Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Propaganda Kelam Obor Hitam

Dipersoalkan, tabloid Obor Rakyat terus dikirim ke pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama basis pemilih Joko Widodo di seluruh Jawa. Biaya pencetakan dan pengirimannya ratusan juta rupiah.

23 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAKET berbungkus kertas tisu kuning itu diterima KH Aceng Furqon pada Kamis pekan lalu di rumahnya, yang sekaligus pusat Pondok Pesantren Al Ijma, di Kampung Cilemah, Garut, Jawa Barat. Pembawanya Sekretaris Desa Cintaasih, yang mendapat paket itu dari petugas kantor pos Kecamatan Samarang. Aceng tak mendapat jawaban memuaskan dari sekretaris desa itu ihwal identitas pengirimnya.

Setelah dibuka, tampak paket itu berisi sepuluh eksemplar tabloid Obor Rakyat edisi kedua, periode 12-18 Juni 2014. Ada tiga judul yang dicetak kapital dengan tulisan menohok. Semuanya propaganda yang menyerang calon presiden Joko Widodo dan partainya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. "Saya tak merasa berlangganan tabloid ini," kata Aceng, Jumat pekan lalu.

Paket itu bukan untuk orang lain. Hanya ada satu nama Aceng Furqon di Cilemah yang memimpin pesantren dengan seratus santri itu. Yang membuat Aceng kian bingung, nomor telepon selulernya juga tercantum di alamat pengiriman. Setelah menduga-duga pengirim paket dengan sekretaris desa itu, Aceng menyimpulkan pengelola tabloid mendapat alamatnya dari data pesantren di Kementerian Agama. "Data dan penulisannya sama dengan yang saya berikan ketika mendaftarkan pesantren ini," ujarnya.

Setelah sekretaris desa itu pamit, laki-laki 38 tahun ini mulai membaca satu per satu berita yang ada di tabloid tersebut. Aceng merasa miris karena semua artikel di sana menulis rekaan keburukan-keburukan sang calon presiden. "Jadi saya cuma percaya 40 persen kebenarannya," kata Aceng, pemilih Partai Kebangkitan Bangsa dan anggota Nahdlatul Ulama.

Ketika Aceng hampir rampung menuntaskan semua artikel, pintu rumahnya kembali diketuk. Kali ini kakaknya yang bertamu. Begitu melihat tumpukan tabloid Obor Rakyat, menurut Aceng, kakaknya langsung berceramah tentang tabloid itu. Aceng baru tahu bahwa edisi pertama Obor memanaskan situasi politik Indonesia, terutama di Jakarta, selama dua pekan lalu. "Saya baru tahu kakak saya ternyata anggota tim sukses Jokowi," ujarnya.

Atas saran kakaknya itu, Aceng berangkat ke Kepolisian Resor Garut untuk melaporkan kedatangan tabloid tersebut. Dari kakaknya itu pula Aceng baru paham bukan hanya Al Ijma yang mendapat kiriman Obor, melainkan juga pesantren-pesantren di Garut, Tasikmalaya, hingga ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Seperti Al Ijma, pesantren-pesantren di Jawa yang mendapat kiriman tabloid itu rata-rata basis massa Nahdlatul Ulama yang kiai dan santrinya berafiliasi ke Partai Kebangkitan Bangsa atau Partai Persatuan Pembangunan. Pesantren itu umumnya pendukung Jokowi karena PKB menjadi anggota koalisi penyokongnya dalam pemilihan presiden 9 Juli nanti. "Prabowo atau Jokowi sama saja. Kami melihat siapa wakilnya," kata KH Ahmad Ulinnuha, pengasuh Pondok Pesantren Azzahro di Desa Nanggulan, Kendal, Jawa Tengah.

Ulinnuha mendapat empat eksemplar Obor Rakyat edisi pertama pada 15 April 2014. Seperti Aceng, alamat pengiriman untuk Azzahro juga alamat yang terdaftar di Kementerian Agama. PO Box 203 adalah alamat Azzahro lama sebelum pindah ke alamat sekarang dan belum direvisi di Kementerian. Menurut Ulinnuha, pesantren di Kendal condong memilih Jokowi karena Prabowo menggandeng Hatta Rajasa, seorang Muhammadiyah, dan pencalonannya disokong Partai Keadilan Sejahtera, yang berafiliasi ke Al-Ikhwan al-Muslimun Mesir.

Di Jawa Timur, selain lewat pos, pengiriman Obor Rakyat dilakukan langsung. Ada sejumlah orang dengan sepeda motor dan mobil mengirimkan tabloid itu ke banyak pesantren di Jember. Misalnya Pesantren Al-Hidayah di Silo. KH Imam Haramain menerima kiriman paket 25 eksemplar Obor edisi kedua dari dua orang tak dikenal pada 15 Juni lalu. "Sebelumnya dua edisi sekaligus, 50 eksemplar edisi pertama dan ketiga," ujar Imam.

Karena merasa isinya terlalu vulgar dan tak berdasarkan data yang meyakinkan, Imam melarang santri-santrinya membaca Obor, dan membakarnya. Menurut dia, tabloid itu berusaha menggerus popularitas Jokowi di Jember. Umumnya pesantren Nahdlatul Ulama di Jawa Timur, basis pemilih PKB, telah menetapkan diri memilih Jokowi. Dengan alasan yang sama seperti Ulinnuha, kata Imam, informasi di Obor tak berpengaruh pada sikap para kiai di bilik suara kelak.

Menurut Ayub Junaidi, Ketua Gerakan Pemuda Ansor Jember, ada 15 pesantren di kabupaten itu yang menerima tabloid dengan jumlah 30-50 eksemplar, bergantung pada jumlah santri yang mondok di sana. Setelah berkoordinasi dengan pengurus cabang Nahdlatul Ulama setempat, mereka mengumpulkan tabloid itu dan membakarnya di Pesantren Nurul Islam di Sumbersari karena menilai isinya fitnah belaka sebagai kampanye hitam terhadap Jokowi. "Sampai sekarang, kami tak bisa melacak pengirimnya," kata Ayub.

l l l

GONJANG-ganjing penyebaran tabloid Obor Rakyat mendapat perhatian PT Pos Indonesia di Bandung. Sebab, dari kantor pos besar di Jalan Asia Afrika inilah tabloid Obor menyebar ke semua pesantren di Jawa. Manajer Hubungan Masyarakat PT Pos Abu Sofyan mengakui telah mengirimkan paket barang cetakan ke alamat pesantren seperti Al Ijma di Garut. "Sekarang semua pengirimannya sudah selesai," ujarnya pekan lalu.

PT Pos, kata Abu, sejak awal tak tahu isi paket yang dikirimkan ke ratusan alamat pesantren itu. Perusahaan ini mengetahui paket yang dikirimkannya ke ratusan alamat itu berisi Obor setelah ada seorang penerimanya mengatakan paket tersebut dikirim dari Kantor Pos Besar Bandung. Setelah diperiksa, alamat penerimanya cocok, dan pengirimnya diketahui bernama Setiyardi Budiono yang beralamat di Jalan Pisangan Timur Raya IX, Jakarta Timur.

Setiyardi dalam tabloid dicantumkan sebagai pemimpin redaksi. Alamat tabloid sekaligus pengirim paket pos ternyata rekaan. Nomor teleponnya tak terdaftar. Adapun nomor faks seperti tertera dalam tabloid malah merujuk pada sebuah toko granit di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Kepada pers, Setiyardi beralasan mencantumkan alamat itu karena belum memiliki kantor untuk dijadikan alamat redaksi.

Menurut Abu Sofyan, pegawainya mengambil paket tersebut dari PT Mulia Kencana Semesta di Jalan A.H. Nasution 73, Cipadung, Bandung. Perusahaan yang didirikan pada 2011 itu menjalin kerja sama pengiriman barang cetakan dengan PT Pos melalui sistem kontrak. Saat diambil, jumlah paket kiriman PT Mulia itu sebanyak 100 ribu koli, dengan biaya Rp 200 juta.

Dalam profil perusahaan yang dibuat Manajer Kurnia Ditomo, nama pasar PT Mulia adalah Inilah Printing. Perusahaan ini pemilik mesin pencetak harian Inilah Koran di Jawa Barat dan majalah Inilah Review, yang merupakan bagian Inilahcom Group milik Muchlis Hasyim Yahya. Foto Muchlis—bekas wartawan Media Indonesia dan media officer kantor wakil presiden semasa Jusuf Kalla—bersama 16 karyawannya terpampang dalam profil perusahaan itu. "Di PT Mulia, Pak Muchlis menjabat direktur," kata Alfian Mujani, Pemimpin Umum Inilah Koran. "Setahu saya, kepemilikannya bermitra dengan orang lain."

Inilah Printing menempati area pabrik seluas dua kali lapangan sepak bola di kawasan Bandung Timur. Di sebelahnya terdapat dua pabrik garmen. Ketika tempat itu dikunjungi Jumat pekan lalu, karyawan berseragam abu-abu tampak sibuk mengangkut pelbagai paket ke mobil boks. Salah satunya mengangkut gepokan tabloid Indonesia Raya. Redaksi tabloid ini dipimpin mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Purnawirawan George Toisutta. Ia adalah wakil ketua tim pemenangan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

George membantah terlibat dalam tabloid Indonesia Raya. Sudah dua tahun lebih, kata George, ia tak mengurusi bisnis media, termasuk portal Indonesia Raya News, yang masih mencantumkan namanya sebagai pemimpin redaksi. "Saya tak mau terlibat media yang menyebarkan berita-berita negatif," ujarnya kepada Tempo melalui sambungan telepon pada Sabtu pagi pekan lalu.

Menurut Asep, koordinator keamanan PT Mulia, perusahaannya banyak mencetak tabloid dengan aneka nama dari pelbagai daerah, seperti Fakta Karawang, Inspirasi Rakyat, dan Koran Fakta. Setelah dicetak, tabloid-tabloid tersebut langsung dikirim ke daerah tujuan distribusinya. "Terbanyak ke Karawang dan Garut," katanya.

Asep mengatakan, selain mencetak tabloid, koran, atau majalah, Inilah Printing mencetak buku-buku pelajaran. Ia menolak mempertemukan Tempo dengan manajemen Inilah untuk menanyakan kaitan percetakan dengan tabloid Obor. "Saya sudah diberi mandat oleh atasan untuk menjawab pertanyaan wartawan," ujarnya. Sebagai pemimpin salah satu anak usaha Inilahcom Group, Alfian menambahkan, sejauh ini tak ada pemberitahuan kepadanya bahwa PT Mulia mencetak Obor Rakyat.

Muchlis Hasyim juga tak bisa ditemui. Permintaan wawancara Tempo melalui surat, telepon, dan pesan seluler selama sepekan lalu tak digubris. Yani, sekretaris di Inilah.com, mengatakan bosnya itu sudah tiga hari tak ke kantor. Surat-surat untuknya diminta dikirimkan ke rumahnya. "Termasuk surat dari Tempo," katanya kepada Reza Aditya dari Tempo. Namun, menurut Yani, hingga Jumat malam Muchlis tak menjawab surat wawancara itu.

Muchlis tak lain bos Darmawan Sepriyossa, redaktur di situs berita Inilah.com, yang menjadi penulis artikel Obor Rakyat. Darmawan, seperti pengakuan yang dimuat di web tempatnya bekerja, diajak membuat tabloid Obor oleh Setiyardi Budiono. Pengakuan Darmawan itu dikeluarkan atas desakan Gun Gun Heriyanto, pengamat politik Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Gun Gun merasa dijebak oleh Darmawan ketika diminta menulis kolom dengan tema kalkulasi politik PDI Perjuangan setelah mencalonkan Jokowi sebagai presiden. Kolom selesai ditulis dan Gun Gun tak mengecek hasilnya, bahkan ketika Darmawan memberitahukan honor Rp 2 juta telah dikirim dari rekening atas nama Setiyardi di BNI. Ia baru kaget ketika teman-temannya memberitahukan kolomnya dimuat di Obor. "Saya tak menyangka kolom saya dipakai untuk kampanye hitam," ujarnya.

Akibat protes Gun Gun itulah Darmawan membuat pengakuan dengan menyebut Setiyardi sebagai otak di balik Obor Rakyat. Ketika Tempo meminta konfirmasi kepada Darmawan pada Kamis pekan lalu, dia menjawab, "Saya tak dapat berkomentar atau memberi wawancara saat ini. Kami membahas soal ini di kantor dan saya disarankan agar cooling down dulu."

Setiyardi kini deputi Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah Velix Wanggai. Ia juga komisaris di PT Perkebunan Nusantara XIII untuk wilayah Kalimantan Timur. Menurut Velix, selama mengerjakan tabloid itu Setiyardi dalam posisi cuti sejak April hingga Juli. "Jadi membuat tabloid itu langkah dan sikap pribadinya," ujar Velix.

Karena itu, kata dia, artikel-artikel dalam Obor tak mencerminkan sikap Istana Presiden ataupun kantor staf khusus di bawah Sekretaris Kabinet Dipo Alam. "Kami tak pernah memberi arahan ataupun instruksi kepada Setiyardi dalam menerbitkan Obor Rakyat."

Pada Senin pekan lalu, tim pemenangan calon presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla melaporkan Setiyardi dan Darmawan ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Taufik Basari, pengacara dan politikus Partai Nasional Demokrat, menuntut polisi memeriksa keduanya dengan jerat pasal diskriminasi rasial, pelanggaran pidana, serta Undang-Undang Pemilihan Presiden tentang kampanye hitam yang mengandung delik penghinaan, fitnah, dan penyebaran kebencian.

Taufik menyebut isi tabloid Obor sebagai fitnah karena isinya tak sesuai dengan fakta. Misalnya, Jokowi disebut beragama Katolik dan keturunan Tionghoa. Faktanya, kata Taufik, selain muslim sejak lahir, orang tua Gubernur Jakarta itu asli Solo, Jawa Tengah. "Isi tabloid Obor sudah memenuhi unsur pelanggaran pidana," ujarnya.

Sebetulnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum sudah menelisik motif penerbitan Obor Rakyat sebelum dilaporkan ke polisi. Namun penyelidikan dihentikan karena tak ditemukan pelanggaran kampanye selama tiga hari masa penelusuran. "Badan Pengawas mengirim surat penghentian penyelidikan kepada kami pada 10 Juni," kata Komisaris Jenderal Suhardi Alius, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri.

Menurut Suhardi, semestinya Badan Pengawas melibatkan Tim Gabungan Hukum Terpadu yang beranggotakan polisi dan jaksa untuk menelusuri Obor Rakyat. Rupanya, kata Suhardi, Badan Pengawas menelisik sendiri dan tak menemukan pelanggaran. Akibatnya, polisi tak bisa memeriksa pengaduan atas Obor Rakyat dengan memakai pidana pemilihan umum. "Karena sekarang sudah dilaporkan, kami memeriksa dengan pasal pidana," ujarnya.

Kepala Polri Jenderal Sutarman berjanji membongkar jaringan Obor Rakyat dari motif hingga pemodalnya. Setiyardi mengaku ia sendiri yang membiayai penerbitan mingguan berkala itu dengan ongkos cetak Rp 1.000 per eksemplar. Jika setiap edisi dicetak 100 ribu, ongkos produksi menerbitkan tiga edisi Obor yang sudah beredar Rp 300 juta. "Selain dari saya, ada bantuan dana dari teman-teman," katanya.

Setiyardi menyangkal Obor Rakyat sebagai media kampanye hitam untuk menyudutkan Jokowi. Menurut dia, teknik penulisan di tabloidnya mirip jurnalisme publik yang melaporkan fakta apa adanya seperti pada situs berita online. "Memang tak ada cover both sides karena klarifikasi narasumber diterbitkan pada edisi berikutnya," ujarnya.

Dengan jenis tulisan dan cara peliputan seperti itu, Dewan Pers menyatakan Obor Rakyat bukan produk jurnalistik. Menurut anggota Dewan Pers, Stanley Adi Prasetyo, sebuah penerbitan digolongkan sebagai media massa jika punya badan hukum tetap dengan alamat redaksi yang jelas serta artikel yang dimuatnya memenuhi kaidah jurnalistik. "Pada 17 Juni, kami menyurati polisi untuk menyampaikan pendapat bahwa penanganan Obor Rakyat tak bisa memakai Undang-Undang Pers," katanya.

Baik Setiyardi maupun Darmawan tak memenuhi panggilan polisi pada Kamis dan Jumat pekan lalu. Menurut juru bicara Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Ronny Sompie, surat panggilan baru diterima keduanya. Alasannya, Setiyardi baru masuk kantor setelah cuti. Adapun Darmawan tak memberikan alasan jelas. "Akan kami kirimkan panggilan kedua," ujarnya.

Bagja Hidayat, Kartika Candra (Jakarta), Mahbub Junaidi (Jember), Sohirin (Semarang), Anwar Siswadi (Bandung)


Tergerus Propaganda Gelap

PADA 28 Mei-3 Juni 2014, Indikator Politik Indonesia melakukan survei nasional tentang tingkat kepercayaan masyarakat terhadap propaganda politik. Hasilnya, popularitas Joko Widodo ternyata digerus propaganda gelap tentang agama yang menyerangnya. Adapun popularitas Prabowo Subianto tak terpengaruh kampanye negatif tentang pelanggaran hak asasi manusia yang ia lakukan ketika masih aktif di dinas militer.

Kampanye hitam: Kampanye keburukan seseorang tak berdasarkan fakta

Kampanye negatif: Kampanye keburukan seseorang berdasarkan fakta

3.060
Responden

1,8%
Tingkat kesalahan

Apakah Anda tahu atau pernah mendengar berita bahwa Prabowo Subianto melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur?

Tahu: 27,4%

Elektabilitas:
PS: 42,6%
JKW: 47,8%
Tidak jawab: 9,6%

Tidak Tahu: 72,4%
PS: 35,6%
JKW: 52,4%
Tidak jawab: 12,0%

Tidak Jawab: 0,2%

Bila tahu…
Sangat percaya: 9,1%
Cukup percaya: 47,4%
Tidak percaya: 21,9%
Sangat tidak percaya: 0%
Tidak menjawab: 21,6%

Apakah anda tahu atau pernah mendengar berita bahwa Prabowo Subianto terlibat penculikan aktivis pada 1998?

Tahu: 27%
PS: 45,3%
JKW: 47,3%
Tidak jawab: 7,4%

Tidak Tahu: 73%
PS: 35%
JKW: 52,3%
Tidak jawab: 12,7%

Bila tahu…
Sangat percaya: 9,7%
Cukup percaya: 43,2%
Tidak percaya: 26,1%
Sangat tidak percaya: 1,0%
Tidak menjawab: 20%

Isu negatif yang menerpa Prabowo Subianto tak berpengaruh pada sikap responden.

Apakah Anda tahu atau pernah mendengar rumor bahwa Joko Widodo beragama Kristen?

Tahu: 17%
PS: 50,5%
JKW: 42%
Tidak jawab: 7,5%

Tidak Tahu: 82%
PS: 34,9%
JKW: 53,2%
Tidak jawab: 11,9%

Tidak Jawab: 1%

Bila tahu…
Sangat percaya: 7,8%
Cukup percaya: 29,1%
Tidak percaya: 34,7%
Sangat tidak percaya: 2,8%
Tidak menjawab: 25,5%

Apakah Anda tahu atau pernah mendengar isu bahwa Joko Widodo beretnis Tionghoa?

Tahu: 15%
PS: 52,0%
JKW: 39,9%
Tidak jawab: 8,1%

Tidak Tahu: 85%
PS: 35,2%
JKW: 53,0%
Tidak jawab: 11,8%

Bila tahu…
Sangat percaya: 6,8%
Cukup percaya: 36,5%
Tidak percaya: 29,5%
Sangat tidak percaya: 1,7%
Tidak menjawab: 20%

Semua isu negatif yang menimpa Joko Widodo berpengaruh menggerus dukungan pemilih.

Sumber: Indikator Politik Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus