Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Demi Negara, Sang Pilot Dipenjara

Mahkamah Agung menghukum Pollycarpus 20 tahun penjara. Namun, bekas pilot Garuda itu menyangkal disebut pembunuh aktivis Munir.

28 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBIL mengibaskan bendera, Pollycarpus Budihari Priyanto dipaksa masuk kendaraan tahanan kejaksaan. Disaksikan anak, istri, dan tetangganya, Polly berkoar-koar tak bersalah. ”Demi Merah-Putih..., demi negara..., merdeka!” teriak Polly saat masuk ke mobil Isuzu Panther B-2107-BQ, yang membawanya ke penjara Cipinang, Jakarta Timur.

Penahanan pada Jumat malam pekan lalu itu terkait putusan Mahkamah Agung yang menghukum Polly 20 tahun penjara. Ia dinyatakan terbukti merencanakan pembunuhan terhadap Munir. Aktivis hak asasi manusia itu tewas akibat diracun dalam perjalanan ke Amsterdam pada 7 September 2004.

Eksekusi penahanan Polly diawali pembacaan enam lembar salinan putusan MA atas permohonan peninjauan kembali Kejaksaan Agung. Pembacanya Suryadharma, panitera Pengadilan Negeri Tangerang, bertempat di rumah Pollycarpus di kompleks Pamulang Permai I, Tangerang, Banten.

Didampingi istri dan anak-anaknya, Polly menggeleng-gelengkan kepala mendengar pembacaan selama 20 menit putusan MA itu. Ketika disodori surat berita acara penahanan, ia menolak meneken. Polly yang esoknya berulang tahun ke-47 itu tetap digelandang ke penjara.

Tangis Yosepha Hera Iswandari tak terbendung. Ia tak tega melihat suaminya meronta. Suasana tegang ini diwarnai gonggongan anjing peliharaan Polly. Puluhan wartawan yang menunggu sejak petang berebut mengabadikan detik-detik penahanan bekas pilot Garuda itu. ”Negara ini hancur di tangan penegak hukum,” ucap Polly keras-keras ke arah para juru warta. Hera ikut masuk ke mobil tahanan yang kemudian meluncur ke Cipinang melalui Pondok Cabe-Lebak Bulus, lalu masuk jalan tol Pondok Indah ke arah Taman Mini.

Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung, yang memimpin langsung sidang peninjauan kembali (PK) kasus Munir, Jumat siang pekan lalu. Anggotanya Parman Suparman, Djoko Sarwoko, Paulus Effendy Lotulung, dan Harifin A. Tumpa. Mereka kompak memutuskan Pollycarpus bersalah.

Menurut Djoko Sarwoko, dari lima hakim tidak ada perbedaan pendapat atau dissenting opinion. Putusan ini otomatis membatalkan kasasi yang dijatuhkan Mahkamah Agung sebelumnya. Pada 3 Oktober 2006, MA menyatakan Polly tidak terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap aktivis Munir. Ia cuma terbukti menggunakan dokumen palsu. Karena itu, Polly hanya dihukum dua tahun penjara.

Djoko menjelaskan, majelis hakim juga berpendapat pembunuhan terhadap Munir tidak terjadi dalam penerbangan antara Jakarta-Singapura. Pendapat ini memang berbeda dengan dakwaan jaksa sebelumnya bahwa pembunuhan terjadi dalam penerbangan Jakarta-Singapura. ”Keputusan kami dipengaruhi faktor pembuktian,” kata Djoko.

Djoko menambahkan, pertimbangan hukum dalam pengambilan putusan adalah adanya kekeliruan putusan hakim sebelumnya. Selain itu, ada bukti baru yang diajukan jaksa dalam PK. ”Bukti barunya, ada saksi yang melihat Polly membawa dua gelas minuman kepada Munir,” ujar Djoko.

Putusan PK ini diperkuat keterangan ahli, antara lain dokter Mun’im Idris dan I Made Gelgel. Keduanya menyebut arsenik atau racun keras yang merasuk ke dalam tubuh Munir, 87 persen arsenik level III dan 17 persen arsenik level V. Artinya, ”Racun mematikan itu diberikan delapan hingga sembilan jam sebelum Munir meninggal,” kata Djoko.

Selain keterangan ahli, putusan majelis juga didasari sejumlah pengakuan saksi. Misalnya, seorang saksi yang melihat Polly berdua dengan Munir di sebuah kafe di Bandar Udara Changi, Singapura. Saat itulah saksi tadi menyaksikan Polly membawa dua gelas minuman.

Hanya saja, kata Djoko, majelis belum dapat memastikan motif pembunuhan Munir. Ia menduga pembunuhan itu didasari motif politik. ”Karena Munir vokal dan keras bersikap terhadap kebijakan pemerintah dan sepak terjangnya dianggap membahayakan roda pemerintahan,” ujarnya.

Putusan Mahkamah Agung itu ditanggapi secara beragam oleh sejumlah kalangan. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Usman Hamid, berharap kasus Munir tidak berhenti sampai di sini. ”Aktor intelektualnya harus diungkap dan ditangkap,” kata Usman.

Istri almarhum Munir, Suciwati, mengaku tidak puas dengan putusan majelis. Menurut Suciwati, masih banyak yang harus diungkap. Ia mencontohkan kemungkinan besar keterlibatan pejabat Badan Intelijen Negara (BIN). ”(Bisa jadi) mereka dalangnya,” ujar Suciwati.

Temuan Tim Pencari Fakta untuk kasus Munir menyebutkan, ada indikasi persekongkolan antara petugas Garuda dan pejabat BIN untuk melenyapkan nyawa Munir. Indikasinya catatan percakapan telepon antara Deputi V Bidang Penggalangan BIN Muchdi Pr. dan Polly. Sayangnya, pemeriksaan atas dugaan ini belum tuntas. Petinggi BIN seperti Hendropriyono (mantan Kepala BIN) maupun Muchdi belum diperiksa secara intensif.

Pollycarpus sendiri akan mengajukan PK. Kuasa hukumnya, Muhammad Assegaf, mengatakan, undang-undang yang mengatur PK hanya bisa diajukan sekali. Namun, atas dasar hak terdakwa, langkah tersebut tetap akan ditempuh. Caranya, kliennya akan mengajukan berbagai ahli hukum pidana yang menyatakan bahwa PK adalah hak terdakwa. ”Yang diputuskan itu PK jaksa,” ujarnya.

Pengamat hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satrio, berpendapat PK atas PK itu tidak bisa dilakukan. ”Tidak ada ketentuan yang mengatakan PK untuk melawan PK,” ujarnya. Meski demikian, Rudy tak menampik bahwa dalam hukum acara pidana, yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. ”Mestinya kejaksaan tidak mempunyai hak PK,” katanya.

Elik, Dimas, Sandy, Iqbal, Widi, Bayu, Anton


Perjalanan Pollycarpus

7 September 2004 Aktivis Munir tewas akibat diracun.

18 Maret 2005 Polly ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Munir.

9 Agustus 2005 Polly menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

1 Desember 2005 Polly dituntut hukuman penjara seumur hidup.

12 Desember 2005 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Polly 14 tahun penjara. Polly menyatakan banding.

27 Maret 2006 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengukuhkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Polly tetap dihukum 14 tahun penjara. Polly mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

3 Oktober 2006 Mahkamah Agung memutus Polly tak terbukti membunuh Munir. Polly dinyatakan hanya terbukti memalsukan dokumen perjalanan. Hukuman Polly diubah menjadi 2 tahun penjara.

3 November 2006 Polly masuk penjara Cipinang.

25 Desember 2006 Polly bebas setelah mendapat korting hukuman dua bulan.

27 Juli 2007 Kejaksaan Agung mendaftarkan permohonan peninjauan kembali (PK) kasus Munir ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

25 Januari 2008 Mahkamah Agung memutuskan permohonan PK Kejaksaan Agung. Polly dihukum 20 tahun. Polly mengajukan PK atas putusan PK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus