Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lin Che Wei (pendiri Independent Research Advisory Indonesia)
Bisnis grup yang sukses adalah yang dapat membedakan apa yang harus tetap dan apa yang mesti berubah. Suatu grup bisnis yang sukses dituntut menentukan nilai-nilai apa yang tidak berubah dan tetap menjadi fondasi dari grup tersebut. Namun, sesuai dengan berubahnya zaman, bisnis grup tersebut juga harus dapat berubah dan menyesuaikan diri.
Tulisan ini bermaksud membahas nilai-nilai yang tidak berubah dari Grup Salim. Sebaliknya juga perubahan apa yang terjadi seiring dengan berpulangnya Liem Sioe Liong alias Sudono Salim, pendiri grup bisnis tersebut, yang akrab dipanggil Om Liem.
Strategi bisnis Grup Salim berubah drastis seiring dengan perubahan rezim dengan lengsernya Soeharto. Grup Salim tadinya menjadi salah satu personifikasi yang sangat kuat dari hubungan kerja sama antara "penguasa dan pengusaha".
Hubungan mutualisme yang sangat kuat ini jugalah yang menyebabkan Grup Salim mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan jatuh-bangunnya rezim Orde Baru. Tidak aneh pula bila pengaruh dan jangkauan bisnis Grup Salim tidak terlalu dominan di era reformasi.
Di era reformasi, Grup Salim berubah dari usaha konglomerasi menjadi kelompok bisnis yang sangat berfokus. Sejak 1998, ada beberapa perubahan drastis yang terjadi dengan Grup Salim. Pertama, dari kelompok bisnis yang hampir masuk ke semua lini sektor—perbankan, konsumsi, telekomunikasi, semen, industri, dan properti—Grup Salim menjadi lebih berfokus pada bisnis yang relatif low profile.
Basis kekuatannya yang berpusat pada sektor konsumsi dan semen tetap dipertahankan. Salim menjadi sangat berfokus dan tidak terlalu terdiversifikasi. Diversifikasi justru lebih terlihat secara regional sehingga grup ini tidak lagi menaruh "telur hanya di satu keranjang". Namun, meskipun domisili Om Liem telah berpindah ke Singapura, penekanan terhadap Indonesia masih cukup dominan.
Kedua, dari tadinya sangat dekat dengan penguasa menjadi konglomerat yang lebih menjaga jarak dengan penguasa. Grup Salim generasi kedua yang dimotori Anthoni Salim lebih menjaga jarak dengan penguasa. Kerap kali seteru bisnisnya, misalnya seorang pengusaha yang membeli perusahaan gula dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional, disinyalir malah lebih dekat dengan penguasa ketimbang Grup Salim.
Grup Salim sekarang lebih mengandalkan kemampuan manajerialnya: kemampuan menerapkan strategi bisnis yang tepat dibanding semata mengandalkan kedekatan dengan penguasa. Kelompok Salim pun tidak terlalu banyak berfokus pada bisnis yang mengandalkan konsesi dari pemerintah. Kedekatan dengan pemerintah lebih banyak dijembatani sahabat kelompok ini, pengusaha Chairul Tanjung, yang mempunyai peran yang kuat dan signifikan dalam memberi masukan kepada pemerintah sekarang.
Ketiga, peran Grup Salim di bisnis finansial dan media seakan-akan ditinggalkan. Grup Salim cenderung mengadopsi bisnis yang lebih low profile. Hal ini terlihat setelah Grup Salim harus kehilangan Bank Central Asia, kemudian juga melepaskan kepemilikannya di industri penyiaran dan media di Indosiar.
Tampaknya, Grup Salim lebih nyaman berkonsentrasi di bisnis yang tidak terlalu mencolok dan banyak disorot publik. Mungkin hal ini karena Grup Salim menyadari bahwa sesuatu yang menonjol juga menimbulkan ekses yang cukup negatif terhadap citranya yang cenderung terlalu dikaitkan dengan penguasa.
Figur Om Liem mewakili sifat bisnis dari kaum keturunan Cina di Indonesia. Sifat sangat menjaga kepercayaan, mau bekerja keras, dan sangat sederhana meskipun sangat berhasil dalam dunia bisnis mewarnai pengusaha yang paling menonjol di Indonesia selama 50 tahun terakhir ini.
Warisan yang paling kental dari Om Liem adalah perintis industri di Indonesia. Dia juga sangat mempunyai visi dalam membangun bank yang menjadi bank terbaik di Indonesia. Meskipun krisis finansial mengakibatkan Grup Salim harus kehilangan "permata"-nya, yaitu Bank Central Asia, fondasi dari bank yang mempunyai franchise value terkuat di Indonesia itu justru ditanam semasa BCA masih dikuasai Grup Salim.
Kendati grup ini mengalami masa-masa sulit setelah 1998, ada catatan khusus tentang karakteristik yang sangat baik dari kepemimpinan Om Liem. Pertama, sangat menjunjung tinggi nama baik dan reputasi. Menjaga kepercayaan merupakan hal yang sangat penting bagi grup ini.
Fondasi dari konglomerasi Grup Salim adalah sikap dapat dipercaya—di samping dua karakter lain, yaitu kerja keras dan rendah hati. Kendati banyak konglomerat terlilit masalah, hanya beberapa gelintir yang mencoba tetap mempertahankan reputasinya, walau berarti harus kehilangan aset yang paling berharga.
Konglomerat lain adalah William Soeryadjaya, yang harus kehilangan Astra Internasional karena kasus Bank Summa. Adapun Om Liem harus kehilangan BCA, Salim Plantation, dan beberapa aset yang sangat penting untuk mempertahankan reputasinya. Salim adalah satu dari sedikit kelompok bisnis yang memenuhi secara penuh kewajiban kepada pemerintah Indonesia dalam skema penyerahan aset kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Dalam hal kerja keras, Om Liem dan keturunannya terkenal sebagai pengusaha yang sangat mengandalkan kerja keras. Ketika Grup Salim harus menyerahkan beberapa perusahaannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional, sangat terlihat bahwa keunggulannya tidak hanya disebabkan oleh konsesi dari pemerintah, tapi juga oleh kemampuan melakukan penciptaan nilai dari perusahaan melalui usaha dan kerja keras. Banyak sekali perusahaan Salim pada waktu itu yang menjadi "kapten" di industri tersebut, misalnya BCA, Salim Plantation, dan Indomobil.
Penulis pernah melihat langsung karakter rendah hati Grup Salim. Semua itu tecermin dari kantor, tempat tinggal, dan gaya hidup pengusaha sukses ini. Sikap rendah hati ditopang oleh kesadaran akan pentingnya pendidikan. Hal ini juga diwujudkan dengan ikut mendirikan dan membiayai sekolah bisnis Prasetiya Mulya.
Om Liem juga terkenal sebagai pengusaha yang sangat menjaga hubungan bisnis (guan xi dalam bahasa Cina). Persahabatannya dengan kongsi bisnisnya sangat legendaris. Dia sering sekali menyelesaikan masalah bisnis yang rumit dengan cara yang sangat sederhana dan mementingkan tetap menjaga hubungan usaha dengan mitra-mitranya. Sikap rendah hati dan kerja keras juga tecermin dari putra dan cucunya.
Rumah lama Om Liem di daerah Gunung Sahari hanya berjarak beberapa meter dari rumah penulis. Dengan situasi itu, penulis dapat memahami secara penuh bagaimana dampak dari kerusuhan etnis dan kebencian terhadap Orde Baru dilampiaskan dan hal ini menyebabkan Om Liem berpindah domisili ke Singapura.
Menurut pengamatan saya, amuk massa ini bukanlah bentuk kebencian masyarakat secara luas kepada kelompok Salim. Kerusuhan 1998 merupakan aksi yang "diorkestrasi" oleh pihak tertentu untuk menjustifikasi pengambilan tindakan darurat.
Menjadi berhasil dan meninggalkan warisan bukan hanya berbentuk materi tapi juga nama baik merupakan suatu hal yang patut menjadi catatan. Om Liem tutup usia pada umur 94 tahun (lahir 1918)—kendati di koran-koran ditulis 96 tahun. Tradisi budaya Cina menambahkan beberapa tahun bagi orang yang panjang umur.
Om Liem dapat dikatakan orang yang menggambarkan "Fu-Lu-Shou" (bisa diartikan sebagai "Makmur, Sukses, dan Panjang Umur"). Namun ada yang lebih berharga daripada ketiga hal tersebut, yaitu nilai-nilai untuk selalu menjaga kepercayaan, kerja keras, dan rendah hati. Zaman boleh berubah, tapi ada nilai-nilai baik yang tidak berubah. Selamat jalan, Om Liem. l
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo