Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Di Mana Tu(h)an?

5 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Qaris Tajudin*

Bulan lalu saya Jumatan di sebuah masjid dengan nama yang cukup indah, Taman Ibadah. Agak jarang tempat ibadah umat Islam memakai nama dari bahasa Indonesia. Hampir semua masjid memakai nama dari bahasa Arab, seperti At-Taqwa (nama paling banyak dipakai untuk masjid Muhammadiyah), Al-Muhajirin (biasanya di kompleks perumahan, karena berarti orang-orang yang pindah), dan Masjid Al-Qithaar (artinya kereta api, karena terletak di dekat stasiun di Surabaya).

Khatib berkhotbah tentang keimanan dan kepatuhan kepada Tuhan. Tapi, sepanjang ceramah, dia sama sekali tidak menyebut kata Tuhan. Ini bukan pertama kali saya mendengar ceramah dari seorang mubalig yang alergi pada kata Tuhan. Dan alasan yang saya dengar dari mereka yang menolak menyebut Tuhan ini agak aneh: "Seharusnya kita menyebut Allah, bukan Tuhan. Karena Tuhan itu bisa berarti banyak, sedangkan Allah hanya satu." Agak ganjil. Bukankah, dalam iman tauhid, Tuhan itu hanya satu? Artinya, kita tak perlu khawatir akan tertukar oleh Tuhan lain saat menyebut kata Tuhan.

Lalu apa yang mereka pakai untuk menyebut Tuhan? Robb. Ini, tentu saja, bahasa Arab. Mereka menganggap dengan memakai kata ini mereka terdengar lebih islami. Padahal mereka hanya terdengar lebih Arab, karena di negara Arab nun di sana kata ini juga dipakai oleh penganut agama lain untuk menyebut Tuhan.

Robb secara tekstual bisa berarti Tuhan atau tuan. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan lord. Lord, selain dipakai untuk memanggil dan menyebut Tuhan, makna awalnya adalah tuan. Artinya, dalam kedua bahasa itu, kata tuan dan Tuhan bisa diwakili oleh satu kata. Ada sifat Tuhan—sebagai Penguasa (alam semesta)—yang bisa membuat-Nya disebut Tuan/Robb/Lord. Dan, kalau kita mau menelusuri kata Tuhan dan tuan, kita sampai pada kesimpulan bahwa keduanya berasal dari satu kata.

Penyair Sapardi Djoko Damono pernah "bermain-main" dengan tuan dan Tuhan dalam puisinya, Tuan. Dalam puisi itu, Sapardi berkata begini: "Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar/saya sedang keluar." Kata tuan dalam puisi Sapardi itu berarti Anda. Pemakaian kata tuan untuk menyapa pria lain sudah lama hilang di negeri ini. Tuan mengikuti jejak puan, yang sudah "musnah" lebih dulu. Kini kita lebih senang memakai kata bapak untuk menyebut seorang pria secara formal.

Mungkin dimaksudkan untuk lebih mengakrabkan diri, tapi jelas ini ada pengaruh Jawa yang kuat. Peran Orde Baru, yang dipimpin Soeharto, juga dominan dalam sebutan yang kemudian menjadi terminologi umum. Sebelum 1960-an, kata tuan masih digunakan secara umum. Setelah mendapat penjelasan dari Sutan Sjahrir tentang kekosongan kekuasaan sesudah kekalahan Jepang, Sukarni berkata, "Oh, ya, mengerti maksud Tuan. Terima kasih atas penjelasannya, Tuan."

Perihal sejarah kata tuan dan Tuhan sebetulnya pernah disebut dalam Ensiklopedi Populer Gereja, yang disusun oleh Adolf Heuken, SJ. Dalam ensiklopedia itu disebutkan bahwa, "Arti kata Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu tuan yang berarti atasan/penguasa/pemilik." Kalau memang demikian, kenapa huruf "h" bisa muncul dan tenggelam pada kedua kata itu?

Muncul dan tenggelamnya huruf "h" sebenarnya fenomena umum dalam bahasa Indonesia. Kita bisa menjumpainya dalam kata yang memiliki akar sama. Misalnya kata sahaya. Kata ini memang bisa berarti hamba. Tapi, seperti hamba, sahaya bisa berarti saya. Pembuangan huruf "h" kerap diikuti dengan pembuangan satu huruf "a" yang muncul ganda karena pembuangan itu. Dari rumus itulah kemudian lahir kata seperti basa dan bahasa, baru-baharu, garu-gaharu, dan saja-sahaja.

Dalam bahasa Indonesia mutakhir, kita cenderung memakai kata yang tanpa "h". Huruf "h" dihilangkan karena kurang ekonomis, lantaran dalam pengucapannya kita kerap menghilangkan bunyi huruf itu. Dari sedikit kata yang huruf "h"-nya masih dipertahankan meski tidak diucapkan adalah kata tahu (mengerti), yang sebenarnya dibaca tau, tanpa "h". Di Malaysia masih ada kata mahu (suka akan), sedangkan di Indonesia ditulis mau.

Penghilangan huruf "h" ini mirip dengan penghilangan huruf "k" di akhir kata. Misalkan pada kata bapak. Sebenarnya bapak dan bapa memiliki arti yang sama, yaitu ayah atau orang tua laki-laki. Tapi, pada pemakaiannya, bapak sering dipakai untuk ayah dan bapa (tanpa "k") untuk Tuhan, Bapa di Surga. Atau bisa juga untuk menyebut pastor.

Permasalahan pembuangan atau penambahan satu huruf ini adalah fenomena biasa yang tidak seharusnya membuat kita membuang Tuhan dari kosakata kita dan menggantinya dengan kata dari bahasa Arab yang berarti sama.

*) wartawan Tempo, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus