Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Demonstrasi Mahasiswa Presiden dan Parlemen Jalanan

Di dalam dan di luar panggung politik Senayan, suara kian bulat: turunkan Abdurrahman Wahid.

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI kejauhan, barisan panjang massa itu tampak seperti ular naga yang berwarna-warni: bendera beraneka ragam, spanduk, dan jaket almamater dengan warna-warna yang mencorong. Kamis pekan lalu, ribuan mahasiswa tumplek tanpa bisa dicegah dari Bundaran Hotel Indonesia hingga jalan raya di muka Gedung MPR/DPR, Senayan. Mereka mendesak mundurnya Presiden Abdurrahman Wahid. Demonstrasi mahasiswa yang pernah sukses menjatuhkan Soeharto pada 1998 seperti akan diulang. Tapi demonstrasi 2001 berbeda dengan tiga tahun lalu. Dalam menanggapi skandal yang mencemari pemerintahan Abdurrahman Wahid, gerakan pemuda dan mahasiswa tidak sepenuhnya bulat. Kelompok pertama cenderung menyatakan Presiden Abdurrahman bersalah dan harus mundur. Posisi ini didukung oleh umumnya mahasiswa Islam yang menguasai badan eksekutif mahasiswa (BEM)?lembaga yang dulu dikenal sebagai senat mahasiswa?dari berbagai kampus prestisius: Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Trisakti, serta beberapa kampus lain di Jawa, Sumatra, dan Bali. Beberapa organisasi mahasiswa Islam non-kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam, Pelajar Islam Indonesia, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, serta Komite Aksi Mahasiswa Muhammadiyah, memperkuat aksi mereka. Pekan lalu, demonstrasi mereka diikuti oleh sekitar 8.000 orang?yang terbesar sejauh ini dalam perlawanan terhadap Presiden Abdurrahman. Sikap mereka beririsan dengan sikap partai-partai Islam dan Poros Tengah, yang memang lama telah menentang Presiden Abdurrahman. Kelompok kedua melihat Presiden Abdurrahman tak lebih dari korban konspirasi para politisi sisa Orde Baru. Dalam kelompok ini berkumpul mahasiswa Forum Kota, Perjuangan Pemuda Indonesia Jakarta, Front Aksi Mahasiswa dan Pemuda Indonesia, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, Front Kota, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Trisakti. Satu-satunya organisasi mahasiswa Islam dalam kategori ini adalah Keluarga Besar IAIN Jakarta. Kelompok kedua ini didukung oleh Partai Rakyat Demokratik, partai kecil pimpinan Budiman Sudjatmiko, aktivis mahasiswa yang pernah mendekam dalam penjara Orde Baru. Juga oleh sejumlah LSM yang belakangan ini cederung berbaris di belakang Presiden Abdurrahman. Dalam pandangan kelompok kedua ini, gerakan menggoyang Presiden dimotori oleh politisi sisa Orde Baru, terutama Golkar. Suara mereka selaras dengan siaran pers yang akhir pekan lalu dikeluarkan oleh 51 LSM, yang antara lain meliputi Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI)-nya Hendardi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Emmy Hafidz), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (Zoemrotin), dan Infid (Binny Buchori). "Sekarang saatnya rakyat berjuang melawan pembelokan isu, pengaburan informasi, dan provokasi melalui media massa oleh kekuatan Orde Baru," kata Hendardi dari PBHI. Politisi sisa Orde Baru itulah, kata mereka, yang berusaha tampil kembali dalam pentas politik nasional dan Abdurrahman Wahid hanyalah korban. "Bagi kami, korupsi Orde Baru maupun Gus Dur harus diberantas. Tapi kami melihat Bulog dan sumbangan Sultan Brunei telah menjadi permainan politik untuk mengambil alih kekuasaan," ujar Sekretaris Jenderal Front Kota, Faisal Sainema. Bagi mereka, Abdurrahman tetap seorang tokoh pejuang demokrasi yang peduli pada kebebasan pers dan pengurangan peran militer. Jikapun Presiden bersalah, kata mereka, ada kebobrokan lain yang nilainya lebih besar yang dilakukan pejabat Orde Baru dan hingga kini tak juga diselesaikan. "Jaksa Agung Marzuki Darusman berasal dari Golkar. Mengapa skandal Bank Bali yang melibatkan Habibie tidak diusut? Mengapa Baramuli masih bebas? Mengapa skandal bantuan likuiditas Bank Indonesia tidak diusut?" kata Elli Salomo dari Front Kota. Sayang, identifikasi semangat anti-Orde Baru kian kabur bahkan di Istana sendiri. Pertemuan diam-diam Presiden Abdurrahman dengan Tommy Soeharto adalah salah satunya. Fakta bahwa PDI Perjuangan, dan bukan Golkar, yang jauh memegang kunci lolosnya memorandum DPR, pekan lalu, membuat makin sulit lagi menarik garis pemisah mana Orde Baru dan mana bukan. Bahkan, komitmen Presiden Abdurrahman akan demokrasi juga meluntur bersama gagasannya untuk membubarkan parlemen?gagasan yang bahkan ditolak oleh kalangan militer. Seperti Partai Kebangkitan Bangsa yang kalah telak di parlemen, kalangan pendukung Presiden punya pekerjaan yang lebih berat di hari-hari mendatang. Naiknya Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta pada hari sidang paripurna memutuskan Presiden bersalah menunjukkan bahwa para pelaku ekonomi tak terlalu risau dengan perkembangan politik mutakhir. Roda hidup terus berputar, bersama Abdurrahman Wahid atau tidak. Arif Zulkifli, Iwan Setiawan, Rian Suryalibrata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus