Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sang Despot dan 'Curriculum Vitae' Baru Habibie

Pemerintahan Habibie akan merekrut detektif swasta untuk mengusut harta Soeharto. Cara Habibie mengoreksi curriculum vitae?

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


INILAH ironi yang terjadi dalam sebuah bangsa bernama Indonesia. Seorang despot, kepala negara yang memerintah 30 tahun dengan buruk, sudah jatuh. Massa turun ke jalan menuntut pengadilan atas segala kesalahannya. Harta kekayaannya dibongkar di pelbagai media massa asing. Dan sang "putra mahkota" bergeming: pengadilan terhadap sang despot tak pernah dilakukan. Tidak juga pemberian status hukum yang bisa mendorongnya ke pengadilan.

Soeharto, despot yang murah senyum itu, mungkin sedang mujur. Habibie, penerusnya, terlalu lama hidup sebagai binaannya: ia adalah anak kandung politik Soeharto. Akibatnya, banyak ewuh pakewuh yang harus dipertimbangkan calon presiden asal Golkar itu untuk mengusik ketenangan sang mahaguru.

Tapi Habibie bukan tidak ingin memberi kesan bahwa ia tidak berpeluh mengurus kasus yang satu ini. Kabar paling baru adalah pemerintahan Habibie akan menyewa detektif swasta untuk mengecek di mana saja orang yang disebut majalah Time memiliki duit Rp 120 triliun itu menyimpan pundi-pundi uangnya. Nanti detektif swasta itu akan dikawinkan dengan law firm Indonesia yang berfungsi sebagai mitra lokal. Pengacara kawakan Adnan Buyung Nasution disebut-sebut akan bertindak sebagai mitra lokal tersebut, meski hal itu disangkal oleh yang bersangkutan. "Saya belum pernah dihubungi," kata Buyung kepada wartawan TEMPO Edy Budiyarso.

Tapi bahwa pemerintah sudah serius merekrut penyelidik bule itu tampaknya tak perlu diragukan lagi. "Kita memang membutuhkan jasa profesional seperti mereka," kata Menteri Sekretaris Negara Muladi.

Efektifkah upaya itu? Banyak pihak meragukannya. Soalnya, untuk bisa menggali informasi di mana Soeharto menyimpan hartanya, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sementara itu, menentukan private investigator mana yang akan dipilih pun belum dilakukan. Pemerintah memang telah mengantongi sepuluh nama penyelidik swasta dari mancanegara. Mereka nanti dipilih berdasarkan pengalaman penyelidikan yang telah dilakukan selama ini. Soal target kerja, target waktu, serta pernak-pernik teknis lainnya tampaknya belum jelas benar.

Banyak yang curiga soal detektif swasta ini cuma usaha Habibie untuk "mengoreksi" curriculum vitae politiknya. Bukan apa-apa, pada awal November nanti, pria asal Parepare itu akan mempertanggungjawabkan kerjanya sebagai presiden transisi di hadapan anggota MPR hasil pemilu lalu. Dan salah satu item pertanggungjawaban itu adalah soal seberapa jauh Habibie telah mengusut harta kekayaan Soeharto. Dalam Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 disebutkan, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas oleh pemerintah, termasuk terhadap mantan presiden Soeharto dan keluarganya.

Nah, persoalannya, sebagai mandataris MPR, Habibie tidak nothing to lose: ia pada saat yang sama adalah calon presiden asal Golkar yang sedang siap tempur menuju Istana Negara. Artinya, diterima atau tidaknya pertanggungjawaban Bung Rudi—panggilan akrabnya—akan mempengaruhi rapor Habibie di muka sidang MPR kelak. Jika pertangunggjawaban Habibie diterima, ia punya paspor untuk tetap maju perang. Tapi, jika tidak, Habibie harus amit mundur.

Tapi betulkah Tap No. XI itu bisa menjadi ganjalan besar bagi Bung Rudi? Sementara pihak menilai keadaan tidak segawat itu. Marwah Daud Ibrahim, pengurus Golkar yang pro-Habibie, berpendapat bahwa dari 12 ketetapan yang diamanatkan MPR, 11 sudah dibereskan Habibie. Tinggal satu ketetapan yang belum. "Jadi, pertanggungjawaban Habibie harus dinilai secara keseluruhan," kata Marwah. Dengan kata lain, Marwah mau bilang, jika dalam 11 "mata pelajaran" Habibie mendapat angka biru, mestinya ada pemakluman jika untuk satu mata pelajaran lainnya nilai sang profesor merah. Tapi Marwah lupa bahwa yang merah itu mata pelajaran pokok, misalnya agama, tentu soal naik kelas bisa dibahas ulang.

Tapi pengikut Habibie punya lubang lain. Bunyi Tap No XI itu tidak tegas-tegas menyebut Habibie yang harus membereskan kasus Soeharto. Artinya, mandat itu diberikan kepada pemerintah secara keseluruhan, yang bisa jadi juga diartikan diamanatkan kepada pemerintahan setelah Habibie. Dengan lain perkataan, asalkan Habibie sudah menunjukkan upaya-upaya penyelidikan, ia bisa lolos. Hal lain, ketetapan itu juga tidak tegas meminta sampai sejauh mana kasus Soeharto harus diusut. Sampai penyelidikankah, atau sampai ke pengadilan? "Ketetapan MPR juga bukan dasar hukum yang kuat untuk mengusut Soeharto sampai ke pengadilan," kata ahli hukum Harun Alrasyid. Kelemahan pendapat ini: Habibie adalah mandataris MPR, jadi dalam periode tugasnya dialah yang harus berdiri mempertanggungjawabkan semua yang diamanatkan MPR.

Dengan semangat mencari lubang itu, akan loloskah Soeharto dari jerat hukum? Itulah yang ditakutkan banyak orang, mengamati gerak-gerik politik Habibie belakangan ini.

Sebuah kabar dari Sekretariat Negara menyebutkan, Bung Rudi saat ini sedang mengatur pertemuan dengan pemimpin partai-partai politik pemenang pemilu, tokoh masyarakat, dan militer. Rencananya, pertemuan itu akan dilakukan awal Juli nanti. Intinya, Habibie ingin berbagi rasa tentang berbagai masalah yang terjadi pascapemilu, salah satunya kasus Soeharto. Ia ingin bilang bahwa kasus itu adalah masalah bersama dan bukan masalah pemerintahan Habibie semata. Pemimpin-pemimpin partai lima besar seperti PAN, PPP, dan PKB yang dihubungi TEMPO menyebutkan belum dikontak Bina Graha untuk pertemuan itu. Tapi Menteri Muladi tidak membantah soal rencana pertemuan tersebut.

Sekali tepuk, dua lalat ditangkap. Selain "mengatur" soal Soeharto, pertemuan itu dikabarkan akan dipakai Habibie untuk menggalang kekuatan. Dalam pertemuan dengan sesepuh Partai Kebangkitan Bangsa, Abdurahman Wahid, dua pekan lalu, Habibie, misalnya, menyebut-nyebut upayanya menyelesaikan kasus Soeharto, selain juga ajakan untuk berekonsiliasi. "Tapi Gus Dur tidak merespons lebih lanjut soal Soeharto," kata Moeslim Abdurrahman, cendekiawan yang mendampingi Gus Dur dalam pertemuan sarapan pagi itu.

Membagi tanggung jawab, itu jurus yang akan dimainkan Habibie, rupanya. Dalam pertemuan dengan tokoh masyarakat, ia ingin agar tugasnya mengusut harta Soeharto diurun-rembuki oleh banyak orang. Dalam hal detektif swasta—jika investigasi para bule itu ternyata memakan banyak waktu dan tak menemukan banyak harta—ia seperti ingin bilang, "Betul, kan, tidak mudah mengusut harta guru saya?" Dan analisis semacam itu dibenarkan oleh Muladi. "Pembuktian melalui private investigator agar pemerintah tidak disalahkan terus. Kalau profesional macam itu nanti kesulitan, berarti (pengusutan harta Soeharto) memang benar-benar sulit," kata mantan Rektor Universitas Diponegoro itu.

Tapi, begitu sulitkah mengusut harta Soeharto? Untuk mengembalikan semua harta kembali ke kas negara mungkin memang sulit. Pengusutan harta mantan diktator Filipina, Ferdinand Marcos, misalnya, harus memakan waktu tahunan dengan hasil sungguh tak setimpal. Meskipun begitu, petunjuk ke arah yang lebih jelas bukan tak ada. Investigasi majalah Time dan penelitian yang dilakukan George Junus Aditjondro mestinya bisa dijadikan acuan.

Namun, persoalannya adalah kemauan politik yang nihil dari pemerintahan Habibie. Indikasinya jelas. Jaksa Agung Andi M. Ghalib yang ogah-ogahan memeriksa Soeharto, dan belakangan diduga terlibat kasus suap, tidak segera dicopot Habibie. Ia cuma dinonaktifkan dengan pemilihan pengganti jaksa agung yang blunder. Mula-mula dirangkap Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Feisal Tandjung, lalu berganti ke Menteri Muladi; diprotes banyak orang, dan belakangan dijabat sementara oleh Wakil Jaksa Agung Ismudjoko. Pusing? Itulah birokrasi kita.

Nah, jika Habibie naik lagi sebagai presiden, kasus Soeharto akan tetap adem ayem atau malahan menguap. Lalu, jika selain Habibie yang naik—katakanlah Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan—akankah Soeharto duduk di kursi pesakitan? Mega pernah berkata akan mikul duwur mendem jero, tapi ia juga pernah berucap akan menempuh cara hukum untuk kasus Soeharto. Mega, yang tak ingin Bung Karno dihujat, pernah juga berpetuah agar Soeharto jangan dihujat. Orang memang ragu apakah Mega akan mengadili Soeharto sampai tuntas.

Keraguan itu tercium dari beredarnya desas-desus yang menyebutkan salah seorang ketua PDI Perjuangan, Theo Syafei, telah mengirim surat ke bekas wakil presiden Try Sutrisno. Dalam surat itu Theo dikabarkan memberi jaminan kepada Try bahwa Megawati akan mengamankan Soeharto dari jerat pengadilan. Sebabnya, Soeharto adalah orang yang pernah melindungi Soekarno, ayah Mega, ketika presiden pertama Indonesia itu dikuya-kuya mahasiswa agar diadili pada 1966 dulu.

Desas desus itu tentu saja ditolak Theo. "Tidak benar itu. Rumah Pak Try kan tidak sampai satu kilometer dari rumah saya. Jadi tak perlu bikin surat segala." kata Theo kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO.

Siapa pun yang terpilih nanti, untuk sementara Soeharto masih bisa bernapas panjang. Ia bisa tenang bercanda dengan anak cucu di rumahnya di Jalan Cendana yang rindang. Atau sesekali memancing di Kepulauan Seribu yang biru airnya. Adapun kita—rakyat kebanyakan—cuma bisa bertanya: pemimpin seperti apa lagi yang dibutuhkan negeri ini agar kisah sang despot tak menyakitkan hati rakyat seperti sekarang.

Arif Zulkifli, Arif A. Kuswardono, Hani Pudjiarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus