KENDATI bernama ketetapan, bukan berarti kesepakatan MPR tak boleh diubah. Coba simak perbedaan ketetapan majelis pembawa kedaulatan rakyat itu tentang Soeharto pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi. Pada 1983, majelis tertinggi itu, lewat Ketetapan Nomor V, menganugerahkan gelar Bapak Pembangunan untuk Soeharto. Namun, setelah lengser, mantan presiden ini, beserta keluarganya, justru ditetapkan sebagai pihak yang harus tegas diberantas tindakan menyimpangnya, dengan tetap memegang asas praduga tak bersalah. Dan kini, pelaksanaan Tap MPR XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi ini yang belum juga tuntas. Alhasil, hal itu berpotensi menjadi ganjalan konstitusional Habibie terberat bila ia ingin terpilih kembali menjadi presiden periode 1999-2004.
Habibie sebagai mandataris MPR dianggap banyak kalangan tak serius menjalankan tugasnya mengusut kasus korupsi Soeharto. Pendukung Habibie menyatakan pengusutan sudah dilakukan, antara lain terbukti dengan pemeriksaan kejaksaan terhadap Soeharto dan diajukannya si anak bungsu, Hutomo Mandala Putra, sebagai tersangka di pengadilan. Tapi konsentrasi penyidikan pada pihak-pihak di sekeliling presiden RI kedua ini dituding hanya sebagai taktik mengulur waktu. Maka, orang pun mulai mempersoalkan lagi: kenapa pengusutan dan pengadilan atas diri Soeharto tak dimasukkan ke dalam ketetapan khusus?
Jawabannya ada pada kilas balik lahirnya ketetapan itu. Pada Sidang Istimewa yang diselenggarakan November tahun lalu, situasi Jakarta tengah membara. Puluhan ribu mahasiswa kembali turun ke jalan dengan dua tuntutan utama, cabut dwifungsi ABRI dan adili Soeharto. Suasana panas di jalan ini merembet sampai ke gedung parlemen. Harus diakui, saat itu Partai Persatuan Pembangunan, yang nota bene adalah salah satu partai yang terbentuk pada era Orde Baru, menunjukkan langkah heroik. Mereka menyuarakan dua tuntutan tadi dengan lantang dalam persidangan.
"Kami sadar, bila pengusutan Soeharto masuk ketetapan tersendiri, kekuatan hukumnya akan lebih besar serta menjadi titik perhatian yang khusus," ujar Ketua Fraksi Persatuan Pembanguan (FPP), Zarkasih Nur. Menurut Zarkasih, semula ada perdebatan di dalam FPP sendiri. Maklum, Soeharto belum lama turun, sehingga masih ada yang takut. Namun, akhirnya, semua sepakat. Bahkan, semua anggota FPP yang tergabung dalam Komisi C terbilang ngotot untuk pembuatan ketetapan khusus ini.
Di sisi lain, Fraksi Karya Pembangunan (FKP) alias perpanjangan tangan Golkar di parlemen tentu tak tinggal diam. Mahadi Sinambela, Wakil Sekjen Golkar, menilai usul yang mulai disuarakan FPP pada sidang Badan Pekerja itu sangat riskan bagi Golkar. "Bila khusus, ketetapan itu akan mengarah pada personifikasi Habibie," ujar Mahadi kepada Yayi Ichram dari TEMPO. Padahal, tugas Habibie praktis selesai usai pemilu. Golkar pun meminta voting, yang akhirnya dimenangkannya dengan suara 21 banding 5.
Namun, saat Sidang Istimewa digelar, FPP kembali angkat suara. Bachtiar Chamsyah, salah satu ketua FPP, bercerita bahwa saat itu pihaknya dikeroyok FKP, F-ABRI, dan juga FPDI (non-Perjuangan, tentu saja). Sementara itu, Fraksi Utusan Daerah praktis sebagai penonton. Sidang yang dipimpin oleh KSAL Laksamana Widodo itu—yang sangat dipuji oleh Bachtiar karena demokratis—berlangsung sehari semalam. FKP dan sekondannya tak setuju dengan ketetapan khusus ini karena sudah ada ketetapan tentang pemberantasan korupsi. Dari FKP, yang tampil paling bersemangat Fahmi Idris, yang kini Menteri Tenaga Kerja.
Namun, di tengah menghangatnya perdebatan, suasana di luar gedung justru sudah mendidih karena beberapa korban jiwa telah jatuh. Tak pelak, sidang pun hanya tinggal diikuti berapa gelintir anggota. Akhirnya, lewat lobi kanan-kiri—juga tekanan—FKP berhasil meniadakan usul ketetapan khusus tersebut. Sementara itu, FPP tidak pulang dengan tangan hampa. Nama Soeharto, yang semula ingin disebut Golkar dengan frase "termasuk pejabat masa lalu", tetap tercantum.
Ketetapan khusus itu memang akhirnya tak pernah ada. Namun, betulkah gara-gara itu Soeharto sulit sekali diseret ke meja hijau? Ahli hukum tata negara Harun Alrasyid tak sependapat. Menurut Harun, ketetapan MPR bukanlah dasar hukum untuk mengusut Soeharto. "Tanpa ketetapan khusus pun, bila ada bukti yang kuat, dengan menggunakan hukum pidana, Soeharto bisa diadili," ujar Harun. Ketetapan ini memang bukan dirancang sebagai instrumen hukum, melainkan perangkat politik. Sebab, keputusan ini pada dasarnya membuat Habibie harus memilih: kursi kepresidenan atau loyalitasnya kepada Soeharto.
Yusi A. Pareanom dan Hadriani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini