Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKTI komunikasi Idrus Marham dengan Eni Maulani Saragih dan Johannes Budisutrisno Kotjo dipaparkan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dalam gelar perkara kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 pada Selasa pekan lalu. Komunikasi dalam bentuk percakapan telepon dan pesan WhatsApp itu terjadi pada kurun November-Desember 2017. Idrus saat itu pelaksana tugas Ketua Umum Golkar. Sedangkan Eni adalah Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat dari Golkar dan Johannes pemilik BlackGold Asia Resources Pte Ltd.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam gelar perkara di ruang rapat pimpinan di lantai 15 gedung KPK itu, penyidik mengungkap bukti penting keterlibatan Idrus. Bukti tersebut berupa rekaman komunikasi dan pesan WhatsApp Johannes kepada Eni dan Idrus perihal janji fee US$ 1,5 juta jika perusahaannya segera menekan kontrak PLTU Riau-1. Di bagian lain, penyidik menunjukkan pesan Johannes kepada Eni yang menyebut adanya aliran dana US$ 50 ribu untuk Idrus. Semua percakapan itu terekam dalam telepon seluler ketiganya yang disita KPK pada Juli lalu. Pada ujung gelar perkara, tim satuan tugas yang dipimpin Ambarita Damanik ini mengusulkan Idrus sebagai tersangka. Peserta gelar pun menyetujui usul itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua KPK Agus Rahardjo dan wakilnya, Laode Muhammad Syarif, membenarkan kabar bahwa penetapan Idrus sebagai tersangka diputuskan pada Selasa pekan lalu. Keduanya juga tidak menyangkal info bahwa percakapan ketiga orang itu menjadi bukti penting keterlibatan Idrus. Juga sejumlah pertemuan mereka di beberapa tempat di Jakarta. "Detailnya masih akan didalami," ujar Syarif.
Pengacara Eni Saragih, Fadli Nasution, mengatakan kliennya memang pernah diperiksa penyidik KPK tentang percakapan telepon dan WhatsApp dengan Johannes dan Idrus. "Klien saya kooperatif mengungkapkan semua percakapan itu ke penyidik KPK dan siap menjadi justice collaborator," ujar Fadli pada Jumat pekan lalu. Penyidik setidaknya sudah dua kali memeriksa Johannes. Tapi, setelah diperiksa, ia selalu bungkam saat ditanyai soal perkaranya.
Malam hari setelah gelar perkara, Ketua KPK Agus Rahardjo meneken surat perintah penyidikan Idrus. Karena besoknya hari libur Idul Adha, komisi antikorupsi baru mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Idrus pada Kamis pekan lalu. Berbekal surat inilah keesokan harinya Idrus menghadap Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan pengunduran dirinya sebagai Menteri Sosial. "Namanya penyidikan pasti tersangka," kata Idrus. Empat jam kemudian, Jokowi melantik kolega Idrus di Golkar, Agus Gumiwang Kartasasmita, sebagai Menteri Sosial.
Sebelum berstatus tersangka, Idrus menjalani tiga kali pemeriksaan sebagai saksi. Ia tidak menyangkal diperiksa soal pertemuan dan komunikasinya dengan Eni dan Johannes. Termasuk apakah dia mengetahui aliran suap dari Johannes ke Eni. Idrus mengatakan sudah menganggap Eni seperti adiknya. "Eni panggil saya ‘Abang’, saya panggil dia ‘Dinda’," ucapnya. Idrus juga mengaku berkawan lama dengan Johannes. "Dia panggil saya ‘Abang," ujarnya.
KPK semula berencana mengumumkan penetapan Idrus sebagai tersangka pada Jumat pagi pekan lalu, tapi kemudian diundurkan ke malam harinya. Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Idrus berperan mendorong Eni menerima suap dari Johannes Rp 4 miliar pada November dan Desember 2017 serta Rp 2,2 miliar pada Maret dan Juni 2018. Idrus juga diduga telah menerima janji US$ 1,5 juta dari Johannes jika perusahaannya, PT Samantaka Batubara, yang merupakan anak usaha BlackGold, meneken kontrak purchase power agreement (PPA) dengan PT Perusahaan Listrik Negara. Penerimaan janji itu, menurut Basaria, disampaikan saat Idrus menjadi pelaksana tugas Ketua Umum Golkar. "US$ 1,5 juta dijanjikan JBK (Johannes Budisutrisno Kotjo) apabila PPA PLTU Riau-1 berhasil," tuturnya.
Idrus menjadi tersangka ketiga dalam proyek PLTU mulut tambang berkapasitas 2 x 300 megawatt senilai US$ 900 juta atau sekitar Rp 12,78 triliun ini. Adapun Eni dan Johannes menjadi tersangka setelah penyidik KPK menggelar operasi penangkapan karena keduanya melakukan transaksi suap Rp 500 juta. Suap itu diberikan agar Eni membantu memuluskan perusahaan Johannes mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Setelah menggulung Johannes di kantornya di Graha BIP, Jakarta Selatan, penyidik mencokok Eni di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham di kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan. Saat itu, Idrus tengah menggelar acara ulang tahun anak bontotnya.
Basaria menyebutkan Johannes sudah menggelontorkan duit kepada Eni Rp 6,7 miliar sejak November 2017 hingga Juli lalu. Duit suap itu bagian dari commitment fee 2,5 persen atau sekitar Rp 300 miliar dari nilai proyek yang dikelola Johannes dan diduga akan dibagikan tidak hanya untuk Eni. Saat menggeledah kantor Johannes, penyidik menyita duit Rp 10 miliar yang diduga akan dibagi-bagikan ke sejumlah pihak terkait sebagai upaya memuluskan proyek PLTU Riau-1.
Karena kasus tersebut, PLN menghentikan sementara proyek yang berlokasi di Kecamatan Peranap, Indragiri Hulu, Riau, ini, yang jaraknya 20 kilometer dari area tambang PT Samantaka Batubara. "Dihentikan sementara sampai selesai kasus hukumnya," ujar Direktur Utama PLN Sofyan Basir.
IDRUS Marham berurusan dengan proyek PLTU Riau-1 ketika ia menjadi pelaksana tugas Ketua Umum Golkar menggantikan Setya Novanto, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik. Saat diperiksa sebagai saksi untuk Johannes pada pertengahan Agustus lalu, Eni mengungkapkan Idrus menggantikan Setya sebagai orang yang bertanggung jawab "mengamankan" proyek pembangkit di Sumatera yang menjadi jatah Partai Golkar. Selain PLTU Riau-1, ada proyek PLTU Mulut Tambang Jambi 1 dan 2, yang saat ini dalam proses kesepakatan kontrak dengan mitra konsorsium. Pengacara Eni, Fadli Nasution, tidak menyangkal keterangan kliennya ini. "Klien saya hanya menjalankan penugasan atasannya di partai," katanya.
Seorang penegak hukum menyebutkan, sejak 2015, BlackGold diduga sudah mengetahui rencana pembangunan PLTU Riau-1. Pada akhir Desember 2015, jauh sebelum proyek itu masuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, BlackGold sudah menggandeng China Huadian Engineering Co Ltd untuk mengincar proyek tersebut.
Kepada penyidik yang memeriksanya, Eni mengatakan mendapat penugasan dari Setya, yang saat itu Ketua Fraksi Golkar DPR dan Ketua Umum Partai Golkar, untuk "mengamankan" proyek ini karena kapasitasnya sebagai mitra kerja dengan PLN. Ia juga kenal dengan Direktur PLN Sofyan Basir. Menurut Basaria Panjaitan, Johannes menjanjikan fee 2,5 persen dari nilai proyek untuk orang-orang yang membantu memuluskan proyek tersebut setelah kontrak diteken. "Commitment fee itu untuk EMS (Eni Maulani Saragih) dan kawan-kawan," ujarnya.
Pada pertengahan 2016, Setya memperkenalkan Eni dengan sahabat lamanya, Johannes. Setya dan Johannes sempat berkongsi dalam proyek pembuatan surat izin mengemudi di Markas Besar Kepolisian RI pada 1992. Pengacara Setya, Maqdir Ismail, mengatakan kliennya tidak pernah bercerita soal kedekatan dengan Johannes.
Peran Setya mendorong perusahaan Johannes mendapat proyek PLTU Riau-1 kemudian diambil alih Idrus. Menurut Eni kepada penyidik, ia melaporkan setiap upayanya memuluskan PT Samantaka Batubara agar mendapat proyek bagian program pembangkit 35 ribu megawatt itu kepada Idrus. Eni aktif bergerilya melobi PLN agar konsorsium BlackGold mendapat proyek tersebut. Hingga akhirnya, pada 15 September 2017, konsorsium BlackGold dan China Huadian Engineering meneken perjanjian awal (head of agreement) pembentukan perusahaan patungan untuk proyek PLTU Riau-1. Selain menugasi PT Pembangkitan Jawa-Bali, PLN menugasi anak usaha yang lain, PT PLN Batubara, terlibat dalam proyek ini.
Karena berhasil membawa BlackGold meneken perjanjian awal, Eni lantas meminta uang kepada Johannes sebagai kasbon dari fee yang telah dijanjikan. Menurut Basaria, Eni menerima duit Rp 4 miliar dari Johannes selama kurun November hingga Desember 2017. Idrus, menurut Basaria, yang mendorong Eni menerima suap tersebut.
Eni dan Johannes mengungkap peruntukan dana itu saat diperiksa penyidik KPK pada akhir Juli lalu. Keduanya mengungkapkan, dari jumlah itu, Rp 2 miliar diperuntukkan buat membiayai Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar di Jakarta pada 19-20 Desember 2017. Perhelatan ini merupakan tanggung jawab Idrus sebagai pelaksana tugas Ketua Umum Golkar.
Bukan hanya itu, dari pengakuan Eni dan Johannes serta bukti percakapan pesan WhatsApp keduanya, KPK mendapat informasi bahwa Idrus menerima komisi US$ 50 ribu dari Johannes. Duit ini bagian dari Rp 4 miliar yang diberikan Johannes kepada Eni. Dalam pesan WhatsApp, Johannes menulis bahwa US$ 50 ribu khusus buat komisi "Abang" Idrus. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan lembaganya tengah memelototi peruntukan dana tersebut. "Detailnya masih didalami," ujarnya.
Bukan hanya itu, KPK juga mengantongi bukti komunikasi telepon dan pesan WhatsApp antara Idrus, Eni, dan Johannes tentang janji fee US$ 1,5 juta jika perusahaan Johannes segera menekan kontrak PLTU Riau-1. Komunikasi ketiganya itu tertangkap radar KPK pada kurun November-Desember 2017. Johannes menjanjikan itu karena PLN ngotot tidak mau merevisi jangka kontrak dari 15 tahun menjadi 20 tahun. Keduanya diminta membantu perusahaan Johannes melobi PLN.
Sikap PLN atas durasi kontrak tidak berubah kendati konsorsium BlackGold dan China Huadian Engineering sudah menandatangani surat penunjukan dari PLN untuk proyek PLTU Riau-1 pada Januari lalu. Untuk meluluhkan PLN, Eni dan Johannes menggelar beberapa kali pertemuan dengan Direktur Utama PLN Sofyan Basir.
Menurut seorang penegak hukum, dari keterangan Eni, keduanya kerap bertemu dengan Sofyan di sejumlah tempat sepanjang Januari hingga Juli lalu. Mereka, misalnya, pernah bertemu di rumah Sofyan di Jalan Bendungan Jatiluhur, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. KPK sudah menggeledah rumah Sofyan dan menemukan proposal pengajuan PLTU serta menyita perangkat CCTV di sana. Ketiganya juga pernah bertemu di sebuah tempat di Arcadia, Jakarta Selatan, dan lounge Bang Rakyat Indonesia, Jakarta.
Terakhir, mereka bertemu di Hotel Fairmont Jakarta pada awal Juli lalu. Dalam pertemuan ini, menurut seorang penegak hukum, KPK sempat akan melakukan operasi tangkap tangan karena sebelumnya penyidik menangkap komunikasi adanya janji Johannes yang akan bagi-bagi "rezeki". Dalam percakapan Eni dan Johannes, Sofyan disebut sebagai "Bos Habib". Operasi itu batal karena ternyata tidak ada penyerahan uang. "Tapi di pertemuan ini sudah ada kesepakatan kontrak yang sesuai dengan keinginan Johannes," ujar sumber itu. Satu pekan berselang, penyidik menangkap Eni dan Johannes.
Dalam sejumlah pertemuan tersebut, Idrus pernah beberapa kali bergabung. Salah satunya saat pertemuan di rumah Sofyan Basir. Eni juga selalu melaporkan hasil pertemuannya dengan Johannes dan Sofyan kepada Idrus. Adapun Idrus melakukan pendekatan dengan Sofyan ketika keduanya bermain golf bareng. Sofyan tidak membantah beberapa kali bertemu dengan Idrus. Salah satunya, kata dia, "Main golf."
Pertemuan-pertemuan untuk memuluskan proyek PLTU Riau-1 itu diungkapkan Eni ketika diperiksa KPK. Fadli Nasution mengatakan kliennya memang pernah ditanyai soal ini oleh penyidik. Tapi Fadli tidak bersedia menjelaskannya lebih jauh. "Sudah materi penyidikan," ujarnya. Dalam beberapa kali kesempatan setelah diperiksa KPK, Johannes selalu menutup rapat mulutnya saat ditanyai soal pertemuan yang terkait dengan proyek PLTU Riau-1 dan suap untuk Eni.
Adapun Idrus Marham mengaku beberapa kali ditanyai penyidik mengenai pertemuannya dengan Eni, Johannes, dan Sofyan. Idrus juga tidak menyangkal ditanyai soal aliran duit untuk suap Johannes ke Eni, termasuk peruntukannya. Tapi ia tidak mau menjelaskan soal itu. "Sudah saya jelaskan semua. Saya sama sekali tidak tahu," katanya setelah diperiksa pada 26 Juli dan pertengahan Agustus lalu.
KPK sudah dua kali memeriksa Sofyan. Pada 8 Agustus lalu, penyidik menyita telepon seluler Sofyan untuk mendalami percakapan dia dengan Eni, Johannes, dan Idrus. "Kami mau mendalami komunikasi antara dia dan pihak-pihak tersebut," ujar juru bicara KPK, Febri Diansyah, menjelaskan alasan penyitaan telepon seluler Sofyan.
Sofyan tidak membantah pernah bertemu dengan Johannes dan Eni di rumahnya. Sedangkan untuk pertemuan lain, ia membantahnya. Bekas Direktur Utama BRI ini juga membantah sudah ada kesepakatan menyangkut lama kontrak proyek PLTU Riau-1. "Konsorsium memang melakukan negosiasi," katanya. "Sejumlah hal belum disepakati, seperti berapa lama operasi."
Seorang penegak hukum menyebutkan KPK sebenarnya sudah memutuskan Sofyan sebagai tersangka dalam gelar perkara Selasa pekan lalu. Namun, menurut dia, pimpinan belum meneken surat perintah penyidikannya. "Sprindiknya Idrus dulu, baru dia," ucapnya. Saat dimintai konfirmasi soal ini, Basaria mengatakan lembaganya tengah mengusut keterlibatan Sofyan. "Penetapan tersangka lain masih dalam pengembangan penyidik," ujarnya.
Anton Aprianto, Rusman Paraqbueq, Hussein Abri, Taufiq Siddiq
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo