Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mangkat pada usia 96 tahun di Singapura, Liem Sioe Liong atau Sudono Salim meninggalkan jejak yang dalam di dunia bisnis—juga politik—Indonesia. Bisnis taipan kelahiran Fujian, Cina, 16 Juli 1916, itu ibaratnya naik dan turun bersama Soeharto. Keduanya mulai saling mengenal tatkala Soeharto menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Jawa Tengah, pada 1950-an.
Berkat perlindungan politik Soeharto serta kepiawaian manajerial, konglomerasi Om Liem—sebutan akrab Liem Sioe Liong—merambah cepat ke berbagai sektor usaha: bank, makanan, semen, televisi, properti, otomotif, retail, dan sebagainya. Usahanya menjadi salah satu ikon pertumbuhan ekonomi Orde Baru.
Deraan krisis ekonomi, disusul badai politik, menumbangkan Soeharto pada 1998. Bisnis Om Liem ikut goyah. Dia terpaksa menyerahkan 108 perusahaannya ke negara untuk membayar utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Rp 52 triliun. Taipan itu terpaksa mengungsi ke Negeri Singa di usia sepuh: rumahnya di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, dirusak massa dalam kerusuhan Mei 1998.
Pekan lalu wartawan Tempo Y. Tomi Aryanto hadir dan melaporkan dari rumah duka—tempat jenazah Om Liem dibaringkan—di kawasan Mount Vernon, Jalan Aljunied, Singapura. Bobby Chandra melengkapinya dari aspek pasang-surut bisnis sang taipan. Pengamat bisnis Lin Che Wei menuliskan pandangannya tentang konglomerasi Grup Salim sekarang dan di masa datang.
Rumah duka bagi jenazah Liem Sioe Liong alias Sudono Salim di kompleks Mount Vernon Parlours 1, Jalan Aljunied, Singapura, itu ramai seperti sedang menggelar resepsi—minus musik dan panggung hiburan. Di lokasi itu keluarga Salim mendirikan tenda-tenda besar, lengkap dengan fasilitas penyejuk udara yang bekerja sepanjang hari.
Sekitar 300 kursi dan sejumlah meja bundar berlapis taplak putih disediakan untuk ribuan pelayat yang mengalir seperti tak ada habisnya. Suasana murung kurang terasa lantaran semarak warna-warni ribuan karangan bunga tanda belasungkawa yang dikirim oleh relasi dari berbagai belahan dunia. Saban hari karangan bunga itu terus bertambah, hingga menyesaki tiap sudut di bawah tenda dan berderet sampai jalanan di depannya.
Wafat di usia 96 tahun pada Ahad, 10 Juni, pukul 15.08 waktu Singapura, kabar mangkatnya Om Liem—sapaan akrab Liem Sioe Liong—segera menyebar ke seluruh penjuru dunia. Sejumlah petinggi pemerintahan dan politikus, pelaku bisnis, serta mantan pejabat Indonesia dan Singapura silih berganti menyampaikan simpati. Tak sedikit pula tamu dari mancanegara yang datang berbagi duka.
Kepada para kerabat, rekan, atau kenalan yang datang bertakziah itu, salah satu putra Om Liem, Anthoni Salim, hampir selalu bertanya tentang hal yang sama. "Sudah makan belum? Makan dulu, ya…."
Sambil berkata begitu, ia menunjuk ke arah deretan sajian aneka rupa, yang juga seperti tanpa henti didatangkan dari dapur Hotel Mandarin Orchard, dari pagi hingga dinihari berikutnya. Selama itu pula puluhan pelayan berseragam hitam-hitam dengan sigap berbagi tugas menghampiri setiap tamu yang baru duduk, lalu menawarkan beragam pilihan minuman.
Berkemeja lengan panjang putih dan bercelana krem, sesekali Anthoni keluar mengantar tamunya hingga masuk ke mobil mereka dan berlalu. Untuk tamu tertentu, ia akan mengantar bersama kakak tertuanya, Albert. Misalnya saat mengantar mantan presiden Megawati Soekarnoputri atau mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung, yang datang pada Senin sore pekan lalu.
Mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Osman Sapta Odang, yang melayat pada Rabu sore pekan lalu, juga pulang diiringi kakak-adik itu. Selebihnya, Anthoni lebih banyak tampil sebagai kepala keluarga baru dari dinasti konglomerat ini.
Hanya, hingga Rabu malam pekan lalu, belum tampak anggota keluarga mendiang mantan presiden Soeharto yang hadir. Dari kerabat Keluarga Cendana, baru Tata atau Ardhia Pramesti Regita Cahyani, bekas istri Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, yang memang bermukim di Singapura, yang terlihat pada Selasa malam.
"Kiriman bunganya sudah datang. Orang-orangnya mungkin menyusul di akhir pekan," kata Jamin Hidajat, anak buah Anthoni di PT Bintan Inti Industrial Estate, yang turut mempersiapkan perlengkapan dan upacara di Mount Vernon. "Ada delapan hari sebelum pemakaman, sehingga orang bisa datang bergantian memberi penghormatan terakhir."
Selama delapan hari persemayaman itu, jenazah Om Liem, yang mengenakan setelan biru gelap, berkemeja putih, dan berdasi jingga, ditempatkan dalam peti berpelitur cokelat yang terbuat dari kayu cherry. Setiap lepas magrib, anak-cucu sang taipan menggelar doa dengan panduan sejumlah rahib Buddha. Rangkaian doa akan ditutup dengan upacara penguburan di pemakaman Cina yang berlokasi di Choa Chu Kang, Singapura, pada Senin siang pekan ini.
Dalam tiga tahun terakhir, kondisi kesehatan Om Liem menurun akibat usia lanjut. Kakek 14 cucu yang telah dikaruniai enam cicit itu kerap keluar-masuk rumah sakit lantaran beberapa masalah degeneratif. "Tapi tak ada penyakit khusus yang diderita," kata Fransiscus Welirang, salah seorang menantunya. Suami Mira Salim, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk sejak 1995, ini menambahkan, "Beliau dirawat selama sepuluh hari di Raffles Hospital sebelum meninggal di tengah keluarga."
Ketika pesta besar-besaran di Hotel Shangri-La Singapura digelar untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-90, September 2005, Om Liem sudah tak sanggup berjalan sendiri. Ia harus dipapah dan naik panggung dengan bantuan perangkat hidrolik. Pada saat itu pun sebenarnya penglihatannya sudah mulai kabur dan digerogoti glaukoma. Lalu pada 2009 ia praktis mengalami kebutaan.
Kondisi istrinya, Lie Las Nio alias Lilani, tak lebih baik dan mulai menderita berbagai gangguan karena usia uzur. Kerabat dekat keluarga ini mengatakan, sudah setahun belakangan ini Lilani hanya bisa duduk menonton televisi dan jarang mau bicara. "Melihat hal itu pula keluarga tak langsung memberi tahu Tante ketika Om Liem sudah meninggal. Mereka takut kabar itu akan memperburuk keadaannya," katanya sambil menunjukkan foto Lilani yang sedang duduk menonton televisi.
Di Singapura, pasangan orang tua Albert, Andre, Mira, dan Anthoni ini tinggal di perumahan mewah di kawasan Katong, Mountbatten. Hanya orang yang benar-benar kaya yang mampu memiliki rumah di atas tanah itu. Di kawasan ini, rumah Om Liem termasuk di antara yang paling megah. Menempati area lebih dari 8.000 meter persegi, keluarga itu membelinya pada 1970-an. "Dulu mungkin hanya Sin$ 1-3 juta. Sekarang harganya bisa lebih dari Sin$ 100 juta (lebih dari Rp 730 miliar)," kerabat yang tak mau disebut namanya itu bertutur.
Di rumah itu tinggal pula Mira, yang praktis menemani kedua orang tuanya sejak mereka "mengungsi" dari rumah lama di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, yang habis dijarah dan dibakar massa dalam kerusuhan pada pertengahan Mei 1998. Adapun Albert, Andre, dan Anthoni belakangan membeli rumah di sebelah dan belakang kediaman Om Liem.
Peristiwa 1998 meninggalkan bekas traumatik bagi Om Liem. Bukan hanya lantaran hantaman krisis ekonomi yang memaksanya menyerahkan 108 aset kepada negara untuk melunasi utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 52 triliun lebih. "Om Liem benar-benar terpukul karena merasa terusir dari negeri yang turut ia bangun dari awal," kata Sudwikatmono, rekannya dalam kongsi yang kerap dijuluki "The Gang of Four" bersama Djuhar Sutanto alias Lin Wen Chiang dan Ibrahim Risjad. Sudwikatmono, yang sudah lebih dulu wafat, menyampaikan hal itu dalam wawancara dengan Tempo pada 2003.
"Dwi, kapan ini ekonomi baik?" Sudwikatmono menirukan pertanyaan yang selalu disampaikan Om Liem bila mereka bertemu. Di balik harapannya pada perbaikan ekonomi itu, tersimpan pula keinginan agar suatu hari pria kelahiran Fujian, Cina, 16 Juli 1916, tersebut bisa kembali ke Jakarta dan menutup mata di tanah yang telah memberinya kemakmuran ini.
Fransiscus Welirang, atau yang akrab disapa Franky, mengakui ada satu periode ketika Om Liem sempat mengutarakan keinginannya untuk kembali ke Gunung Sahari. Beberapa kali pula pendiri kerajaan bisnis di bawah bendera Grup Salim ini menengok rumahnya yang porak-poranda. "Tapi akhir-akhir ini saya tidak pernah lagi mendengar soal itu dibicarakan," kata Franky. Hingga akhir hayatnya, rumah di Gunung Sahari itu dibiarkan penuh jelaga dan tak diperbaiki.
Dengan alasan agar lebih dekat dengan ibu mereka yang tinggal di Singapura, anak-anak Om Liem pun akhirnya bersepakat untuk mengebumikan ayah mereka di Choa Chu Kang. "Selain karena ada saudara lain yang sudah dimakamkan di sana. Selebihnya karena alasan praktis saja," Franky menjelaskan.
Satu keinginan Om Liem memang tak terwujud. Tapi harapannya untuk membuat konglomerasinya bangkit kembali tercapai dengan cepat melalui tangan Anthoni. Nama Liem Sioe Liong sendiri kembali "bersih" setelah pemerintah Presiden Megawati memberikan surat lunas atas utang BLBI yang ia tanggung, dengan hasil penjualan aset yang diserahkan mencapai Rp 20-an triliun.
Banyak pengamat dan pelaku usaha yang mengatakan pulihnya imperium bisnis Grup Salim berkat keberhasilan mempertahankan mesin uang mereka, yakni PT Bogasari dan Indofood. Tak sedikit pula yang menduga adanya peran Chairul Tanjung, bos Para Group, yang kini beralih nama menjadi CT Corp, yang selama ini memutar duit Salim untuk berekspansi di banyak ladang usaha. Tapi berkali-kali soal ini dibantah oleh Anthoni dan Chairul.
Yang pasti, sejak 2004, Anthoni, yang sebelumnya hanya bermain "di balik layar", mulai berani tampil dan mengambil alih kepemimpinan di Indofood, yang sebelumnya diduduki Eva Riyanti Hutapea. Dia juga langsung mengendalikan Grup Salim dan berhasil menguasai kembali berbagai aset yang dulu mereka lepas. Salah satunya kepemilikan di PT Indosiar.
Sejak itu, Indofood seperti melaju. Pada Oktober 2010, mereka sukses masuk bursa sebagai perusahaan publik, dan berhasil menangguk modal segar dari masyarakat sekitar Rp 6,29 triliun. Produk mi instan mereka juga didongkrak hingga mencapai 15,7 miliar per tahun, dan dipasarkan ke 80 negara.
Dalam laporan keuangan per 31 Desember 2011, hasil penjualan bersih perusahaan ini tercatat Rp 45,33 triliun, tumbuh 18,04 persen dibanding perolehan tahun sebelumnya, yakni Rp 38,4 triliun. Laba yang bisa dibukukan adalah Rp 4,89 triliun, atau bertambah 24,31 persen dari tahun sebelumnya. Dengan catatan ini, Bursa Efek Indonesia memperkirakan nilai kapitalisasi Indofood berkisar Rp 41,2 triliun.
Seperti di dalam negeri, investasi Grup Salim di luar negeri juga menggurita di lebih dari 40 negara. Banyak uang yang ditanam itu dikendalikan melalui perusahaan mereka yang berbasis di Hong Kong, yaitu First Pacific Company Limited, yang dirintis Om Liem sejak 1981.
Saat ini, menurut kerabat Salim yang ditemui di Singapura, First Pacific dipimpin oleh anak buah Anthoni asal Filipina, Manuel V. Pangilinan. Pertumbuhan nilai aset perusahaan ini juga tak kalah laju, dari US$ 1,8 miliar pada 2003, pada akhir 2011 nilainya sudah mencapai US$ 7,88 miliar atau sekitar Rp 70 triliun. Salah satu investasi terbesar mereka ada di Filipina, melalui kepemilikan di Philippine Long Distance Telephone Company dan Metro Pacific Investments Corporation.
Dari keempat anak Om Liem, tak ada yang ragu bahwa Anthoni adalah putra mahkota yang akan mewarisi kepemimpinan sang ayah. Namun, di tengah kedukaan yang masih lekat, belum ada yang mau bicara soal ini. "Itu urusan nanti. Kami tidak bicara bisnis di sini," kata Franky.
Sambil menjabat erat dengan kedua tangannya, kepada Tempo Anthoni mengaku sangat beruntung memiliki ayah seperti Om Liem. "He is a great man," katanya tentang almarhum. "Tak ada ayah yang lebih baik daripada Om Liem. I’m very lucky to have a father like him…."
Y. Tomi Aryanto (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo