Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEOLAH meniti pinggiran jurang, begitulah para petinggi kepolisian hari hari ini. Batu terjal menghadang di sana sini, antara lain berwujud skandal Gayus Halomoan Tambunan. Dialah makelar kasus pajak yang menimbun uang Rp 28 miliar, pucuk gunung es rangkaian aksi korup yang diduga melibatkan para jenderal polisi.
Baku gertak bergema di Jalan Trunojoyo, Jakarta, Markas Besar Kepolisian RI. Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal, dan koleganya sesama jenderal saling ancam membuka borok. Bagus, situasi ini bisa menjadi titik balik menuju perbaikan. Inilah momentum bagi reformasi kepolisian secara menyeluruh.
Jamak terdengar bahwa perilaku korup di lembaga kepolisian sudah berurat berakar sejak dulu. Mencari polisi bersih tak ubahnya mencari jarum di tumpukan jerami. Ingat seloroh yang beredar di masyarakat: tak ada polisi jujur selain mantan Kepala Polri Hoegeng dan ”polisi tidur”. Polisi bahkan bisa menjadi penjaga, sekaligus pelanggar hukum dan ketertiban.
Contoh paling fenomenal adalah Departemen Kepolisian New York, Amerika Serikat, pada dekade 1950 1960. Aura korup begitu kental. Ada polisi kelas ”pemakan rumput” yang mengutip upeti lima dolar dari sopir truk, penjudi, muncikari, dan pengedar narkoba. Kelas yang lebih serius adalah polisi ”pemakan daging” yang mengakali sistem dan memeras para pelaku tindak kriminal.
Puncaknya, kepercayaan masyarakat rontok. Kekacauan di mana mana. Law and order menjadi slogan mati. Pada 1970, Presiden Richard Nixon membentuk Komisi Knapp. Lima tokoh kredibel, diketuai pengacara Whitman Knapp, ditugasi memerangi polisi korup. Pembersihan besar besaran digelar. Wajah kepolisian Amerika berubah sejak itu. Perilaku korupsi tak lagi dianggap pelanggaran enteng.
Reformasi di tubuh kepolisian negeri ini pun bukan ikhtiar kemarin sore. Langkah pembenahan sudah digelar sejak pemisahan Polri dari Tentara Nasional Indonesia, sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/2000. Berbagai hal yang berbau militer telah diubah dan diperbaiki hingga lebih berorientasi pada hak asasi manusia.
Sayangnya, selama sepuluh tahun ini reformasi baru bergerak di aras permukaan. Watak militeristik yang terpusat dengan birokrasi tertutup masih melekat di institusi hamba wet. Pola relasi rantai komando atasan bawahan tampak nyata ketika pemimpin Polri dengan defensif menanggapi Komisaris Jenderal Susno Duadji. Alih alih mengambil tindakan bersih bersih, buka bukaan ala Susno justru direspons dengan menyudutkan si pembuka aib—walaupun Susno belum tentu ”putih bersih” dari berbagai kasus.
Sepuluh tahun reformasi Polri juga belum sanggup mengusik permasalahan utama. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang masih sekuat belitan benalu. Rantai pengait polisi dengan cukong, baik pengusaha maupun birokrat, masih terjalin kuat. Gelontoran duit dari para cukong inilah yang menopang kebutuhan operasional dan melumasi gaya hidup mewah para jenderal.
Anggaran yang mepet kerap dituding sebagai biang keladi. Kue belanja kepolisian memang sudah digenjot hingga saat ini mencapai Rp 27 triliun. Tapi pos untuk penyelidikan perkara hanya 0,59 persen atau sekitar Rp 159,3 miliar—dipakai untuk ratusan ribu perkara dari Sabang sampai Merauke. Bisa dibayangkan betapa rendah kualitas penyelidikan dengan dana yang mepet, berhadapan dengan iming iming banjir duit dari pihak yang beperkara.
Kondisi ini diperparah oleh pengawasan eksternal yang tidak efektif. Badan legislatif, payahnya, justru kerap menjadi bagian dari persoalan. Komisi Kepolisian Nasional juga tak diberi kewenangan memadai. Komisi ini semula berhak menonaktifkan dan memperkarakan polisi yang dianggap bermasalah. Tapi kewenangan ini dipangkas. Komisi hanya boleh memberikan masukan yang tidak mengikat. Walhasil, problem kepolisian cenderung dilokalisasi dalam lingkup internal.
Ketertutupan itu juga yang kini terjadi. Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso menunjuk bawahannya, Inspektur Jenderal Mathius Salempang, untuk membereskan gonjang ganjing yang dipicu Susno Gayus. Betapapun bagus integritas Mathius Salempang, bisa dipastikan sang jenderal kesulitan memangkas korupsi yang sudah mengakar di tubuh kepolisian.
Restorasi lembaga kepolisian menuntut komitmen politik yang kuat dan tak cukup dilakukan secara internal. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak boleh ragu mengambil langkah berani. Jurus komisi independen, seperti halnya Knapp di New York, bisa ditiru. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bersama Komisi Kepolisian Nasional bisa diberdayakan semaksimal mungkin untuk tugas berat ini.
Otoritas dan payung hukum komisi yang ditugasi membenahi lembaga kepolisian mesti jelas. Maklum, bersih bersih ini bakal mengenai tokoh tokoh penting. Perlawanan dan resistansi bakal muncul di sana sini. ”Perang bintang” yang mengguncang Trunojoyo bukan mustahil bisa merembet ke instansi pemerintahan lain.
Kepolisian kini berada dalam kondisi gering digerogoti kanker korupsi stadium terminal. Kewibawaan hukum menjadi taruhan jika bersih bersih di tubuh Polri tidak segera dilakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo