Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Neraca perdagangan selama September mengalami surplus sebesar US$ 0,23 miliar dibanding pada Agustus. Meski begitu, neraca perdagangan selama periode Januari-September mengalami defisit sebesar US$ 3,78 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama September, nilai ekspor mencapai US$ 14,83 miliar atau turun 6,58 persen dibanding pada Agustus. Penurunan terjadi pada sektor nonmigas sebesar 5,6 persen dari US$ 14.439,3 juta menjadi US$ 13.620,8 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun impor tercatat sebesar US$ 14,60 miliar atau turun 13,18 persen dibanding pada Agustus 2018. Tapi, dibanding pada September 2017, impor pada tahun ini melonjak 14,18 persen.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai surplus neraca perdagangan selama September bersifat semu. Sebab, nilai ekspor dan impor sama-sama turun. Penurunan ekspor terjadi akibat dampak proteksi dagang India, khususnya ke produk CPO. Dia menambahkan, hingga kini harga sawit dan karet di pasar internasional masih rendah.
Selain itu, kata Bhima, perang dagang Amerika-Cina menyebabkan penurunan ekspor karena terjadi penurunan permintaan dari negara maju. "Hal itu bisa dilihat dari ekspor Indonesia ke Amerika, Jepang, dan Cina, yang semuanya turun masing-masing minus 6,9 persen, minus 10,11 persen, dan minus 8,66 persen dibanding pada Agustus," ujar dia kemarin.
Menurut Bhima, penurunan impor menjadi indikator adanya pelambatan permintaan setelah Lebaran. Hal itu bisa dilihat dari pertumbuhan sektor konsumsi yang stagnan di kisaran 5 persen selama semester pertama.
Mengenai kebijakan kenaikan tarif barang impor, Bhima belum melihat pengaruhnya. Begitu juga dengan kebijakan B20. Dia tidak melihat dampak signifikan dari kebijakan mandatori tersebut. "Tidak semua terminal BBM siap mencampur sawit dengan solar. Ini yang membuat terhambat," ujarnya.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik, Yunita Rusanti, mengatakan secara kumulatif nilai ekspor pada Januari-September 2018 mencapai US$ 134,99 miliar atau naik 9,41 persen dibanding periode yang sama 2017. Namun nilai impor kumulatif Januari-September tercatat sebesar US$ 138,768 atau naik 23 persen ketimbang periode yang sama tahun lalu.
Khusus impor migas, kata Yunita, BPS mencatat selama September turun 25,20 persen menjadi US$ 2,28 miliar dibanding bulan sebelumnya dan naik 17,75 persen dibanding September tahun lalu. Menurut dia, kebijakan penggunaan bahan bakar solar de-ngan campuran biodiesel 20 persen (B20) belum terlihat menekan impor.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Djoko Siswanto, menepis pernyataan BPS yang menyatakan bahwa B20 tidak berdampak pada penurunan impor migas. Dia mengatakan penurunan impor 25,2 persen sudah sesuai dengan misi mandatori B20. "Kalau ini dinilai tidak kelihatan berpengaruh atau signifikan, seharusnya tahu dong yang signifikan apa," ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan hasil positif neraca perdagangan pada September merupakan kinerja sektor nonmigas yang membaik. Ia melihat penurunan impor bulan ini merupakan dampak kebijakan menaikkan tarif 1.147 barang impor masuk.
Meski aspek migas masih tercatat negatif, Sri Mulyani berharap dengan adanya penerapan B20 bisa menurunkan konsumsi migas. "Sehingga, nanti akhir tahun bisa tercapai positif. Tapi trennya sudah benar, meski rate-nya harus akselerasi lebih cepat," ujarnya. FRISKI RIANA | FAJAR PEBRIANTO | LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo