Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Oleng Tersapu Drama Selasa Hitam

Indeks saham anjlok karena investor panik. Resesi Amerika masih mengancam. Pasar modal bergejolak.

28 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH rapat digelar tiba-tiba di sebuah ruang di lantai tiga Gedung E, Departemen Keuangan, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Berlangsung Selasa sore pekan lalu, pertemuan itu dihadiri pucuk pimpinan dari beragam institusi pemerintahan di bidang keuangan dan perbankan. Mereka mendadak bertemu karena indeks harga saham gabungan di lantai Bursa Efek Indonesia kelojotan.

Situasi di bursa saat itu memang bikin geger. Indeks saham terjun bebas 191,36 poin (7,7 persen) dari hari sebelumnya, sebelum ditutup pada posisi 2.294,52. Nilai kapitalisasinya tergerus Rp 136 triliun. Inilah nilai penurunan terbesar dalam lima tahun terakhir.

Padahal, tiga pekan sebelumnya, indeks sempat menyentuh posisi 2.830. Namun, krisis kredit hipotek perumahan dan ancaman resesi di Negara Abang Sam tak kenal belas kasihan. Dari jantung kapitalisme di Amerika, gelombang kejutnya menggerogoti indeks bursa di Eropa dan Asia—hingga terasa ke lantai bursa di kawasan Sudirman, Jakarta. Fluktuasi yang tinggi itu bukan tidak mungkin menciptakan guncangan yang lebih besar bagi perekonomian Indonesia.

Itu sebabnya para menteri ekonomi sampai membatalkan rapat privatisasi badan usaha milik negara yang sebelumnya sudah diagendakan. Menteri Koordinator Perekonomian Boediono dan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil—atas inisiatif Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati—memilih menghadiri rapat dengan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah dan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ahmad Fuad Rahmany.

Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah juga hadir dalam pertemuan itu. Ia ditemani dua Deputi Gubernur BI, Budi Mulya dan Muliaman D. Hadad, serta Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Halim Alamsyah. ”Rapat itu untuk menyiapkan langkah koordinasi antarotoritas keuangan,” kata Raden Pardede, Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan, salah satu peserta rapat.

Sumber Tempo mengatakan, Menteri Sri Mulyani bahkan meminta agar setiap menteri ekonomi dibekali satu telepon seluler tersendiri yang mudah dihubungi demi memudahkan koordinasi dari ancaman resesi Amerika itu. ”Ponsel itu harus dihidupkan selama 24 jam,” kata sumber Tempo. ”Ini semacam saluran khusus bila terjadi apa-apa.”

Sedemikian seriuskah krisis yang bakal mendera? Itu semua tergantung seberapa cepat dampak krisis Amerika itu merangsek ke Indonesia dan seberapa lama krisis itu bakal berlangsung. Masalahnya, kata Raden, sulit memprediksi kapan kondisi akut perekonomian Amerika itu berakhir.

Itu sebabnya, pemerintah akan memperketat pengawasan di sektor keuangan dan perbankan. Dalam rapat selama hampir dua jam itu, pemerintah juga menyiapkan beberapa langkah pencegahan agar krisis di lantai bursa tidak menjalar ke mana-mana. ”Kami menyiapkan rencana darurat untuk menghadapi kemungkinan paling buruk,” kata Raden menambahkan. Seperti apa langkah darurat itu, ia belum mau bercerita banyak.

Yang pasti, langkah itu disiapkan agar pemerintah tidak kelimpungan bila efek domino dari ancaman resesi Amerika benar-benar mendera. Pemerintah tampaknya tidak ingin tergelincir dua kali, seperti ketika krisis ekonomi menghunjam pada 1997. ”Kita harus tetap waspada,” kata Raden. ”Jangan sampai baru sadar ketika krisis sudah terjadi dan tidak tahu lagi harus berbuat apa.”

Hasil rapat itu kemudian disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat para menteri ekonomi dipanggil ke Istana Negara keesokan harinya. Setelah bertemu Presiden, Boediono berjanji pemerintah akan memperkokoh ekonomi dalam negeri. ”Supaya tidak rubuh kalau badai krisis datang,” katanya.

Untungnya kepanikan mereda karena bank sentral Amerika (The Federal Reserve) menurunkan suku bunga hingga 75 basis poin—tertinggi sejak peristiwa 9/11 enam tahun lalu—menjadi 3,5 persen. Langkah ini ditempuh setelah pelaku pasar tidak percaya kebijakan Presiden George W. Bush menyuntikkan US$ 150 miliar bisa menjadi obat pemulihan ekonomi negara itu.

Terbukti, penurunan suku bunga itu bisa meniupkan angin segar. Indeks Bursa Indonesia terkerek 7,92 persen pada Rabu lalu. Dua hari kemudian indeks ditutup pada posisi 2.620,493. Adapun perdagangan rupiah ditutup pada level Rp 9.330 per dolar Amerika—menguat 140 poin sejak bursa ambruk.

Pemerintah, pelaku usaha, dan investor bernapas lega—meski rasa waswas tetap ada.

l l l

KRISIS kredit hipotek perumahan di Amerika mencuat sejak pertengahan tahun lalu. Total kapitalisasi surat utang di pasar perumahan itu, menurut Mortgage Bankers Association di Washington, mencapai US$ 6 triliun (Rp 56.400 triliun dengan kurs 9.400).

Selangitnya nilai transaksi dipicu jorjorannya pasar properti Amerika sejak enam tahun lalu. Mereka menawarkan rumah beserta kreditnya dengan harga miring. Ini dipicu oleh rendahnya tingkat suku bunga, yang tiga tahun lalu pernah bertengger di angka 1 persen—terendah dalam 45 tahun terakhir.

Tak mengherankan bila pada saat bersamaan lembaga pengelola dana yang berinvestasi di pasar properti bak cendawan di musim hujan. Lowongan pekerjaan di sektor ini bertaburan. Namun, masa-masa emas itu surut setelah Juni 2004. The Fed, sebutan bank sentral Amerika, secara bertahap menaikkan suku bunga 25 basis poin. Pertengahan tahun lalu suku bunga The Fed nangkring di posisi 5,25 persen.

Itu memicu bunga kredit sektor perumahan jadi terkerek. Pasar pun lesu. Puncaknya, akhir Juli tahun lalu investor berbondong-bondong menyetop pembelian properti yang dikemas lewat kredit. ”Pinjaman yang tak laku membuat lembaga pengelola dana kesulitan,” kata Andy Roach, bekas manajer Capital One, salah satu lembaga pengelola dana di wilayah Chicago.

Situasi kian amburadul gara-gara melonjaknya bunga kredit mendorong tingginya tingkat gagal bayar oleh debitor. Gonjang-ganjing kredit macet itu, selain membuat pasar finansial global kelojotan, tapi juga menyuguhkan PHK massal.

Pemutusan hubungan kerja diumumkan hampir setiap hari. Countrywide Financial Corporation, pemberi kredit hipotek terbesar di Amerika, misalnya, merumahkan 12 ribu pekerjanya. Keputusan yang sama diambil Citigroup Incorporated, Merrill Lynch, Lehman Brothers Holding Incorporated, First National Bank Holding Co., HSBC, Home Lenders Holding Co., Scottsdale, dan IndyMac Bancorp Inc.

Pemberhentian karyawan ini menambah panjang daftar pengangguran yang terjadi. Krisis kredit perumahan yang terburuk sejak 17 tahun terakhir itu membuat pengangguran di Negeri Abang Sam menembus 5 persen pada akhir 2007.

Upaya The Fed dua kali menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen sejak pertengahan tahun lalu tak mampu meredam kekhawatiran pasar akan ancaman resesi Amerika.

Yang terjadi, pasar keuangan global kian loyo setelah dua pekan lalu Merrill Lynch, perusahaan efek terbesar di dunia, dan bank raksasa Amerika Citigroup mengumumkan kerugian kuartal keempat 2007. Dua perusahaan itu masing-masing merugi US$ 9,8 miliar (Rp 94 triliun). Kapitalisasi pasar Citigroup bahkan anjlok US$ 50 miliar.

Situasi itu kembali menimbulkan kepanikan pelaku pasar. Mereka lalu menjual saham besar-besaran. Aksi itu menjalar ke mana-mana. Indeks di berbagai penjuru dunia pun berguguran, yang mencapai puncaknya Selasa pekan lalu.

Di Indonesia, koreksi pasar modal diperparah oleh aksi short selling dan forced selling. Short selling adalah aksi menjual di muka pada harga lebih tinggi tanpa harus memiliki saham terlebih dahulu. Saham tersebut selanjutnya dibeli kembali oleh investor dengan harga yang lebih rendah. Bila dilakukan dalam jumlah besar, aksi itu berpotensi menekan indeks.

Tak cuma itu. Kebanyakan investor lokal juga bermain saham dengan pola margin trading. Dengan cara ini, melalui pinjaman dari perusahaan sekuritas, investor bisa mengoleksi saham melebihi modal yang dimiliki. Nah, ketika harga saham turun seperti kemarin, investor wajib menyetor dana tambahan ke perusahaan sekuritas (margin call). Bila tidak, perusahaan sekuritas bisa menjual paksa (forced selling) saham investor yang dijaminkan kepadanya.

Atas maraknya aksi itu, Fuad Rahmany berjanji akan memperketat fasilitas margin trading. Perusahaan sekuritas, kata Fuad, hanya diperbolehkan memberikan pinjaman 100 persen dari modal yang dimiliki investor. ”Yang melanggar akan dikenai sanksi,” katanya. Ini untuk mendisiplinkan pasar dari praktek short selling dan margin trading yang kebablasan. Selama ini, investor bisa mendapatkan pinjaman hingga tiga kali lipat dari modal yang dimiliki.

l l l

YANG kini menjadi tanda tanya khalayak, seberapa kokoh fondasi ekonomi Indonesia menghadapi ancaman resesi Amerika? Apalagi langkah penurunan suku bunga yang diambil The Fed itu, kata Kepala Ekonomi Citibank Indonesia Anton Gunawan, tidak cukup untuk membantu pemulihan ekonomi negara itu.

Penurunan itu malah bisa dibilang agak terlambat. ”Mestinya suku bunga diturunkan bulan lalu,” katanya. Anton menaksir pertumbuhan ekonomi Amerika pada kuartal pertama ini minus 0,7 persen.

Perlambatan ekonomi Amerika itu diperkirakan akan membuat The Fed menurunkan suku bunga 50 basis poin pada Rabu ini dan akhir kuartal semester kedua, sehingga suku bunga hanya 2,5 persen.

Dengan begitu, perlambatan ekonomi yang terjadi hingga akhir tahun diharapkan bisa pulih pada kuartal pertama tahun depan. Menurut proyeksi Citigroup, pertumbuhan Amerika akhir 2008 sekitar 1,5–1,6 persen dan naik menjadi 2,4–2,5 persen pada kuartal pertama 2009.

Meski ketidakpastian ekonomi Amerika berlanjut, Boediono optimistis ekonomi Indonesia mampu bertahan dari terpaan. Strateginya dengan menyeimbangkan pengeluaran dan penerimaan demi mengamankan anggaran.

Cara pengamanan itu juga akan ditempuh dengan meminta setiap departemen memotong 15 persen dari nilai anggaran. ”Karena banyak anggaran yang tidak masuk akal,” kata sumber Tempo. Permintaan ini disampaikan Menteri Sri Mulyani saat melakukan rapat koordinasi dengan Kepala BPS dan sembilan menteri lainnya di Kementerian Koordinator Perekonomian pekan lalu.

Senada dengan Boediono, Raden Pardede tak yakin gejolak di Amerika menimbulkan riak besar bagi Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah sektor keuangan yang menurut dia jauh lebih baik. ”Permodalan perbankan kuat. Rasio kredit bermasalah menurun,” katanya. Itu semua ditopang regulasi yang lebih prudent.

Risiko utang luar negeri pemerintah dan swasta pun tidak membahayakan. Total utang tahun ini, kata Raden, diperkirakan hanya sekitar 33-34 persen terhadap PDB. Bandingkan dengan saat krisis besar 1997 yang menembus 120 persen terhadap PDB.

Jadi, kalaupun dampak resesi nanti sampai di Indonesia, menurut Staf Khusus Menteri Koordinator Perekonomian M. Ikhsan, pengaruhnya tidak terlalu besar. ”Hanya menurunkan 0,2 persen pertumbuhan,” katanya. Kegiatan ekspor (kotor) Indonesia yang hanya sekitar 30 persen dari produk domestik bruto juga tidak akan sempoyongan, karena ekspor Indonesia tidak lagi bertumpu pada satu produk dan negara tertentu.

Kalaupun warga Amerika menekan konsumsi, itu hanya terjadi pada barang elektronik berteknologi tinggi yang diimpor dari Korea dan Taiwan. Sedangkan yang diekspor Indonesia bukan elektronik berteknologi tinggi. ”Sehingga dampak buat ekspor Indonesia tidak besar,” kata Anton.

Meski begitu ia menilai pertumbuhan 6,8 persen yang ditargetkan pemerintah sulit tercapai. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, kata dia, berkisar 6,2 persen dengan tingkat inflasi 6,7–6,8 persen. Angka itu bisa tercapai bila pekerjaan rumah alias PR pemerintah yang tertunda—seperti paket kebijakan investasi dan infrastruktur—segera diselesaikan.

Itu pun dengan catatan, BI harus menjaga kurs agar tidak di atas Rp 9.400 per dolar. Bila kurs tidak terjaga, efek inflasi akan merembet ke penurunan konsumsi yang ujungnya memperlambat pertumbuhan.

Faktor lain yang perlu diwaspadai adalah kepemilikan asing (per November) di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Rp 219,7 triliun dan Surat Utang Negara (SUN) Rp 803,19 triliun. Portofolio ini belum termasuk saham yang kapitalisasi pasarnya Rp 1.844 triliun per Kamis pekan lalu.

Masalahnya, Anton memperkirakan, volatilitas bursa—yang indeksnya ditaksir bisa mencapai 3.100—akan sangat rentan sepanjang tahun ini. Tersentil sedikit oleh sentimen negatif, rentang fluktuasi harga akan bertambah lebar dan arah pergerakan pasar makin tidak menentu.

Imbasnya, dana milik asing yang berlimpah itu bisa kabur dari Indonesia. Kalau sudah begitu, ekonomi Indonesia dipastikan bakal terguncang karena dana yang keluar tidak seimbang dengan cadangan devisa Indonesia yang ”cuma” US$ 56,9 miliar.

Yandhrie Arvian


Terburuk Pasca-Perang Dunia

LUAR biasa dahsyat dampak krisis kredit macet perumahan (subprime mortgage) tahun lalu. Kredit macet itu tidak hanya merontokkan sektor keuangan Amerika Serikat, tapi juga mencetak ribuan penganggur baru dan mengantarkan ekonomi negeri itu ke jurang resesi.

Bukan hanya itu. Kredit macet itu sudah memakan korban baru. Selasa pekan lalu, seluruh bursa dunia rontok. Pelaku pasar khawatir paket pemulihan Presiden George W. Bush senilai US$ 145 miliar tak mampu mengobati kerusakan jantung ekonomi dunia itu. Malah dikhawatirkan krisis merembet ke bagian dunia yang lain. Apalagi, menurut pialang terkemuka George Soros, krisis ini terburuk setelah Perang Dunia II.

Heri Susanto, Indra Mutiara

Korban Berjatuhan

Krisis kredit macet perumahan telah meruntuhkan kejayaan para raksasa keuangan dunia. Tengok saja korban berikut ini

Citigroup Rugi US$ 9,83 miliar, hapus buku kredit US$ 18,1 miliar, memangkas 4.200 karyawan.

Merrill Lynch Rugi US$ 9,8 miliar, hapus buku kredit US$ 15 miliar, 1.600 karyawan dipecat.

Bank of America Laba anjlok tinggal US$ 268 juta, hapus buku kredit US$ 5,28 miliar, 1.150 karyawan dipecat.

Wachovia Laba anjlok tinggal US$ 51 juta, hapus buku US$ 1,7 miliar.

JP Morgan Chase Laba turun 34 persen menjadi US$ 2,97 miliar, memangkas 100 orang karyawan.

Sejarah Berulang

1929 ”Black Tuesday” menyerang bursa saham New York pada 29 Oktober 1929. Bursa kolaps dipicu oleh ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi masyarakat AS. Krisis begitu parah dan lama sehingga banyak pabrik, toko, dan bank tutup. Masyarakat kehilangan tabungan dan tempat tinggal. Pada 1932, seperempat penduduk AS menganggur. Resesi baru berakhir pada 1941, saat Amerika mulai terlibat Perang Dunia II.

1980 Krisis energi pada akhir 1970-an telah meruntuhkan ekonomi AS. Beberapa industri utama, seperti perumahan, manufaktur, dan otomotif, terpuruk bertahun-tahun. Inflasi menembus 10,3 persen dan pengangguran di atas 10 persen pada 1981. Untuk meredamnya, pemerintah memangkas pajak dan Federal Reserve menaikkan suku bunga.

2001 Dipicu oleh ambruknya saham-saham perusahaan dotcom (teknologi informasi) serta serangan teroris ke gedung World Trade Center pada 11 September 2001, ekonomi AS terguncang. Ketika itu, ekonomi melambat hingga di kisaran nol persen. Pengangguran melonjak ke 5,4 persen gara-gara perusahaan raksasa, seperti Lucent, Motorola, dan Hewlett-Packard, memecat puluhan ribu karyawan. Agar tak terjun ke jurang resesi, bank sentral AS memangkas suku bunga paling agresif sepanjang 17 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus