Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SISTEM perpajakan negeri ini mengandung cacat mendasar. Kasus dugaan suap pajak mutakhir, yang melibatkan PT Bhakti Investama Tbk dan Tommy Hindratno, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultan Kantor Pajak Sidoarjo, memperjelas kelemahan nyata itu. Bukti lain, kendati telah berkali-kali dibawa ke meja hijau, persekongkolan wajib pajak—terutama korporasi—dengan petugas kelihatannya berjalan terus "aman sentosa". Dalam kasus Tommy, uang tunai Rp 280 juta dalam amplop cokelat yang ia terima dari James Gunardjo—yang disangka utusan perusahaan tadi—diduga terkait dengan posisinya sebagai pejabat pengawas dan konsultan pajak.
Sistem pajak yang berlaku sekarang tak berhasil menghalangi pertemuan tak etis petugas dan utusan perusahaan. Perbaikan agaknya sekadar "membedaki" sistem di sana-sini. Hasilnya tak cukup efektif mencegah lahirnya kasus demi kasus. Tanpa perubahan besar, sistem akan terus memproduksi "bintang korupsi" seperti Bahasyim, Gayus Tambunan, dan mungkin juga Dhana Widyatmika dan Tommy Hindratno—dua muka baru yang kasusnya sedang berjalan.
Kita tahu perhitungan pajak di sini menggunakan sistem self-assessment. Wajib pajak mendapat kepercayaan menghitung sendiri pajaknya. Setelah itu, wajib pajak membayar sesuai dengan perhitungan sendiri itu. Direktorat hanya akan memeriksa perhitungan wajib pajak yang ditengarai tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Bila terdapat perbedaan jumlah pajak yang tak terselesaikan melalui mekanisme hukum pajak, pengadilan pajaklah yang akan memutuskan perkara selisih perhitungan yang sangat lumrah terjadi itu. Putusan pengadilan pajak bersifat final, meskipun wajib pajak yang tak puas bisa menempuh peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
Masalah muncul ketika petugas pajak gemar "beranjangsana" memenuhi undangan wajib pajak atau malah berinisiatif menemui wajib pajak, terutama yang tergolong kakap. Wajib pajak nakal biasanya memilih membayar pajak sekecil mungkin walaupun harus membayar uang suap besar untuk petugas. Toh, jika ditotal-total, jumlah yang dikeluarkan masih lebih kecil daripada bila ia membayar dengan tarif normal. Perselingkuhan ini melahirkan kerugian besar untuk negara. Kasus Bahasyim, Gayus, Dhana, Tommy, dan entah siapa lagi yang tak terungkap sudah mengakibatkan pajak ratusan miliar rupiah lenyap.
Salah satu penyebab keadaan buruk itu adalah sistem yang tak memberikan insentif untuk si jujur dan disinsentif untuk mereka yang serong. Kendati pernah terbukti menilap pajak, sebuah perusahaan akan diperlakukan sama saja dengan perusahaan yang membayar dengan baik. Semestinya Direktorat Pajak memberikan insentif berupa pengurangan tarif pajak untuk wajib pajak lurus dan menambah tarif untuk perusahaan yang lancung.
Direktorat Pajak bisa meniru Direktorat Bea dan Cukai, yang memasang "jalur biru" dan "jalur merah" di bandar udara. Mereka yang selama ini tidak taat pajak sudah sepantasnya diharuskan melalui "jalur merah", misalnya dengan pengawasan lebih ketat dan tarif lebih tinggi. Dengan mengurangi "tekanan" pada wajib pajak jujur, misalnya dengan tidak mencari-cari alasan untuk memeriksa pembukuan, Direktorat punya cukup tenaga untuk mengejar yang bandel.
Perombakan sistem, juga penindakan terhadap yang curang, akan mengurangi lahirnya orang pajak yang suka mengamalkan aji-aji pagar makan tanaman.
berita terkait di halaman 84
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo