Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2 color=#FF9900>FASLI JALAL, DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI:</font><br />Riset Kita Masih Lemah

25 Mei 2009 | 00.00 WIB

<font size=2 color=#FF9900>FASLI JALAL, DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI:</font><br />Riset Kita Masih Lemah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

ANGGARAN itu melompat hingga tiga kali. Tahun lalu, untuk menggalakkan kegiatan penelitian di berbagai kampus, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi hanya menganggarkan biaya Rp 150 miliar, tapi untuk tahun ini mereka menyediakan uang hingga Rp 500 miliar. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk menggairahkan kegiatan penelitian atau riset di perguruan tinggi di Indonesia.

Sebabnya ada. Riset di perguruan tinggi negeri ini terbilang memprihatinkan. Berdasarkan data pada 2007, dibandingkan dengan negara lain, indikator kemampuan periset kita yang terdiri atas 155 ribu dosen, 7.900 peneliti dan perekayasa, ditambah 3.000 penelitian litbang masyarakat dan swasta yang ada di negeri ini, hanya memiliki produktivitas 0,9 artikel per 1 juta penduduk.

Angka yang jauh dibandingkan dengan negara lain. India, misalnya, memiliki indikator 12 artikel per 1 juta penduduk. Malaysia bahkan sudah mencapai 21,3 artikel per satu juta penduduk. ”Kita melata ke bawah, hampir mendekati bontot,” kata Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Menyedihkan, memang. Itu sebabnya, menurut Fasli, pihaknya kini berusaha keras menggenjot kegiatan riset di berbagai kampus.

Nah, apa sajakah yang dilakukan lembaga yang dipimpinnya itu? Kepada Fasli Jalal, Tempo bertanya langsung dalam sebuah diskusi pada awal Mei lalu. Petikannya:

Seberapa pentingkah riset atau penelitian di perguruan tinggi?

Menjadi makin penting karena pengembangan ilmu dan daya tarik pengajaran sangat bergantung pada keterbaruan bahan pengajaran. Kita tidak bisa selamanya hanya merujuk hasil penelitian orang lain.

Bagaimana potret secara umum penelitian kita?

Saat ini kita memiliki 155 ribu dosen negeri dan swasta. Tapi, berdasarkan data 2007, ternyata yang terlibat penelitian sangat kecil, hanya 10 persennya.

Sebabnya?

Soal biaya. Peserta program doktor dalam negeri, misalnya. Dulu, saat melakukan penelitian, selama tiga tahun mereka hanya memperoleh biaya penelitian Rp 200 ribu tiap bulannya. Sering terjadi pada awalnya ide mereka bagus. Namun, begitu mencari dana penelitian yang tidak ujung dapat, semangat mereka mulai menyusut. Karena dikejar waktu, akhirnya yang terjadi adalah riset studi kasus. Sehingga susah bagi mereka untuk masuk publikasi karena isi penelitian mereka tidak terlalu ”berbunyi”.

Siapa yang menentukan besar biaya penelitian itu? Kok, kecil sekali?

Itu dari Departemen Keuangan.

Ada faktor lain?

Secara umum, peneliti rata-rata kesepian. Antara apa yang mereka lakukan, mimpi mereka, suka-duka mereka dalam meneliti sering kurang diperhatikan oleh kampus. Padahal para peneliti itu ingin agar isu riset mereka didengar, dikritik, dihargai, dan didukung untuk melakukan riset secara kontinu.

Seharusnya mereka diberi akses yang lebih cepat pada pengambil kebijakan di universitas. Harus lebih banyak pertemuan antara para dosen peneliti itu dan pimpinan perguruan tinggi. Kalau perlu dibuat periodik, agar pimpinan perguruan tinggi itu cepat tahu apa perkembangan yang terjadi di laboratorium.

Selama ini para peneliti tidak terlalu peduli pada karier atau jabatan. Mereka lebih asyik dengan penelitian masing-masing, lebih banyak di laboratorium. Mereka sudah tidak punya waktu untuk lobi, apalagi unjuk muka pada pimpinan universitas.

Lalu apa upaya Dirjen Pendidikan Tinggi saat ini? Adakah upaya untuk menumbuhkan keinginan untuk melakukan penelitian para dosen?

Tak bisa dilepaskan, salah satu sebabnya adalah soal kesejahteraan. Bagaimana mereka bisa tetap fokus pada riset jika kesejahteraan mereka di bawah standar. Untuk itu, kami beri dana penelitian lebih banyak, sekitar tiga kali lipat. Dana itu sudah tersedia sejak Januari, tapi mereka masih perlu menyusun proposal dan sebagainya, sehingga dana baru bisa turun mungkin pada Juni.

Di samping itu, kami menaikkan mutu jurnal Indonesia. Saat ini kita punya 400 jurnal ilmiah, tapi yang terakreditasi nasional hanya 116. Bagi yang belum mencapai akreditasi nasional, kami memberikan bantuan Rp 50 juta untuk mencoba memperbaiki manajemen atau perbaikan percetakan. Adapun 116 yang sudah terakreditasi kami dorong untuk masuk akreditasi internasional. Dan 30 terbaik dari 116 jurnal itu kami kasih dana Rp 150 juta untuk menaikkan mutu jurnalnya.

Fasilitas penunjang?

Ya, kami berusaha meningkatkan fasilitas atau alat vital untuk laboratorium penelitian, meskipun masih jadi kendala. Alat itu harganya mahal, ada yang satu alat harganya mencapai Rp 10 miliar hingga Rp 20 miliar.

Tapi yang tak kalah penting, kami mesti memberikan rangsangan pada mereka untuk terus melakukan riset dan mempublikasikan karya mereka. Misalnya, jika ada yang diundang ke luar negeri menjadi pembicara kunci seminar atau forum, kami akan membantu memfasilitasinya. Begitu juga sebaliknya, membantu saat forum ilmiah tahunan di Indonesia. Sehingga bisa menjadi pemancing bagi para peneliti untuk ikut.

Selanjutnya dalam jurnal-jurnal ilmiah. Bagaimana upayanya agar tulisan mereka bisa masuk ke jurnal internasional. Kita seharusnya juga mengembangkan jurnal nasional yang terakreditasi internasional. Sehingga, jika tulisan mereka masuk ke jurnal nasional, secara otomatis itu akan masuk atau selevel dengan masuk jurnal internasional.

Soal kesejahteraan?

Kami menaikkan gaji mereka, baik tunjangan profesi maupun tunjangan kehormatan. Selain itu kami meningkatkan dana untuk penelitian itu sendiri. Namun ini pun kami baru bisa 15 persen dari dosen yang ter-cover. Artinya, masih ada 85 persen lainnya yang tidak meneliti karena keterbatasan dana.

Bagaimana dengan stimulus untuk mahasiswa S-1 agar mereka turut melakukan riset?

Pertama, yang langsung, kami sediakan bantuan dana ke masing-masing perguruan tinggi untuk memfasilitasi ide atau kegiatan ilmiah oleh mahasiswa. Kedua, kami berharap penelitian yang dilakukan para dosen itu banyak melibatkan mahasiswa agar mahasiswa termotivasi untuk melakukan riset.

Kami juga membuat program yang modelnya semacam paksaan pada dosen agar setiap melakukan penelitian melibatkan mahasiswa, agar bisa memperoleh pembiayaan riset.

Ketiga, kami mengadakan forum-forum yang mewadahi para mahasiswa untuk menunjukkan hasil karya riset mereka, misalnya pekan ilmiah nasional mahasiswa. Itu sudah kami adakan sejak sepuluh tahun lalu. Dalam 3-4 tahun terakhir ini sudah diperbaiki dan diperbesar. Sekarang saja mahasiswa yang terlibat dan mendapat dana Rp 6 juta per orang itu sudah mencapai 6.000 mahasiswa.

Anda begitu menggebu-gebu. Sebenarnya bagaimana Anda melihat para peneliti kita?

Menurut saya, para periset di perguruan tinggi kita memiliki potensi, ketekunan, dan dedikasi yang sangat tinggi. Kita saja yang kurang memperhatikan mereka. Ini yang mesti segera diperbaiki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus