Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burhanuddin Muhtadi*
PROSES penentuan kandidat pejabat publik oleh partai politik merupakan salah satu indikator utama demokratisasi internal partai. Dalam leksikon ilmu politik, proses nominasi calon dibedakan menjadi dua cara: mekanisme pemilihan yang bersifat demokratis dan nondemokratis (Serra, 2006). Model nondemokratis, biasanya, melalui negosiasi pintu tertutup atau dikenal dengan istilah smoke-filled rooms, ketika elite menentukan calon tanpa melibatkan ruang partisipasi kader, apalagi konstituen partai secara luas.
Mekanisme demokratis melibatkan pemilihan pendahuluan, baik secara tertutup—hanya anggota partai yang berhak memilih—maupun terbuka. Mekanisme demokratis ini lebih menitikberatkan pada aspek elektabilitas kandidat dalam memenangi pemilu, sedangkan cara nondemokratis menekankan aspek loyalitas calon terhadap partai. Kedua aspek ini kadang sulit dikompromikan. Calon yang terpilih melalui pemilihan pendahuluan sering tidak memiliki keterikatan dengan partai. Calon yang direkomendasikan melalui keputusan elite ada kemungkinan kalah dalam pemilihan umum karena tidak populer.
Dalam banyak kasus di Indonesia, partai cenderung mencampuradukkan mekanisme yang bersifat demokratis dan nondemokratis ketika menentukan calon yang diusung. Memang pemilihan pendahuluan belum pernah dilakukan partai politik mana pun di Indonesia. Tapi, sejak rezim pemilihan langsung kepala daerah dan sistem pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan sistem suara terbanyak dilakukan, beberapa partai mempertimbangkan elektabilitas calon sebagai konsiderans utama.
Elektabilitas ini, menurut Donald Stokes (1963), merujuk pada kekuatan atomik calon (valence) dalam menarik dukungan, entah itu karisma, entah popularitas, entah reputasi bersih dari korupsi. Dalam pilkada, misalnya, banyak partai tidak mendukung kadernya maju karena dinilai memiliki elektabilitas rendah berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga independen.
Oligarki Politik
Nuansa nondemokratis, bagaimanapun, masih sangat kental dalam penentuan calon pejabat publik. Survei yang menunjukkan elektabilitas calon sering kali hanya menjadi salah satu pertimbangan. Oligarki politik masih dominan. Keputusan mengusung calon selalu menjadi monopoli segelintir elite. Negosiasi tertutup dan transaksional selalu mewarnai keputusan partai. Pertimbangan elektabilitas ataupun loyalitas calon sering dikalahkan oleh faktor uang. Banyak calon pejabat publik yang tidak populer, bukan pula kader partai, tiba-tiba lolos seleksi karena membayar "uang perahu" untuk mendapatkan tiket pencalonan.
Itulah yang kita saksikan dalam perhelatan menuju pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Juli 2012. Publik dipaksa mengikuti sandiwara politik murahan dalam penentuan calon gubernur dan wakil gubernur. Pemimpin teras partai terjun langsung dalam menentukan dua hal. Pertama, calon yang bakal diusung. Meskipun pengurus tingkat wilayah diperkenankan menjaring bakal calon, elite di tingkat pusat berhak menganulir. Kedua, elite partai juga memiliki hak eksklusif menentukan mitra koalisi dalam pemilihan gubernur nanti.
Alih-alih melibatkan kader dan konstituen partai, keputusan mendukung calon gubernur memantik resistensi kuat dari kalangan internal pengurus. Keputusan Golkar mengusung Alex Noerdin sebagai calon gubernur, misalnya, menyisakan kekecewaan di sebagian elite karena dinilai tidak memiliki parameter jelas. Jika landasan pemilihan calon kepala daerah berdasarkan survei, seharusnya Tantowi Yahya yang berhak mendapatkan tiket karena elektabilitasnya tertinggi kedua setelah Fauzi Bowo. Dukungan Partai Persatuan Pembangunan terhadap pasangan Alex-Nono Sampono malah didemo kader karena keduanya bukan kader partai berlambang Ka’bah.
Keputusan partai lain dalam menentukan calon juga takkan bulat karena dilakukan di ruang-ruang tertutup. Selain secara internal menimbulkan gejolak, pemilihan calon gubernur yang transaksional dan mengabaikan partisipasi konstituen akan berakibat fatal dalam pemilihan. Gejala split-ticket voting atau pilihan konstituen yang berbeda dengan garis keputusan partai sangat mungkin terjadi. Dalam pemilihan secara langsung, elektabilitas figur lebih dominan menjelaskan kemenangan dalam pilkada ketimbang kekuatan partai.
Penentuan calon gubernur yang sesuai dengan preferensi kader akan memudahkan akseptabilitas calon karena didukung segenap anggota (straight-ticket voting). Dalam rezim pemilihan kepala daerah, calon gubernur yang didukung seharusnya tidak hanya mampu memaksimalkan dukungan dari konstituen partai pengusung, tapi juga mampu mencuri dukungan dari pemilih partai lain yang mendukung calon gubernur yang berbeda.
Trade-off
DRAMA politik dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta terlihat oleh begitu lamanya proses tarik-ulur partai-partai dalam menentukan calon. Ketika tulisan ini dibuat, Fauzi Bowo belum menentukan secara definitif pasangannya. Setidaknya ada empat partai yang terlibat dalam tarik-menarik kepentingan, yakni Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Amanat Nasional.
Fauzi Bowo memang memiliki kans kuat dipilih Majelis Tinggi Partai Demokrat sebagai calon gubernur. Sebagian kalangan internal partai menginginkan Fauzi menggandeng Nahrowi Ramli. Tapi, selain alasan "kimiawi," pilihan terhadap Nahrowi bisa diibaratkan seperti "jeruk makan jeruk". Keduanya berasal dari partai dan latar belakang etnis yang sama, sehingga mengurangi peluang mendapat dukungan dari pemilih partai lain.
Jika Fauzi harus memilih bakal calon wakil gubernur yang disodorkan partai lain, dia menghadapi buah simalakama. Bagaimanapun, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan DKI mengharuskan kemenangan 50 persen plus satu bagi setiap calon pasangan kepala daerah. Jika kurang, akan digelar pemilihan gubernur putaran kedua. Di putaran kedua, pemilih pasangan gubernur dan wakil yang tidak lolos di putaran pertama cenderung mendukung lawan Fauzi.
Trade-off yang membuat Fauzi gamang adalah, jika dia mendapuk calon wakil dari PDI Perjuangan, PKS mengusung calon sendiri karena memiliki kursi di dewan perwakilan rakyat daerah yang mencukupi. Kompetisi elektoral makin menarik jika PKS memutuskan Hidayat Nur Wahid sebagai calon gubernur. Ini lampu kuning bagi Fauzi karena popularitas Hidayat tinggi dan didukung solid konstituen PKS. Namun, jika Fauzi memilih Triwisaksana sebagai calon wakil, PDI Perjuangan bisa saja berkoalisi dengan Gerindra untuk mengusung calon gubernur seperti Joko Widodo. Jika calon gubernur dan wakil gubernur dari partai ada tiga pasangan, ditambah calon perseorangan yang lolos verifikasi, kans Fauzi Bowo menang satu putaran makin berat.
Secara elektoral, PKS memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan PDI Perjuangan. Jika PKS bisa dirangkul, kelemahan Fauzi di kalangan pemilih kelas menengah bisa ditutupi karena PKS memiliki basis kelas menengah. Adapun basis dukungan PDI Perjuangan berasal dari kelas menengah-bawah, yang relatif sudah bisa "dijinakkan" Fauzi. PKS juga relatif solid mengkonsolidasi kadernya karena adanya doktrin tunduk pada arahan pimpinan (khitob qiyadi) jika sudah diputuskan calon gubernur dan wakil gubernur yang harus didukung.
Masalahnya adalah citra PKS makin berantakan jika pada akhirnya mengusung Fauzi Bowo. Bagaimanapun Fauzi Bowo adalah kompetitor PKS dalam pemilihan gubernur pada 2007. Dibanding massa partai yang lain, pemilih PKS juga lebih kritis terhadap kinerja pemerintahan Fauzi pada periode pertama. Jika PKS mendukung Fauzi, sedikit-banyak akan diabaikan oleh simpatisan dan konstituen mereka.
Di atas segalanya, peluang calon independen, terutama pasangan Faisal Basri dan Biem Benjamin, belum tertutup asalkan mampu lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum. Di mata pemilih, pasangan ini tampil sebagai credible alternative dibanding calon gubernur dari partai politik. Proporsi kelas menengah di DKI Jakarta juga lebih besar empat kali lipat dibanding provinsi-provinsi lain. Pemilih yang mengalami gejala deparpolisasi di ibu kota negara ini juga jauh lebih besar. Inilah pangsa pasar elektoral yang potensial mendukung Faisal-Biem. Jika pasangan Faisal-Biem gagal memenuhi syarat, potensi golput dalam pemilihan gubernur mendatang semakin besar. Pemilih akan dirugikan karena disodori pilihan yang terbatas.
*Pengajar FISIP UIN Jakarta dan Peneliti Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo