Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tegak di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, rumah itu lama tak bertuan. Lumut dan sisa jelaga menyisakan corak abu-abu di seluruh tembok. Bagian depan bangunan dipagari seng hijau dan biru yang dipasang melintang.
Di sinilah Sudono Salim, taipan pendiri Salim Group, berdiam selama beberapa dekade, sebelum berpindah ke Singapura—karena kerusuhan Mei 1998.
Ketika itu massa mengamuk di jalan-jalan di Jakarta. Orang-orang menjarah dan membakar mobil serta toko. Gumpalan asap membubung di hampir seperempat wilayah Jakarta, tempat orang melampiaskan kemarahan kepada etnis Tionghoa yang ketakutan. Rumah Om Liem—begitu ia disapa—tak luput dari incaran. "Mereka membakar rumah Om Liem," kata Sastiyah Warman, perempuan asal Cirebon yang sejak 1990 membuka warung kopi di seberang rumah Om Liem.
Dalam wawancara dengan New York Times, setahun setelah tragedi itu, Anthoni Salim, putra ketiga Liem, menuturkan nestapa yang menimpa ayahnya. Para perusuh mengeluarkan potret ayahnya, menyayat-nyayatnya, serta mencoretkan kata-kata amat kasar di pintu gerbang. Mereka juga mencoba membakar rumah di Gunung Sahari.
Sejak peristiwa itu, Om Liem menetap di Negeri Singa. Ia tak pernah kembali ke Indonesia hingga ajal menjemputnya dalam usia 96 tahun di Rumah Sakit Raffles, Singapura.
Rumah Liem Sioe Liong di Gunung Sahari seperti simbol meredupnya kedigdayaan Salim Group, imperium bisnis yang ia bangun selama hampir lima dekade. Krisis ekonomi yang melanda Asia pada 1997 menjalar ke Asia. Para baron bisnis ambruk terbelit utang, termasuk keluarga Liem. Ditabalkan sebagai orang terkaya Indonesia versi Forbes pada 1992, nilai kekayaan Om Liem ketika itu US$ 2,8 miliar atau Rp 26 triliun. Enam tahun kemudian, keluarga Om Liem malah berutang Rp 52 triliun kepada negara.
Sudono Salim mengawali bisnisnya dari Semarang pada 1950-an sebagai penyuplai kebutuhan Komando Daerah Militer Diponegoro, yang saat itu dipimpin Soeharto. Setelah hijrah ke Medan pada 1952, Salim memperluas koneksi dengan pengusaha Cina di Singapura dan Hong Kong. Pabrik sabunnya menjadi salah satu pemasok ke Tentara Nasional Indonesia. Perniagaannya diperluas ke tekstil dan perbankan. Om Liem mendirikan Central Bank Asia pada 1957, yang menjadi BCA tiga tahun kemudian.
Lelaki kelahiran Fukien di Fujian, Cina, itu membangun dinasti melalui kedekatan politik dan bisnis. Salim memanfaatkan Mayor Soedjono Hoemardani, Asisten Logistik Panglima Kodam Diponegoro, sebagai jembatan bisnis. Ketika Soeharto naik ke puncak kekuasaan pada 1966, Soedjono didapuk sebagai asisten pribadi Presiden. Om Liem ikut melambung ke puncak. Dia memperoleh bermacam-macam monopoli semasa Orde Baru. Ia menggaet kuasa monopoli impor cengkeh dan pengolahan gandum impor.
Tonggak bisnis Om Liem dipacak dalam CV Waringin Kentjana. Dia menggandeng tiga konco kental: Ibrahim Risjad, Sudwikatmono, dan Djuhar Sutanto. Mereka dikenal sebagai The Gang of Four. Bermodal pinjaman pemerintah, empat sekawan itu membangun pabrik terigu Bogasari di Tanjung Priok pada 1970. Hak itu dinikÂmati Bogasari bertahun-tahun. Kini Bogasari menjadi anak usaha produsen mi instan PT Indofood Sukses Makmur.
Ekspansi bisnis Salim betul-betul melebar pada periode 1970-1990. Pada 1975, kelompok ini mendirikan pabrik semen PT Indocement Tunggal Prakarsa, yang nyaris memonopoli perdagangan semen di Tanah Air. Kedekatan Om Liem dengan Keluarga Cendana bertambah mesra sejak Sudwikatmono, adik sepupu Soeharto, bergabung dengan Grup Salim. BCA menyodorkan 32 persen saham kepada dua anak Soeharto, Siti Hardijanti dan Sigit Harjojudanto.
Lewat Grup Salim, Om Liem mengejar pangsa luar negeri. Pilihan ini, salah satunya, didasari intuisi bisnis yang tajam. Pada 1990, misalnya, perusahaan itu berinvestasi di Moskow, Rusia, sebesar US$ 15,8 juta. Perihal investasi di luar negeri grup bisnis Salim tak bisa dilepaskan dari First Pacific Company, yang berdiri pada 1981 di Hong Kong. Lewat tangan Anthoni bersama Manuel Pangilinan di First Pacific, Om Liem kepincut membeli Hagemeyer di lantai bursa Belanda. Setelah dibeli First Pacific, saham perusahaan parfum yang tadinya dihargai 26 gulden itu melejit hingga 67 gulden. Insting bisnis Om Liem terbukti jitu.
Soal insting bisnis itu, Peter F. Gontha, pengusaha dan promotor musik senior, ingat betul peristiwa pada Juli 1979. Kala itu ia menjabat kepala pemasaran di NCR, sebuah perusahaan perangkat lunak komputer. Kerjanya menjajakan sistem komputerisasi dari satu kantor ke kantor lain. Teknologi komputer barang langka ketika itu. Peter bertemu dengan Om Liem di kantor pusat BCA, yang saat itu masih bermarkas di Asemka, Jakarta Barat.
Sehabis meninjau karyawannya, Om Liem menghampiri Peter. "You mesti bikin komputer. Biar bisa bikin cepat kerja. Bank ini transaksinya sudah banyak," kata Om Liem dengan bahasa Indonesia terpatah-patah, seperti ditirukan Peter kepada Tempo di Hotel Mulia, awal pekan lalu. Saat mereka bertemu itu, usia Om Liem sudah 63 tahun.
Dagangan Peter seharga US$ 65 ribu langsung laku empat unit—dibeli oleh Om Liem. "Intuisi bisnisnya hebat, walau (Om Liem) sudah tua. BCA berkembang, salah satunya, karena berteknologi canggih," kata Peter. Kalkulasi cermat adalah sarat penting lain dalam bisnis. Ini yang sepertinya alpa disetel Grup Salim ketika jaringan niaga mereka telah menggurita. Perusahaan itu terjun ke pelbagai bidang dengan utang yang dikucurkan oleh bank milik sendiri.
Celakanya, bank tersebut seperti melupakan asas kehati-hatian. Seperti sejumlah konglomerasi lain, Grup Salim jorjoran berutang kepada bank asing. Industri dalam negeri ibarat rumah berfondasi pasir. Ketika krisis moneter menghajar Asia pada 1997, kekuasaan Orde Baru limbung. Harga bahan bakar dan bahan kebutuhan pokok naik.
Mahasiswa turun ke jalan menuntut Soeharto mundur. Empat mahasiswa tewas ketika berunjuk rasa di depan kampus mereka. Kerusuhan merembet ke mana-mana. Tak kuat menahan tuntutan, Soeharto mengibarkan bendera putih pada 21 Mei 1998 setelah berkuasa 32 tahun. Bisnis Om Liem ikut roboh. Melemahnya dolar membuat Grup Salim tak kuat menanggung utang. Datangnya Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai penguasa baru Indonesia meminta pencabutan hak istimewa seperti yang diperoleh Grup Salim.
Sebelum krisis, Grup Salim memiliki pendapatan US$ 20 miliar dengan 500 anak usaha dan 200 ribu karyawan. Setelah krisis, Grup Salim terpaksa melepas 108 perusahaan, termasuk BCA, untuk menutup utang Rp 52 triliun kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Pada masa sulit itu, ekonom Independent Research & Advisory, Lin Che Wei, mengatakan terjadi kisruh antara generasi kedua Salim dan generasi kedua kawan sekongsinya, Sudwikatmono, Djuhar, dan Ibrahim. "Ada beberapa aset yang dipakai untuk menebus utang. Level kedua saling menuntut," ujar Che Wei kepada Martha Tertina dari Tempo. Padahal, di tangan Salim, masalah cenderung bisa tuntas dengan mudah. "Selesai dengan prinsip saling percaya."
Dengan aset yang tersisa di First Pacific, Anthoni, si putra mahkota, mulai membangun kembali kerajaan bisnis ayahnya. Satu per satu aset yang lepas ia beli kembali. Itu tampak ketika saham First Pacific di sejumlah perusahaan menghasilkan laba.
Akhir tahun lalu, sumbangan terbesar datang dari Philippine Long Distance Company—perusahaan telekomunikasi yang 42 persen sahamnya dimiliki First Pacific—sebesar US$ 215 juta atau lebih dari Rp 2 triliun. Disusul Indofood, yang berkontribusi US$ 178 juta kepada induknya.
Che Wei ragu Anthoni mampu menyamai kejayaan Salim sebelum krisis. "Soal peringkat, sekarang tak pernah nomor satu lagi," ucapnya. Tapi ini keputusan bisnis keluarga Salim. "Pascareformasi, mereka tidak mau terlalu agresif."
Bobby Chandra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo