Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERULANG kali Daniel Kaghahing mengusap matanya yang berkaca-kaca. Mantan pelaut di Papusungan, Lembeh Selatan—sebuah pulau tepat di seberang Kota Bitung, Sulawesi Utara—itu sedang meratapi garis hidupnya yang nahas. Ditemui pada akhir Mei lalu, pria 39 tahun ini baru sebulan keluar dari penjara.
Nasib buruknya bermula dua tahun lalu. Ketika itu Daniel memegang jabatan mentereng: kapten kapal. Bahteranya tidak sembarangan. Besarnya 319 gross tonnage dan bisa berlayar mencari ikan sampai jauh. Namanya Meriyana. Sekali melaut, Daniel bisa tak pulang sampai enam bulan.
Pada awal 2012, sebuah peristiwa mengubah garis tangan Daniel. Sepulang dari kegiatannya menangkap ikan di Laut Arafura, polisi mencarinya dengan tuduhan terlibat pemalsuan dokumen kapal. Sekembali ke Bitung, Meriyana memang berubah nama menjadi Yungin 05.
Daniel terkejut. Selama delapan tahun jadi nakhoda kapal, baru kali ini dia berurusan dengan penegak hukum. Rasa kagetnya bertambah ketika majelis hakim menjatuhkan hukuman 20 bulan penjara. Bukan hanya itu, semua dokumen izinnya sebagai pelaut juga disita pengadilan, termasuk sertifikat ahli nautika kapal penangkap ikan (atkapin) tingkat dua. "Sejak itu saya tidak bisa melaut lagi," katanya pilu.
Ironisnya, pelanggaran seperti yang dilakoni Daniel itu dilakukan juga oleh banyak pelaut lain di Bitung. Kapten kapal yang menakhodai bahtera dengan dokumen palsu bertebaran di sana. Di atas kapal siluman itu, mereka tak lebih dari kapten boneka.
TUDINGAN bahwa sebagian besar kapal penangkap ikan di Indonesia diam-diam ternyata milik warga negara dan perusahaan asing sebenarnya sudah lama terdengar.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), lembaga swadaya masyarakat yang kerap melakukan riset dan advokasi di bidang ini, secara khusus mengangkat isu itu dalam peringatan Hari Nelayan Nasional pada 6 April lalu. Mereka menggelar unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, menuding pemerintah membiarkan banyak kapal siluman mencuri ikan di perairan Nusantara.
Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, mengaku punya sederet bukti untuk mendukung tuduhan itu. "Selama ini ada kesan bahwa pelakunya justru dilindungi pemerintah," kata Halim, dua pekan lalu.
Tak mengherankan kalau Halim geregetan. Kerugian Indonesia akibat penangkapan ikan tanpa izin, tak dilaporkannya hasil tangkapan ikan, dan penangkapan ikan di area yang belum diatur pengelolaannya (illegal, unreported, and unregulated fishing) mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun. Pada 2001 saja, Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperkirakan Indonesia kehilangan Rp 30 triliun per tahun dari sektor ini.
Sebuah lembaga riset lain, Fisheries Resources Laboratory, mengungkapkan angka yang lebih mencengangkan. Akibat pencurian ikan di Laut Arafura selama kurun 2001-2013, negeri ini sudah merugi Rp 520 triliun. Uang sebanyak itu bisa dipakai untuk membangun lebih dari seratus jembatan antarpulau sebesar Suramadu. "Modus illegal fishing yang paling banyak terjadi adalah pemalsuan izin," tulis hasil analisis itu.
Secara tersirat, pemerintah tak menolak kesahihan data lembaga ini. Pasalnya, dokumen penelitian ini justru ditemukan Tempo di situs Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Bagaimana pemalsuan izin kapal siluman ini bisa terjadi? Halim menunjuk lemahnya pengawasan atas proses alih kepemilikan pada kapal yang semula berbendera asing. "Semua berawal dari sana," katanya.
Merujuk pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini terdapat sedikitnya 550 ribu kapal yang mengantongi surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Dari jumlah itu, 1.200 adalah eks bahtera berbendera asing.
Kapal-kapal asing itu berubah kepemilikan seiring dengan pemberlakuan Undang-Undang Perikanan Nomor 45 Tahun 2009, yang melarang sepenuhnya kapal asing menangkap ikan di laut Nusantara. Kini kapal-kapal raksasa itu tercatat sebagai milik orang atau perusahaan Indonesia.
Masalahnya, banyak yang yakin ada permainan di bawah meja. Para pemilik lama kapal asing itu sebenarnya masih menguasai asetnya dengan menyiasati perizinan.
Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan di era Presiden Megawati Soekarnoputri, termasuk yang mempercayai hal itu. "Namanya kapal pinjam bendera (flag of convenience). Kapal semacam itu semi-legal: secara de jure resmi milik pengusaha Indonesia, tapi de facto milik asing," katanya pekan lalu.
Mantan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Perikanan Aji Soelarso sependapat. Dihubungi terpisah, dia mengungkapkan bahwa peralihan kepemilikan kapal asing ke pengusaha Indonesia itu menggunakan modus transaksi palsu. "Akibatnya, sekarang banyak kapal abal-abal," katanya pada awal Juni lalu.
Kedua mantan pejabat ini menegaskan bahwa praktek kapal siluman merupakan modus terbaru penangkapan ikan ilegal. "Dengan bendera Indonesia, kapal-kapal asing ini leluasa menangkap ikan di luar wilayah yang menjadi haknya," kata Rokhmin dengan nada geram.
MARI kembali pada kisah Daniel Kaghahing. Pada medio 2011, Meriyana—kapal yang dinakhodai Daniel—berangkat dari Pelabuhan Bitung. Mereka berencana melaut selama enam bulan di Laut Arafura.
Baru dua bulan beroperasi di perairan kaya ikan itu, sebuah panggilan masuk ke telepon satelit yang terpasang di Meriyana. Seorang pegawai PT Karya Bitung Sejati—perusahaan pemilik Meriyana—meminta Daniel segera merapat ke Pelabuhan Pomako, Timika, Papua. "Saya diminta mengambil dokumen surat izin penangkapan ikan yang sudah diperpanjang," katanya kepada Tempo, akhir Mei lalu.
Sampai di Timika beberapa hari kemudian, Daniel sempat kebingungan karena tak ada orang Karya Bitung Sejati di sana. Dia malah ditemui seseorang bernama Warsono, yang mengaku sebagai bos PT Yungin Prima Sentosa.
"Dia memerintahkan lambung kapal saya dicat ulang dan diberi nama baru: Yungin 05," kata Daniel mengenang. Pada dokumen surat izin penangkapan ikan pun, nama kapal Daniel sudah berubah. Tak ada lagi Meriyana.
Daniel mengikuti perintah Warsono, karena dia tahu persis Karya Bitung Sejati bukanlah pemilik asli Meriyana. Apalagi Warsono memberi jaminan bahwa manajemen Karya Bitung sudah menyetujui perubahan itu. "Pemilik Meriyana itu orang Taiwan. Namanya Agi," kata Daniel. Dia menduga Warsono adalah orang suruhan Agi.
Setelah pengecatan ulang rampung, Meriyana alias Yungin 05 melaut lagi. Meski sempat waswas karena berlayar dengan dokumen palsu, Daniel memutuskan jalan terus. "Soalnya pengelola Pelabuhan Pomako menerbitkan surat persetujuan berlayar untuk Yungin 05. Kalau ada masalah, seharusnya surat itu tidak keluar," katanya yakin.
BITUNG hanya salah satu dari sekian pelabuhan perikanan di Indonesia yang jadi markas kapal siluman. Begitu pula Pelabuhan Batam, Muara Baru (Jakarta), Bali, Tual, serta Sorong dan Timika (Papua). "Sebagian besar kapal siluman itu beroperasi di Laut Natuna dan Arafura," kata mantan petinggi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Aji Soelarso.
Bagaimana menemukan kapal penangkap ikan siluman di perairan seluas itu? Gampang. Lihat saja anak buah kapalnya. Kalau sebagian besar ABK tidak bisa berbahasa Indonesia, hampir pasti kapal itu kapal siluman.
Riza Damanik, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, bercerita panjang-lebar mengenai praktek kapal siluman yang kerap dikeluhkan anggotanya. Rupanya, pemilik kapal menempatkan ABK dari negaranya untuk memastikan bahwa ikan tangkapannya dijual ke negara si pemilik kapal. "Mereka juga bertugas memantau uang yang dikelola mitranya di Indonesia," ujar Riza.
Menurut Riza, kapal di Pelabuhan Bitung banyak mempekerjakan ABK asal Taiwan dan Filipina, sedangkan kapal siluman di Ambon kebanyakan mempekerjakan awak asal Thailand.
Pada pertengahan Maret lalu, Tempo melihat sendiri betapa banyak ABK asal Thailand di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon, Maluku. Mereka ada di semua sudut. Saking maraknya pelabuhan tersebut oleh pelaut dari Negeri Gajah Putih, para penjaga kantin dan warung di sana sekarang lumayan fasih berbahasa Thailand. Dengan bahasa Thai yang terpatah-patah, mereka melayani awak kapal asing yang sibuk membeli susu, makanan ringan, sampo, sampai sabun.
Tak hanya di kantin. Tempo sempat naik ke Kapal Mabiru 15 yang baru bersandar di pelabuhan yang berlokasi di Tantui, Ambon, itu. Di atas kapal, obrolan riuh-rendah dengan bahasa yang terdengar asing segera terdengar. Luther Palambi, nakhoda Mabiru 15, terus terang mengakui bahwa sebagian besar awaknya berasal dari Thailand. "Cuma lima yang dari Indonesia," katanya ringan.
Penggunaan awak asing jelas melanggar Undang-Undang Perikanan. Badan Pemeriksa Keuangan pernah mengaudit keberadaan tenaga kerja asing di sektor ini pada 2010. Setelah memeriksa ratusan kapal di Jakarta, Medan, Manado, dan Ambon, BPK menemukan hampir 2.000 awak kapal asing. Bahkan banyak kapal penangkap ikan yang separuh awaknya berkewarganegaraan asing.
Tak hanya tenaga kasar, para ahli penangkapan ikan (fishing master) dan kepala kamar mesin (engineer) juga kerap warga negara asing. Hanya para nakhoda yang biasanya orang Indonesia. "Tapi kapten kita tak berkuasa. Kapten sebenarnya adalah fishing master," kata seorang mantan ABK di Kapal Tamina 1, yang berpangkalan di Ambon. Dia takut kehilangan pekerjaan jika namanya dipublikasikan.
Awak kapal kerap menyebut fishing master sebagai "maestro" atau "tekong". Banyak bukti menunjukkan bahwa tekong ini justru pemilik kapal yang sebenarnya.
Awak kapal ini lalu bercerita bagaimana Kapal Tamina 1 lolos dari patroli TNI Angkatan Laut pada akhir 2011. "Waktu itu kami ada di Laut Arafura. Kami baru saja menurunkan jaring ketika bel kapal berbunyi tiga kali," ucapnya.
Tekong kemudian muncul di anjungan dan berteriak dalam bahasa Thailand. Nadanya panik. "Dia minta jaring segera diangkat dan dilipat," kata pelaut ini. Setelah itu, Tamina 1 melaju cepat ke arah perairan Timor Leste.
Sambil kabur, bendera Indonesia di geladak diturunkan, berganti jadi bendera Thailand. Meski resminya kapal itu milik PT Tanggul Mina Nusantara, rupanya pemilik kapal mengantongi dua dokumen kepemilikan. "Di anjungan, ada dua koper dokumen. Satu Indonesia, satunya Thailand."
Wajar kalau tekong Tamina 1 tak mau kapalnya kepergok patroli Indonesia. Menurut awaknya, kapal ini sering memindahkan hasil tangkapan ikannya di laut lepas alias transshipment. "Selama enam bulan kami di Arafura, setidaknya dua kali kami diperintahkan memindahkan ikan ke kapal Thailand," kata si ABK.
Tri Harso Wahyudi, pengurus PT Tanggul Mina Nusantara, mengakui bahwa kapalnya mempekerjakan banyak ABK asing. Hengky, pengurus PT Mabiru, juga tak membantah. Alasannya sederhana: awak kapal Indonesia tak setangguh awak kapal dari negeri seberang. "Pelaut Indonesia sering menolak berlayar lebih dari satu bulan," kata Hengky.
Tapi keduanya membantah jika dikatakan kapal mereka disebut kapal siluman yang kerap mencuri ikan. "Kalau benar begitu, potong saja tangan tekongnya," kata Hengky dengan nada tinggi.
DANIEL Kaghahing dan kapal barunya, Yungin 05, kembali ke Bitung pada akhir 2011. Semula tak ada persoalan. Masalah baru muncul beberapa bulan kemudian, ketika Yungin bersiap melaut lagi.
"Kami mendadak dilarang berangkat," kata Daniel. Polisi mencium keanehan dalam dokumen kapal Daniel. Salah satunya adalah soal spesifikasi kapal. Volume Yungin 05 tercatat 476 gross tonnage, padahal Meriyana hanya 319 gross tonnage.
Tak perlu waktu lama, Daniel diperiksa, lalu ditahan. Pada Maret tahun lalu, Pengadilan Negeri Bitung menghukum bapak satu anak ini 16 bulan penjara karena terbukti bersalah menggunakan dokumen kapal palsu. Tambahan empat bulan kurungan harus dilakoninya karena tak mampu membayar denda Rp 1,5 miliar.
Adapun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Warsono juga disidang, tapi hanya divonis tiga bulan penjara. Sedangkan Agi hingga kini tak jelas rimbanya.
Bos PT Karya Bitung Sejati, Kristian T. Limboto, menolak mengomentari kasus Daniel. Dia tak merespons telepon dan pesan pendek yang dikirim Tempo.
Warsono alias Abian segendang sepenarian. Telepon, pesan pendek, hingga surat permohonan wawancara yang dikirim Tempo ke rumahnya di kompleks Mediterania Boulevard, Jakarta Utara, tak berbalas. Kantor PT Yungin Prima Sentosa di lantai lima AKA Building, Jakarta Selatan, kini tak ada lagi, berganti menjadi ruang perkuliahan kampus Universitas Thamrin.
Tinggallah Daniel meratap sendiri. "Saya merasa dikorbankan," katanya. Karena tak bisa lagi melaut, kini dia menghidupi keluarganya dengan menjadi tukang ojek.
DIREKTUR Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Gellwyn Jusuf mengakui lika-liku perizinan kapal eks milik asing di Indonesia adalah masalah pelik. "Seharusnya kapal asing yang disita pemerintah tak boleh mendapat surat izin penangkapan ikan," katanya dua pekan lalu.
Tapi, di lapangan, toh pelanggaran terus terjadi. April lalu, tak lama setelah Daniel Kaghahing bebas dari bui, Yungin 05 kembali melaut. Namanya berubah lagi menjadi KM AAA 2. Pemiliknya masih tak berubah: Warsono alias Abian. Yang berbeda cuma nama kaptennya. Kini kapal itu dinakhodai seorang pelaut bernama Zet Dara. Tanpa ribut-ribut, kapal siluman itu melenggang bebas di laut Nusantara.
Dikepung Pencoleng Ikan
Bertahun-tahun, ribuan kapal siluman—kapal asing yang berbendera Indonesia— mengeruk berton-ton ikan bernilai ratusan triliun rupiah di laut Indonesia. Mereka berasal dari negara-negara tetangga di sekeliling Nusantara. Modusnya beragam dengan tujuan tunggal: mencuri ikan tanpa ketahuan.
Modus Pencurian Ikan
Asal Negara Pencuri Ikan
Dampak Pencurian Ikan:
Berkurangnya jumlah ikan kita
Keterangan:
WPP 571
(Selat Malaka dan Laut Andaman)
Produksi perikanan tangkap
2008: 8,17 persen
2012: 6,15 persen (sekitar 509.177 ton)
WPP 572
(Selat Sunda)
Produksi perikanan tangkap
2008: 10,85 persen
2012: 6,94 persen (sekitar 576.627 ton)
WPP 573
(Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Timor bagian barat)
Produksi perikanan tangkap
2008: 8,50 persen
2012: 11,19 persen (500.672 ton)
WPP 711
(Laut Natuna)
Produksi perikanan tangkap
2008: 12,36 persen
2012: 12,94 persen (567.890 ton)
WPP 712
(Perairan Laut Jawa)
Produksi perikanan tangkap
2008: 17,21 persen
2012: 14,27 persen (866.493 ton)
WPP 713
(Teluk Bone)
Produksi perikanan tangkap
2008: 12,65 persen
2012: 16,75 persen (621.270 ton)
WPP 714
(Laut Banda)
Produksi perikanan tangkap
2008: 8,86 persen
2012: 10,52 persen (456.304 ton)
WPP 715
(Laut Maluku)
Produksi perikanan tangkap
2008: 8,60 persen
2012: 7,41 persen (498.335 ton)
WPP 716
(Laut Sulawesi)
Produksi perikanan tangkap
2008: 3,83 persen
2012: 5,76 persen (255.430 ton)
WPP 717
(Teluk Cendrawasih)
Produksi perikanan tangkap
2008: 2,62 persen
2012: 4,25 persen (138.185 ton)
WPP 718
(Laut Arafura)
Produksi perikanan tangkap
2008: 6,35 persen
2012: 3,79 persen (445.250 ton)
Bongkar-Pasang Aturan
1985
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
2. UU Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
- Usaha perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia (pasal 9).
- Pihak asing diberi izin dengan catatan membayar PNPB.
2003
3. Keputusan Menteri Nomor 10 Tahun 2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.
2004
4. UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004.
- Izin kapal asing dihentikan sama sekali, tapi ada celah, yakni lewat penyertaan modal asing terselubung pada kapal-kapal yang semula berbendera asing.
2006
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2006 yang kemudian diganti Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 05 Tahun 2008.
2013
6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012.
- Tidak boleh ada ABK dan nakhoda asing.
Tim Investigasi
Penanggung jawab: Pemimpin proyek: Penyunting: Penulis: Penyumbang bahan: Periset foto: Bahasa:
Wahyu Dhyatmika
Sukma N. Loppies
Sukma N. Loppies, Wahyu Dhyatmika
Agoeng Wijaya, Sandy Indra Pratama, Sukma N. Loppies
Sukma N. Loppies, Agoeng Wijaya, Sandy Indra Pratama, Martha Ruth Thertina, Maria Yuniar Ardhati (Jakarta), Rumbadi Dalle (Batam), isa anshar jusuf (manado), M. Yunus (Makassar)
Nita Dian
UU Suhardi, Iyan Bastian, Sapto Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo