Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RASANYA sila pertama kita dalam bernegara belum berubah menjadi "Keuangan yang Mahakuasa". Tapi, dalam kenyataannya, terlalu banyak urusan di negeri ini yang diselesaikan dengan menyetor—atau menilap—uang. Dari perebutan proyek pembangunan, penyelesaian masalah pajak, pemilihan kepala daerah, hingga pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Kekuasaan uang itu membuat tumpul akal sehat. Banyak politikus, misalnya, menyebut inisiatif partai baru Nasional Demokrat yang menawarkan uang miliaran rupiah kepada calon legislator mereka sebagai langkah cerdas dan strategis untuk mendulang suara. Komentar ini menggelikan. Sebagai wakil rakyat, mereka semestinya tahu tawaran itu tak antun.
Tawaran itu menunjukkan betapa partai politik kita masih dikelola dengan cara tak sehat, yang mengagulkan politik uang untuk meraup suara rakyat. Penghargaan terhadap ide, kerja keras, kemampuan, pengalaman, dan profesionalitas sang calon tak lagi punya tempat. Semuanya berubah dengan alat ukur baru: uang—sesuatu yang merusak nilai-nilai demokrasi.
Secara terang-terangan, partai itu menyatakan akan membandari setiap calon anggota legislatif mereka Rp 5-10 miliar dalam Pemilihan Umum 2014. Mereka berdalih, selama ini setiap calon harus merogoh kocek sendiri untuk berkampanye. Sang calon juga harus menyetor uang ke partai. Inilah yang, menurut mereka, membuat anggota Dewan terpilih ramai-ramai melakukan korupsi untuk mengganti uang yang telah mereka keluarkan.
Sebetulnya salah besar jika Nasional Demokrat menganggap pemberian modal kampanye kepada calon legislator itu akan menekan politik transaksional. Tak ada jaminan calon yang telah mendapat modal tak akan melakukan korupsi ketika terpilih. Mereka justru menyimpan beban mengembalikan modal yang telah mereka nikmati.
Pemberian uang yang tak sedikit itu tentu bukan hal yang gratis. Jika ada lebih dari 100 daerah pemilihan dengan tiap daerah ada tiga calon anggota legislatif yang dibiayai, bisa dihitung uang yang harus dikeluarkan mencapai Rp 1,5-3 triliun. Tak masuk akal mereka yang meminjamkan modalnya tak menagih keuntungan yang lebih besar di kemudian hari.
Patut dipertanyakan pula asal-usul dana itu. Pasal 131 dan 133 Undang-Undang Pemilu yang diketuk pada 12 April lalu menyatakan batas maksimal sumbangan perseorangan untuk calon anggota Dewan sebesar Rp 1 miliar. Sedangkan sumbangan perusahaan dipatok Rp 7,5 miliar. Kejelasan asal-muasal itu sangat penting. Begitu pula dengan nilai Rp 5-10 miliar, yang harus dipastikan apakah melanggar undang-undang yang sudah ditetapkan.
Tawaran Partai Nasional Demokrat mengguyur modal kampanye tersebut sebenarnya lebih bisa dipahami sebagai cerminan partai politik yang cemas dalam merekrut kader. Begitu sulit mereka merekrut kader berkualitas, sehingga partai perlu menyiasatinya dengan menawarkan janji finansial. Target utamanya tentu saja partai tersebut bisa eksis, dan bahkan mencorong, dalam pemilu.
Politik memang butuh dana. Tapi jelas keliru dan berbahaya jika satu partai kemudian menjadikan uang sebagai basis politik. Sudah saatnya politik biaya tinggi diakhiri. Rakyat tak butuh bandar politik. Rakyat lebih butuh calon anggota legislatif yang berkualitas, profesional, dan mengakar pada konstituen.
berita terkait di halaman 26
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo