Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG pertemuan di lantai dua gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis sore pekan lalu, riuh rendah oleh teriakan dukungan. Ratusan pria berjenggot dan berbaju gamis, rata rata anggota Forum Umat Islam—penyelenggara diskusi hari itu—langsung bersorak setuju setiap kali pembicara mengeluarkan pernyataan bernada kritis tentang polisi. Di latar belakang, sebuah spanduk bergambar Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji berkopiah hitam terpampang dengan tulisan besar besar: ”Susno Disayang, Susno Ditendang”.
Tempik sorak mereka membuat diskusi hari itu lebih mirip ajang pernyataan dukungan. ”Jarang sekali ada polisi yang antikorupsi dan juga antimaksiat seperti Pak Susno,” puji KH Muhammad al Khathath, Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam, di awal acara.
Susno tampil penuh percaya diri. ”Saya ini ibarat striker dalam permainan sepak bola,” kata mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri ini tatkala tiba gilirannya bicara. Ketika bersaksi dalam persidangan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, Januari lalu, Susno mengaku ”sudah menendang bola sampai 12 meter di muka gawang”.
Dua pekan berikutnya, ketika diundang panitia angket pengusutan bailout Bank Century untuk bicara di Senayan, Susno sesumbar, ”Sudah memasang bola persis di depan gawang.” Namun, sambil tersenyum geli, dia mengaku semua ”umpan matang” nya itu tidak disambar pemain lain. ”Semua orang malah sibuk memeriksa bolanya buatan siapa, bahannya apa, mereknya apa....”
Karena itulah, dua pekan lalu, Susno menendang bola panas berikutnya: permainan makelar kasus dalam penanganan perkara korupsi Gayus Tambunan, pegawai rendahan Direktorat Pajak yang menggelapkan Rp 28 miliar. ”Kalau yang ini tidak gol juga, penonton bisa kecewa,” katanya, disambut riuh keplok dukungan.
Susno, sang striker, memang punya banyak stok bola liar. Kabarnya, setumpuk dokumen dan rekaman suara mengenai berbagai kasus penting di negeri ini sudah disimpan Susno dalam tiga brankas, sesaat sebelum dia dicopot dari posisinya, akhir November lalu. Ditanya berkali kali, Susno enggan mengungkapkan ”amunisi” apa lagi yang masih dia simpan. ”Ini nuklir semua, cukup dipakai sekali sekali,” katanya enteng.
Kini ”nuklir” pertama Susno sudah berhasil mengguncang Trunojoyo. Dua perwira tinggi: Brigjen Edmon Ilyas dan Brigjen Raja Erizman, diperiksa tim independen bentukan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Edmon bahkan dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda Lampung. Ibarat permainan sepak bola, Susno sudah berhasil membuat ”kemelut di muka gawang”. Gol macam apa yang diincar Susno?
Rabu pekan lalu, kuasa hukum Susno, Efran Helmi, menegaskan sepak terjang Susno tak lepas dari usaha kliennya menghindari ancaman pemecatan. Susno memang sudah dua kali diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. ”Kami melihat ada desain agar Pak Susno sudah diberhentikan secara tidak hormat sebelum Oktober 2010,” katanya. Mengapa harus Oktober? Efran berbisik, ”Saat itu akan ada agenda besar: pergantian pimpinan Polri.”
AKHIR Januari 2008 akan selalu dikenang Susno Duadji sebagai momen menentukan dalam kariernya sebagai polisi: Kapolri Jenderal Sutanto melantiknya menjadi Kapolda Jawa Barat. Tak banyak orang yang tahu siapa Susno ketika itu. Pelantikannya pun tak banyak diliput media, kalah pamor dengan Komisaris Besar Rumiah yang saat itu diangkat menjadi Kapolda perempuan pertama di Indonesia.
”Padahal pelantikan Susno itu luar biasa. Dia sudah empat tahun berkarier di luar kepolisian, tiba tiba saja dibawa masuk lagi oleh Sutanto,” kata Ketua Presidium Indonesian Police Watch Neta S. Pane, Kamis pekan lalu. Sejak 2004, Susno adalah Deputi Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Kebijakan tak lazim Sutanto itu, menurut Neta, mengindikasikan keistimewaan Susno. ”Biasanya, perwira yang ditempatkan di luar kepolisian sudah habis kariernya.”
Di bumi Pasundan, Susno langsung membuat gebrakan. Sepekan setelah dilantik, dia mengumpulkan semua perwira di Polda Jawa Barat untuk menandatangani pakta integritas. Dia juga minta semua bawahannya meninggalkan budaya pungutan liar. ”Saya tidak takut kehabisan anggota saya di Polda Jawa Barat jika semua dipecat karena korupsi,” katanya dalam satu wawancara dengan media lokal di Bandung.
Warga pun jatuh cinta. ”Sejak zaman Pak Susno, di Bandung polisi tidak pernah lagi nyetop mobil untuk ditilang,” kata Achmad Setiyaji, mantan Redaktur Senior Harian Umum Pikiran Rakyat, yang kini aktif menggalang dukungan untuk Susno Duadji. Achmad adalah penulis buku Mereka Menuduh Saya, yang berisi penjelasan versi Susno mengenai kasus kontroversial seputar dirinya.
Sembilan bulan di Jawa Barat, pada September 2008, mendadak Susno dipanggil ke Jakarta. Kapolri Jenderal Sutanto akan pensiun dan Susno diminta menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal—sebuah posisi prestisius yang biasanya diisi calon pemimpin Polri. ”Ini juga tidak lazim,” kata Neta. ”Biasanya posisi Kabareskrim diisi orang dalam,” katanya. Kepala Badan sebelumnya, Bambang Hendarso Danuri, bakal menjadi Kapolri baru.
Sumber Tempo yang dekat dengan Susno menuturkan ada peristiwa menarik sebelum jenderal kelahiran Pagar Alam, 56 tahun silam itu, dilantik menjadi Kepala Badan Reserse. ”Pada saat itu Sutanto sempat berpesan agar Susno membereskan Bareskrim dulu, baru kemudian seluruh kepolisian,” katanya. Pesan inilah yang kemudian ditafsirkan Susno sebagai restu Sutanto untuk pencalonan Susno kelak menjadi Kapolri. Saat dimintai konfirmasi, Susno membenarkan. ”Saya memang orangnya Pak Tanto,” katanya.
Sejak itu, sebagai orang ketiga di pucuk pimpinan kepolisian, Susno punya kans besar menggantikan Bambang Hendarso. Mengingat usia, Bambang harus pensiun pada Oktober 2010. ”Kalau dia duduk manis saja mengerjakan apa yang jadi porsinya, Susno sebenarnya punya peluang,” kata Hermawan Sulistyo, profesor riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang aktif mengajar di Sekolah Perwira Tinggi Kepolisian di Lembang, Jawa Barat. ”Sayangnya, dia memilih jadi bola liar.”
Hermawan meragukan klaim Susno tentang kedekatannya dengan Sutanto. ”Saya tidak pernah dengar bahwa Susno disiapkan khusus untuk jadi Kapolri,” katanya. Di antara perwira tinggi Angkatan 1977 yang kini masuk bursa pencalonan Kapolri, kata Hermawan, nama Susno kalah mencorong dibanding perwira tinggi lain misalnya Komisaris Jenderal Ito Sumardi. Kabareskrim pengganti Susno ini disebut sebut lebih berpeluang menjadi Tri Brata Satu—sandi untuk menyebut posisi Kapolri.
PERSAINGAN menuju tampuk pimpinan Polri memang selalu melibatkan intrik dan saling jegal. ”Sejak zaman dulu selalu begitu,” kata Komisaris Besar (Purn.) Bambang Widodo Umar. Mantan polisi yang kini mengajar di Universitas Indonesia ini adalah saksi sejarah persaingan Jenderal Bimantoro dan Komisaris Jenderal Chaerudin Ismail, yang berebut posisi Kapolri sembilan tahun lalu.
”Setiap menjelang pergantian, para jenderal yang merasa berpeluang biasanya sudah membentuk tim sukses masing masing,” katanya. Tim ini bertugas menyebarkan berita baik mengenai jagoannya. Mereka bisa berasal dari mantan atasan, ajudan pribadi yang setia, atau kerabat. ”Tim ini yang aktif mendekati partai di parlemen dan orang orang di sekitar Presiden,” kata Bambang.
Selain berpromosi, tim sukses kandidata punya misi menjatuhkan pesaing. Tak mengherankan jika surat kaleng dan pesan pendek berisi kabar burung biasanya beredar pada bulan bulan akhir kepemimpinan seorang Kapolri. ”Satu kali, ada calon Kapolri yang sudah disetujui Presiden batal dilantik karena muncul surat kaleng tentang pernikahannya yang kedua,” kata Bambang tertawa.
Tak hanya soal rumah tangga, kasus korupsi juga biasanya terbongkar pada momen momen penentuan seperti itu. Pada Juli 2001, misalnya, di puncak persaingan Bimantoro vs Chaerudin, merebak kasus dugaan suap Bimantoro dalam proyek pengadaan kapal patroli polisi senilai Rp 300 miliar. Dia dituding melakukan penunjukan langsung, menyalahi prosedur baku dalam penentuan pemenang tender. Dokumen mengenai kasus ini diam diam dikirim ke meja redaksi sejumlah media. ”Polanya memang selalu begitu,” kata Hermawan Sulistyo. ”Diam diam para perwira tinggi akan saling sodok,” katanya.
Kompetisi tahun ini pun diprediksi tak akan jauh berbeda. Manuver Susno mengungkap kasus Gayus baru babak pemanasan. Apalagi sekarang bursa pimpinan Polri sudah ramai. Sedikitnya ada empat nama lain yang disebut sebut berpeluang. ”Kompetisi makin panas karena Kapolri membiarkan semua calon bersaing terbuka,” kata Hermawan Sulistyo. Mengingat usia pensiun dan pangkatnya saat ini, dia menilai persaingan akan terjadi antarperwira tinggi dari angkatan 1977 sampai 1980. Dari angkatan 1976, kata Hermawan, Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Gories Mere juga punya peluang.
Selain Susno Duadji, calon kuat dari angkatan 1977 adalah Komisaris Jenderal Ito Sumardi. Dari angkatan 1978, ada nama seperti Inspektur Pengawasan Umum Komisaris Jenderal Nanan Soekarna, Kapolda Sumatera Utara Irjen Oegroseno, dan Kapolda Jawa Barat Irjen Timur Pradopo. Angkatan termuda yang bersaing, angkatan 1980, punya calon seperti Kepala Korps Brimob Irjen Imam Soedjarwo.
Neta S. Pane punya pandangan lain. Menurut dia saringan pertama calon Kapolri adalah pangkatnya. ”Biasanya jenderal berbintang tiga yang punya peluang,” katanya. Saringan berikutnya adalah sisa masa jabatan aktif sebelum pensiun. Dari stok komisaris jenderal yang ada saat ini, kata Neta, hanya Nanan Soekarna (pensiun pada Juli 2013) dan Susno (Juli 2012) yang paling berpeluang. ”Semua calon lain sudah harus pensiun pada 2011,” katanya.
Pertarungan pertama para calon ini akan terjadi di Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi. Dewan inilah yang menggodok nama nama calon Kapolri yang akan diusulkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain Kapolri, anggota Dewan ini adalah Wakil Kepala Polri Komjen Yusuf Manggabarani, Inspektur Pengawasan Umum Komjen Nanan Soekarna, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Irjen Budi Gunawan, dan Kepala Divisi Sumber Daya Manusia Irjen Edy Soenarno. ”Kalau ada satu orang saja yang menolak seorang kandidat, biasanya calon itu terpental,” kata Hermawan.
Bambang Widodo Umar mengingatkan, saling sodok antar tim sukses bakal makin ramai menjelang rapat rapat Dewan Kepangkatan. Ikatan kesukuan dan agama kadang jadi isu sensitif. ”Pokoknya, tiap kali pergantian Kapolri, aroma perkoncoan selalu terasa kental,” kata Komisaris Besar (Purn.) Parlindungan Sinaga—mantan perwira menengah yang ditangkap pada 2001 karena mendukung Jenderal Chaerudin Ismail menjadi Kapolri.
DALAM lebih dari satu kesempatan, Susno Duadji berkali kali melontarkan keinginannya menjadi Kapolri. ”Dia siap menandatangani kontrak politik, untuk mundur jika dalam enam bulan gagal membersihkan polisi,” kata satu orang dekat Susno, pekan lalu. Achmad Setiyaji, pendukung utamanya di Jawa Barat, membenarkan. ”Pak Susno merasa terpanggil untuk membenahi Polri,” katanya.
Meski berambisi, Susno tahu persis nasibnya kini di ujung tanduk. Masa depan kariernya di kepolisian amat bergantung pada keberhasilannya merangkul publik dan memperbaiki citranya yang ternoda dalam kasus cicak versus buaya—perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan polisi. Karena itulah, Susno ganti strategi: kini ia mengaku orang baik yang tidak mencari posisi. ”Saya tidak ingin jabatan. Kalau hari ini dilantik jadi Kapolri, akan saya tolak,” katanya tegas di akhir diskusi Forum Umat Islam, pekan lalu.
Meski begitu, toh gerilya berlanjut. Susno terus merangkul seteru lama dan memelihara basis dukungan publik. Beberapa kali, ayah dua anak ini bertemu dengan para aktivis LSM yang dulu kencang menyerangnya. Somasi yang pernah dikirim ke Kombes (Purn.) Bambang Widodo Umar, yang mengkritiknya di sebuah media, dicabut. ”Bahkan saya diundang makan malam dan diskusi di sebuah hotel,” kata Bambang Widodo.
Selain itu, dengan bantuan Achmad Setiyaji, Susno terus memperbesar basis dukungannya di Jawa Barat. ”Saya sering mengajak dia berkeliling menemui aktivis, akademisi, dan ulama,” kata Achmad. Para pendukung Susno kerap berkumpul di Masjid Al Ma’soem, Cileunyi, dan di kediaman pengusaha Haji Nanang Iskandar Ma’soem, di Bandung Tengah.
Kampung halamannya di Sumatera juga tak lupa digarap. Pada Idul Adha tahun lalu, Susno pulang ke Pagar Alam, Palembang. ”Padahal dia termasuk jarang pulang kampung,” kata adiknya, Hardi Duadji. Di sana Susno berkurban seekor sapi.
Ada gula, ada semut. Sedikit demi sedikit, dukungan untuk Susno membukit. Ketika ia meninggalkan diskusi di gedung YTKI, Kamis pekan lalu, Sekjen Forum Umat Islam, Al Khathath, tiba tiba berteriak, ”Kalau Pak Susno ditahan, siapa mau ikut ditahan?” Ratusan tangan mengacung ke udara, disusul takbir sahut menyahut.
Wahyu Dhyatmika (Jakarta), Ahmad Fikri (Bandung), Arif Ardiansyah (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo