Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stanley Adi Prasetyo*
KOMITMEN utama jurnalisme adalah mengabdi pada kepentingan publik. Kepentingan pribadi, kelompok, atau kepentingan pemilik media harus selalu ditempatkan di bawahnya. Seorang wartawan dituntut untuk selalu menjaga independensi dari intervensi atau pengaruh pihak lain, khususnya terkait dengan kepentingan kekuasaan dan uang.
Independensi tidak sama artinya dengan tidak memihak sama sekali. Namun pemihakan wartawan bukanlah pada orang atau kelompok, melainkan pada kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Independensi adalah faktor penting bagi setiap wartawan dalam menjalankan profesinya. Wartawan yang independen adalah wartawan yang mandiri, merdeka, dan tak bergantung pada pihak mana pun. Ia mempertahankan dan menyampaikan prinsip-prinsip kebenaran.
Bersikap independen bukan berarti netral atau berimbang. Berimbang ataupun tidak berat sebelah hanyalah metode, bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Kunci independensi bagi jurnalis adalah setia pada kebenaran.
Obor Rakyat yang dibagikan ke pesantren-pesantren pada masa kampanye pemilihan presiden jelas bukan karya jurnalistik, melainkan selebaran gelap atau surat kaleng. Berbentuk seolah-olah seperti sebuah tabloid dan ditulis dengan menggunakan gaya tuturan jurnalistik, Obor Rakyat sama sekali tidak menggunakan prinsip-prinsip dasar jurnalistik. Melihat isi, cara melakukan framing terhadap berita (seolah-olah berita), pencantuman nama samaran dan alamat palsu, juga model pengiriman, Obor Rakyat adalah sebuah kampanye hitam.
Kampanye hitam berbeda dengan kampanye negatif yang berusaha menyerang dan menjatuhkan seseorang berdasarkan fakta ataupun rekam jejak seseorang. Pada kampanye hitam, serangan dibangun berdasarkan sebuah fiksi dan rekonstruksi rekaan.
Menjelang pemilihan pada 9 Juli 2014, kampanye hitam yang ditujukan kepada kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden sangat marak. Media sosial adalah tempat yang paling dipenuhi kampanye model ini. Sepanjang sejarah pemilihan umum, baru kali ini bangsa Indonesia mengalami situasi seperti ini. Celakanya, semua orang sepertinya permisif dan abai. Institusi negara dan hukum sepertinya tumpul menghadapi kampanye hitam yang berkecamuk.
Kampanye hitam tak boleh dibiarkan terus berlarut. Ingat pemilu ini adalah sebuah proses demokrasi. Pasangan kandidat yang ada merupakan hasil kompromi dari komposisi partai-partai pasca-pemilihan legislatif. Kedua pasangan adalah calon terbaik dari proses politik yang ada. Kampanye hitam akan membuat masyarakat, terutama yang memiliki hak pilih, kebingungan. Bukan tak mungkin mereka, terutama para swing voter yang jumlahnya cukup signifikan, akan bersikap apatis dan memutuskan diri menjadi pengikut "golput". Dua calon pasangan terbaik akan terpuruk menjadi dua calon pasangan terburuk yang tak layak pilih. Kalau ini terjadi, tentu bukan hanya legitimasi pemerintahan ke depan yang lemah, demokrasi juga akan berada pada titik nadir yang berbahaya.
Mungkin kini saatnya kedua belah pendukung dan tim sukses bersepakat melakukan "moratorium kampanye hitam" dan memberi kesempatan munculnya kampanye dan persaingan yang sehat. Pendukung kedua calon sepatutnya menghentikan kegiatan negatif itu.
Aturan dan hukum sepatutnya ditegakkan. Mereka yang melakukan kampanye hitam diproses secara hukum, baik hukum pemilu maupun pidana umum. Termasuk para wartawan gadungan ataupun wartawan yang menyalahgunakan profesinya.
*) Penulis adalah anggota Dewan Pers
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo