Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soegih adalah jaksa agung pertama pada era Orde Baru (1966-1973). Ia dilantik tak lama setelah peristiwa G30S-PKI meletus. Surat keputusannya diteken sang pemegang Super Semar, Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto, atas nama Presiden Soekarno. Jenderal gaek ini mengaku terheran-heran saat pertama kali diberi tahu jabatan barunya itu. ''Saya tidak punya latar belakang di bidang hukum," katanya. Rupanya, misinya yang terpenting adalah menyapu kejaksaan dari orang-orang yang dicap ''merah".
Sebelum itu, perjalanan karirnya memang jauh dari urusan penegakan hukum. ''Saya adalah prajurit lapangan," kata mantan Asisten I Menteri Panglima Angkatan Darat itu. Di luar karir militer, ia juga pernah memegang beberapa jabatan di dunia diplomat, yaitu konsul jenderal RI di Singapura serta duta besar di Burma dan India. Pada hari tuanya (76 tahun), ayah 9 orang anak dan kakek 16 cucu ini hidup sugih. Dari sebuah gedung perkantoran elite di kawasan Slipi, Jakarta, ia memimpin Kelompok Usaha Soegih. Sejak 16 tahun lalu, perusahaan ini menjadi pemasok tetap Pertamina.
Kepada wartawan TEMPO Karaniya Darmasaputra dan Edy Budiyarso, lelaki Jawa yang sejak usia dua tahun tinggal di Bandung itu mengungkapkan berbagai kesaksian sejarah menarik, dari soal pengadilan kasus korupsi yang melibatkan beberapa jenderal, peran militer yang sejak awal teramat kental di tubuh lembaga sipil itu, pengakuannya betapa kemandirian kejaksaan selalu jadi barang langka, pengalamannya melacak harta karun misterius bernama dana revolusi, sampai kritik pedasnya atas kinerja dan borok institusi yang pernah dipimpinnya itu. ''Citra kejaksaan sudah sama parahnya dengan TNI," katanya dengan logat Sunda. Berikut petikannya.
Anda seorang tentara, lalu diangkat sebagai jaksa agung?
Bagi saya pribadi, itu memang suatu keanehan. Saya tidak punya latar belakang hukum karena lebih banyak bertugas di lapangan sebagai tentara. Karena itu, saya lebih banyak membenahi urusan internal kejaksaan. Waktu itu, tidak semua daerah memiliki kejaksaan. Lalu saya seragamkan. Di semua provinsi didirikan kejaksaan tinggi, di kabupaten kejaksaan negeri. Yang paling membanggakan, kepala kejaksaan tinggi lalu dimasukkan dalam Caturtunggal, yang terdiri dari gubernur, tentara, polisi, dan jaksa. Sekarang, Caturtunggal itu dikenal dengan istilah muspida (musyawarah pimpinan daerah).
Jadi, kenapa Anda yang diangkat Soeharto?
Waktu itu peranan ABRI sangat besar. Menurut saya, beliau merasa lebih baik jabatan jaksa agung diduduki unsur ABRI daripada orang sipil yang tidak dikenalnya. Lagipula, kalau dari ABRI kan ada rasa solidaritas sesama korps.
Juga ada misi khusus?
Waktu itu, tahun 1965-1966, harapan masyarakat pada ABRI sangat besar. Kursnya masih sangat tinggi. Karena itu, setiap langkah kebijakan harus selalu berkait dengan dua hal. Pertama, nama harum ABRI harus tetap dipertahankan. Sebagai jaksa agung, saya harus menegakkan hukum tanpa pilih bulu. Tapi, juga jangan sampai nama ABRI jelek karena terlalu banyak perwira diseret ke pengadilan karena korupsi. Jadi, di satu sisi saya tidak boleh pandang bulu, tapi di sisi lain saya harus pilih bulu, ha-ha-ha....
Berapa banyak kasus korupsi yang melibatkan perwira tinggi itu?
Ada delapan kasus yang melibatkan beberapa jenderal. Misalnya, korupsi di Perusahaan Jawatan Kereta Api dengan tersangka Sentot Iskandardinata (ayah Dicky Iskandardinata, yang sempat ditahan karena kasus korupsi Bank Duta). Di Perusahaan Negara Timah, Jenderal Soedarman. Juga, penyelundupan senjata ke Biafra, kelompok pemberontak di salah satu negara Afrika, yang melibatkan Asisten IV Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Hartono. Jadi, masyarakat tahu, jenderal pun kami seret juga. Tapi, ya itu, saya juga harus mengerti maksud tersirat Pak Harto agar saya pilih-pilih.
Semuanya diajukan ke pengadilan?
Jenderal Hartono dan Soedarman diadili dan dihukum. Sentot kurang bukti. Mungkin kalau sekarang ini seperti kasus Nurdin Halidlah, ha-ha-ha....
Anda tadi menyebut soal pilih-pilih, jadi ada kasus kakap yang disembunyikan?
Yang diutamakan adalah kasus yang gampang dibuktikan dan divonis, sehingga rakyat senang. Kalau diadili tapi bebas, nanti banyak orang marah.
Apa pesan Soeharto ke Anda?
Pak Harto mengatakan supaya saya memelihara nama baik ABRI dan jangan terlalu jelas-jelas melindungi koruptor gede. Saya mengerti, inilah jalan terbaik.
Apakah misi Anda itu termasuk pembersihan internal di tubuh kejaksaan?
Ya, tujuannya untuk pembersihan ideologi. Ada kabar kejaksaan disusupi kelompok ''merah". Saya harus membersihkan lembaga ini agar bersih dari PKI. Dalam melaksanakan pembersihan dan reorganisasi kejaksaan, saya mendapat banyak dukungan dari pimpinan ABRI. Program itu bukan sesuatu yang murah. Dana pembangunan seluruh kantor kejaksaan dibiayai dari anggaran ABRI. Melalui Asisten VII/Keuangan Menteri Panglima Angkatan Darat Brigjen Alamsjah Ratu Perwiranegara, saya mendapat bantuan Rp 11 miliar.
Berapa jumlah aparat kejaksaan yang terlibat PKI?
Tidak banyak. Kalau tidak salah, hanya 20 orang.
Bagaimana dengan kasus pemerasan oleh jaksa?
Pada 1965, masalah korupsi di internal Kejaksaan Agung masih merupakan kata-kata yang aneh. Waktu itu bisa saya katakan masih bersih.
Lo, korupsi di kalangan ABRI saja sudah sedemikian menggejala?
Mungkin waktu itu karena kekuasaan kejaksaan tidak seperti ABRI. Juga, kan belum seberkuasa sekarang.
Sekarang banyak dilansir praktek pemerasan oleh jaksa terhadap pengusaha bermasalah.
Saat ini Faried Hariyanto (jaksa penuntut umum dalam kasus korupsi Hutama Karya) sedang diperiksa. Saya kira itu hal yang bagus. Hal-hal seperti itulah yang menyebabkan citra Kejaksaan Agung terpuruk. Nasib kejaksaan dan TNI itu sama, semuanya dihujat.
Jadi, pemerasan itu benar-benar terjadi?
Ya. Saya banyak mendengarnya. Mungkin sudah sama parahnya dengan TNI.
Benarkah pemerasan mulai menggejala pada masa Ali Said, ketika banyak kasus megakorupsi seperti Pertamina tidak diusut tuntas?
Kemungkinan besar memang begitu. Tapi, pada waktu itu kan juga tidak ada yang berani ngomong. Masalahnya, kasus-kasus korupsi yang dulu itu sudah bertumpuk dengan korupsi sekarang, sehingga seolah-olah dilupakan begitu saja.
Anda sendiri pernah menerima suap?
Pada waktu itu kan belum populer. Saya sendiri tidak pernah mengalaminya. Sampai ada seorang bankir yang bilang saya ini bodoh. Biar saja. Tujuan hidup itu kan kebahagiaan. Uang bukan segala-galanya.
Dalam mengusut kasus korupsi, banyakkah intervensi Soeharto?
Pernah, satu kasus. Ada seorang keturunan Tionghoa yang saya tangkap karena menyelundupkan uang US$ 250 ribu. Saat itu keluar-masuknya uang dikontrol ketat. Rupanya, dia teman baik Pak Harto. Tiap minggu, perkembangan kasus itu saya laporkan. Setiap kali, Pak Harto cuma bergumam, ''Hmm..., ya, ya." Suatu hari saya melapor lagi, orang itu akan segera disidangkan. Reaksi Pak Harto masih seperti itu, ''Hmm..., ya, ya." Besoknya, dini hari pukul 02.30, rumah saya digedor asisten pribadi Presiden, Soedjono Hoemardani. Dia bilang ada pesan dari Pak Harto. Bunyinya, ''Giarto itu ngerti tidak kemauan saya (Soeharto)?" Saya diperintahkan mencari jalan supaya orang itu tidak disidangkan. Pagi harinya, langsung saya kumpulkan ahli-ahli hukum di kejaksaan untuk mencari celahnya, ha-ha-ha.... Akhirnya, diputuskan dia hanya melakukan pelanggaran administratif tentang devisa. Hukumannya cuma membayar denda sekian rupiah untuk setiap dolarnya. Saya juga melapor ke Pak Harto lagi. Saya mau tidak mau harus mengatakan bahwa tindakan saya semula salah dan telah dikoreksi. Pak Harto lalu bilang, ''Bagus, bagus, itu keputusan jaksa agung. Ya, sudah laporkan ke sidang kabinet." Wah, cilaka saya ini, ha-ha-ha....
Jadi, semua tergantung Soeharto?
Beliau memang lihai. Suatu kali saya sedang memimpin rapat dengan para kepala kejaksaan tinggi di Yogyakarta. Tiba-tiba ada telepon dari ajudan Presiden meminta saya segera menghadap Presiden. Sebentar lagi, katanya, sebuah pesawat jet akan mendarat di Yogyakarta untuk menerbangkan saya. Setibanya di Bina Graha, wartawan sudah ramai, sepertinya ada masalah yang amat penting. Saya langsung dibawa masuk ke ruang kerja Pak Harto. Eh, kami malah ngobrol mengenai cuaca, keluarga, dan lainnya. Karena sudah satu jam lebih, saya lalu bertanya apa maksud pemanggilan saya ini. Beliau bilang, wartawan sudah berkumpul, dan saya diminta mengumumkan akan menghukum berat siapa saja yang memanipulasi harga beras. Waktu itu memang harga beras melonjak sangat tinggi. Saya baru sadar percakapan ngalor-ngidul itu untuk menciptakan kesan pada wartawan, betapa seriusnya masalah ini. Maka, ketika keluar, saya pun sengaja pasang wajah angker.
Kok, sulit sekali menegakkan kemandirian kejaksaan?
Semasa Orde Lama, Bung Karno ingin menguasai seluruh jabatan penting. Jabatan jaksa agung dan Ketua Mahkamah Agung dijadikan jabatan setingkat menteri sehingga bisa diperintah. Pola ini sebenarnya sudah diubah. Pak Harto bilang, ''To, kamu tidak usah jadi menteri, tapi sebagai jaksa agung. Jadi lebih bebas." Tapi, ya itu, prakteknya sama saja.
Dan supaya tetap mudah dikomando, jaksa agung banyak berasal dari kalangan militer?
Menurut saya, jaksa agung seharusnya merupakan seorang jaksa karir. Dalam pidato perpisahan sebagai jaksa agung, saya sudah mengatakan hal itu. Saya juga pernah menyampaikannya langsung ke Presiden Soeharto. Tapi, rupanya beliau memiliki pertimbangan sendiri. Pengganti saya tetap berasal dari ABRI, Letjen (Purn.) Ali Said, Letjen (Purn.) Ismail Saleh, kemudian Laksamana Muda (Purn.) Soekarton Marmosoedjono. Setelah itu mulai diganti sipil: Singgih lalu Soedjono C. Atmonegoro. Ini sudah bagus. Eh, tiba-tiba muncul Ghalib yang militer lagi. Setelah itu, ditunjuk Feisal Tanjung sebagai jaksa agung ad interim, terus di-ad interim-kan lagi. Sepertinya susah betul mencari orang. Saya kira ada pertimbangan khusus dari Presiden Habibie.
Maksudnya?
Ini analisis saya, ada kaitannya dengan pemeriksaan terhadap mantan presiden Soeharto yang jalan di tempat. Kalau kekayaannya di luar negeri belum bisa dibuktikan, bukti-bukti yang ada di dalam negeri pun sudah dapat menjadikannya sebagai tersangka. Kami yang tua-tua ini mengharapkan dan mendukung Ismudjoko (Jaksa Agung) agar segera menuntaskannya.
Jadi benar, Ghalib dipasang untuk mengamankan Soeharto?
Selain Pak Harto, mungkin juga untuk mengamankan yang lainnya. Sebab, kalau Pak Harto jatuh, yang lainnya juga akan ikut ambrol. Apalagi sudah banyak ditulis, Habibie sudah mengeluarkan banyak uang untuk mempertahankan kekuasaannya.
Anda mendorong Ismudjoko agar segera mengadili Soeharto sebelum Sidang Umum MPR?
Iya, sebab itu kan sudah dijanjikan sendiri oleh Presiden Habibie.
Benarkah Ismudjoko juga diinstruksikan Habibie agar tidak terlalu getolmengusut Soeharto?
Mungkin tidak berupa instruksi. Tapi bisa saja sesekali disentil-sentil agar mengerti maksudnya. Seperti pengalaman saya dulu itu dengan Pak Harto.
Saat menjabat jaksa agung, Anda juga dihadapkan dengan sejumlah dana revolusi yang tak jelas pertanggungjawabannya?
Ya. Waktu itu saya dihubungi Dirjen Imigrasi, Hartono, agar emas sitaan yang ada di kejaksaan diserahkan ke Bung Karno untuk mempercantik Monas. Saya tanya, apakah itu sudah perintah. Pak Hartono mengiyakannya. Ya, sudah, segera saya laksanakan. Dana revolusi itu banyak sekali. Sebagian besar disimpan di rekening Soebandrio (Wakil Perdana Menteri I/Menteri Luar Negeri), sebagian lain di rekening Chaerul Saleh (Wakil Perdana Menteri III/Menteri Industri Dasar), dan cuma sedikit atas nama Ir. Djuanda (Menteri Pekerjaan Umum). Dana revolusi itu uang negara yang dikuasakan kepada pribadi-pribadi itu.
Ada rekening atas nama Bung Karno?
Tidak ada. Setahu saya, Bung Karno itu hanya memiliki rekening di Bank of China, Hong Kong, atas nama seorang pengusaha keturunan Tionghoa, pemilik pabrik panci. Jumlahnya untuk ukuran seorang presiden tidak banyak. Hanya sekitar US$ 5.000. Lagipula, itu uang pribadi Bung Karno. Memang, lalu bisa dipertanyakan, kenapa rekening itu diatasnamakan orang lain. Saya kira, Bung Karno itu cukup bersih dan tidak terlalu memperhatikan urusan uang.
Jadi, dana revolusi itu memang ada?
Pada 1966, semasa menjabat Asisten I Menpangad, saya pernah melacaknya ke Swiss. Dana revolusi itu sampai sekarang masih tersimpan di sebuah bank di sana. Waktu itu, menurut undang-undang kerahasiaan bank di sana, pimpinan bank itu menyatakan tidak bisa mengungkapkan apakah rekening itu ada atau tidak. Uang itu hanya bisa dicairkan, selain oleh pemilik rekening, juga jika pemerintah menunjukkan vonis pengadilan yang menyatakan dana itu adalah hasil korupsi. Juga dikatakan, jika dalam kurun waktu 20 tahun tidak ada lalu lintas uang masuk atau keluar dari rekening itu, uang itu akan menjadi milik bank atau pemerintah Swiss.
Di bank mana persisnya?
Saya tidak ingat lagi namanya. Yang jelas, ada dua-tiga bank di Swiss.
Kenapa Soebandrio tidak diminta mencairkannya saja?
Pak Harto tidak mengizinkannya dengan alasan keamanan.
Lo, kan bisa dikawal?
Tahun 1970-an, ketika sudah pensiun, saya juga sudah mengusulkan agar Pak Bandrio dikeluarkan dengan pengawalan ketat untuk mencairkan dana itu. Tapi Pak Harto tetap tidak mau. Saya tidak tahu kenapa. Padahal, sebelumnya saya pernah menemui Bandrio di penjara Cipinang. Waktu itu, dia sudah mengatakan bersedia berangkat ke sana untuk mengeluarkan uang itu. Karena memang rekening atas namanya, hanya dia sendiri yang bisa mencairkannya.
Anda kenal baik dengan Soebandrio?
Ya. Dan sejak awal saya tidak percaya Soebandrio itu komunis. Keterlibatannya hanya karena ambisinya yang terlalu besar. Ide awal konfrontasi dengan Malaysia itu pertama kali dicetuskan Bandrio. Pada 1961, di vilanya di Megamendung, Bogor, sayalah orang yang pertama kali diberitahunya. Dan latar belakangnya justru untuk membendung kemungkinan ekspansi komunis Cina melalui jalur Malaysia.
Kalau melalui cara lain?
Di Paris, saya pernah didatangi orang dalam dari bank itu. Ia bilang bisa mengeluarkan uang itu dengan imbalan 40 persen. Waktu saya laporkan, Pak Harto keberatan karena komisinya terlalu besar. Beliau cuma bersedia memberikan 10 persen. Orang bank itu menolak dengan alasan keamanan. Kalau ketahuan ikut mengeluarkan uang itu dari bank, ia bisa dibunuh, sehingga ia perlu dana untuk menghilang ke luar negeri.
Dari mana Anda bisa memastikan bahwa dana revolusi itu ada di bank Swiss?
Saat itu saya asisten intelijen. Lewat berbagai operasi intelijen saya mendapatkan data-data akurat.
Benarkah nomor rekeningnya diukir pada arloji emas Soebandrio?
Soal itu saya tidak tahu. Yang jelas, rekening itu, selain ditandatangani Bandrio, juga ada kode khususnya. Dia sendiri yang mengatakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo