Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASIA Tenggara adalah pusat penyebaran (manusia modern) setelah Afrika,” kata Profesor Sangkot Marzuki tegas kepada Tempo beberapa minggu lalu.
Bersama 98 ilmuwan asal Asia yang tergabung dalam Konsorsium Pan-Asia Single Nucleotide Polymorphism, di bawah naungan Human Genome Organisation, Direktur Lembaga Eijkman ini membuat gebrakan. Mereka merampungkan riset terbarunya terkait dengan pemetaan genetik manusia Asia (”Mapping Human Genetic Diversity in Asia”). Hasil awalnya telah dipublikasikan pada Desember 2009.
Penelitian ini penting untuk mempertegas asal-usul manusia di Asia. Inilah riset para peneliti andal se-Asia yang diakui dunia. ”Sepuluh negara berkumpul dalam semangat solidaritas untuk mengetahui bagaimana manusia terhubung satu sama lain,” kata Profesor Edison Liu, Direktur Genome Institute Singapura.
Deoxyribonucleic acid (DNA) merupakan molekul sederhana yang mempunyai fungsi kompleks menurunkan sifat (herediter) yang dimiliki suatu organisme ke generasi berikutnya. DNA pertama kali dapat dimurnikan pada 1868 oleh ilmuwan Swiss, Friedrich Miescher, yang menamainya nuclein, berdasarkan lokasinya di dalam inti sel. Namun penelitian terhadap peranan DNA di dalam sel baru dimulai pada awal abad ke-20.
Francis Crick dan James Watson, peraih Nobel Kedokteran pada 1962, adalah orang yang mampu memecahkan teka-teki struktur DNA sebagai materi genetik. Revolusi genom ini dinilai mampu menjadi dasar penelitian tentang asal-usul manusia.
Peneliti Alan Wilson selanjutnya memelopori pemanfaatan variasi DNA mitokondria (struktur dalam sel) dalam penelitian sejarah asal-usul manusia itu. Di Amerika Serikat, pada 1980-an, Wilson membandingkan DNA mitokondria dari sekitar 150 individu yang berasal dari benua Afrika, Eropa, dan Australia. Hasilnya menakjubkan. ”Hanya ada satu pohon filogenetik DNA mitokondria, yaitu Afrika,” kata Wilson saat itu.
Penelitian Wilson menunjukkan bahwa Homo sapiens (manusia modern) berasal dari Afrika pada 150-200 ribu tahun lampau. Mereka bermigrasi keluar dari Afrika sekitar 100 ribu tahun lalu.
Dengan temuan terbarunya, Profesor Sangkot Marzuki bisa disebut melengkapi informasi yang dikemukakan Wilson. Sangkot dan kawan-kawan melakukan penelitian komprehensif. Mereka menggunakan lebih dari 54 ribu sampel DNA milik hampir 2.000 individu yang mewakili 73 populasi etnik di Asia. Penelitian ini bahkan jauh lebih besar daripada skala studi terhadap kromosom Y, marker genetika yang diturunkan lewat sistem paternal, yang dilakukan Stephen Oppenheimer dari Oxford University.
Hasil riset terbaru DNA tentang asal-usul manusia Asia itu membuktikan bahwa Asia Tenggara merupakan episentrum migrasi Homo sapiens dari Afrika itu, yang kemudian melakukan arus balik migrasi ke berbagai kawasan. ”Jadi dari Afrika hanya ada satu jalur migrasi, yaitu ke Asia,” kata Sangkot.
Menurut Sangkot, dari Afrika sekitar 100 ribu tahun lalu, Homo sapiens menginjakkan kaki di Asia Tenggara sekitar 60 ribu tahun. Migrasi itu dilakukan dengan menyusuri pantai selatan Afrika, sebelum menyebar ke wilayah Asia lainnya.
Manusia-manusia inilah yang kemudian tinggal di wilayah Paparan Sunda. Sangkot meyakini manusia modern telah hidup di Paparan Sunda jauh sebelum daratan ini mencair pada 10 ribu tahun lalu.
Hasil penelusuran genetik yang dilakukan Sangkot menunjukkan populasi etnik di Asia memiliki satu pohon kekerabatan yang sama. Lima puluh persen gen Asia Timur ditemukan di populasi Asia Tenggara. Artinya, kata Sangkot, ”Keanekaragaman genetik di selatan semakin tinggi, sedangkan etnik di kawasan utara Asia lebih homogen.” Inilah yang membuahkan kesimpulan bahwa Asia Tenggara adalah pusat penyebaran populasi Asia. Teori Sangkot ini dinamai Out of Sundaland (teori Keluaran Paparan Sunda).
Hasil temuan tersebut otomatis membantah teori sebelumnya yang menyebut ada jalur majemuk migrasi nenek moyang bangsa Asia, yakni melalui jalur utara dan jalur selatan, serta membantah bahwa bangsa Asia Tenggara (yang berbahasa Austronesia) berasal dari Taiwan (Out of Taiwan).
Tapi benarkan manusia yang berdiam di Paparan Sunda itu telah memiliki peradaban yang lumayan seperti dipercayai Oppenheimer? Sangkot menolak berspekulasi bahwa 60 ribu tahun lalu manusia modern yang bermigrasi dari Afrika telah membangun suatu peradaban yang modern di Paparan Sunda. Faktanya, kawasan itu telah tenggelam sejak 10 ribu tahun lalu. ”Harus ada riset detail lagi,” kata Sangkot.
Teori Sangkot tentang Out of Sundaland (teori Keluaran Paparan Sunda) memang secara kasatmata menguatkan teori Oppenhaimer. Tapi Sangkot enggan mendukung gagasan Oppenhaimer. ”Data kami tidak mendukung, tapi menolak pun tidak,” kata Sangkot.
Rudy Prasetyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo