayak Kenyah. "Hutan ternyata bukan alam perkasa, tapi satu kesatuan yang rapuh," katanya. Mengapa ? Karena kekayaannya yang tinggal ambil saja itu, hutan dieksploatasi orang dengan rakus. "Jadi dibutuhkan campur tangan manusia yang mampu mengerti perilaku gerak kehidupan yang terjalin antara binatang, alam, dan manusia," lanjut Sardono, 38 tahun. Berikut wawancara TEMPO dengan pencipta tari yang antara lain telah menciptakan Samgita Pancasona (1968), Dongeng dari Dirah (1973), Yellow Submarine (1977) Ngrenaswara (1970), Metaekologi (1981), tentang Hutan Plastik ciptaannya yang mutakhir. Mengapa Anda menciptakan satu teater yang menggunakan banyak media: film, musik elektroakustik, gerak tari primitif dan balet modern, dan lain-lain? Orientasi masalahnya mengharuskan saya membuat teater seperti itu. Kalau saya berjalan di hutan Kalimantan, saya selalu membawa kamera, buku dan lain-lain. Dan itu semua bagi saya merupakan bagian dari lingkungan alam keseluruhannya, ya tubuh saya, ya alat-alat yang saya bawa dengan hutan tempat saya beralan. Lalu soal plastik, saya sendiri telah latihan dengan plastik kira-kira dua tahun yang lalu, tanpa ada rencana pertunjukan. Setahun yang lalu saya pun berbincang-bincang tentang musik hutan dengan Otto Sidharta (yang menggarap musik Htan Plastik). Jadi pertunjukan ini merupakan pengumpulan berbagai pengalaman saya, yang kemudian ternyata merupakan keprihatinan terhadap satu soal, ialah hutan. Keprihatinan itulah sebenarnya yang membuat kami menggali kemungkinan kemungkinan. Dan itu ternyata membutuhkan banyak media: film, penulisan artikel, buku, termasuk bekerja dan hidup dengan orang Kenyah. Pokoknya, orientasi terhadap hidup sebagai sesuatu yang utuh, yang melahirkan pertunjukan ini. Tapi Anda hidup di Jakarta, semestinya orientasi pada Jakarta itulah yang lebih menonjol. Begini. Bagi saya Jakarta dan hutan Kalimantan itu telah menjadi satu. Memang kenyataan hutan secara fisik saya lihat hanya beberapa waktu. Tapi hutan sebagai gema kehidupan, ternyata muncul dalam diri saya ketika Jakarta ditimpa kemarau panjang dan sumur saya kering. Dan secara beruntun peristiwa itu mengingatkan saya ketika saya di Iran - orang-orang sana dengan sedih menuturkan bahwa gurun-gurun pasir mereka itu dulunya adalah hutan belantara. Saya melihat hutan dalam satu konteks yang amat luas. Jadi apa sebenarnya makna kesenian bagi Anda? Berkesenian itu sama dengan bila petani terus melatih instink untuk menangkap perubahan musim. Seperti guru silat yang terus berlatih meski ia tak harus bertarung melawan musuh. Seperti guru sekolah yang terus mengajar meski muridnya yang pertama telah menjadi menteri. Maksud saya orientasinya yang sama, ialah peningkatan kualitas hidup manusia. Misalnya, kita tersentuh oleh kisah orang yang mendarat di bulan pertama-tama bukan karena soal manusia telah mampu menciptakan teknologi tinggi. Tapi, pertama-tama adalah pertanyaan: bagaimana manusia itu ketika berada di ruang angkasa luar, sepi, sendiri, dan melihat bintang dari dekat. Anda bertolak dari tradisi tari Jawa. Bekal apa yang Anda peroleh untuk mendasari ciptaan Anda kini? Mereka yang benar-benar menghayati seni tradisi, yang mana saja, tahu, bahwa dalam seni tradisi bentuk bukanlah sesuatu yang eksplisit. Tapi sesuatu yang terbuka. Maksud saya, terbuka untuk menerima dan memberi. Jadi kebebasan yang ada. Dan untuk mempertahankan kebebasan itu seniman tidak bisa memisahkan diri dari arus kehidupan. Misalnya setelah saya mengenal film, sebenarnya film itu sudah ada dalam konsep pertunjukan wayang. Cuma secara fisik memang belum muncul, kan film termasuk teknologi baru. Dari akar kesenian seperti itulah saya datang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus