Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
... karya seni menjadi semacam lelucon, sesuatu untuk melayani gaya hidup limpah-ruah. Lelucon dan ironi artistik ini mudah menjadi konsumerisme dan cemoohan spiritual. (Liu Xiabo)
Liu Xiaobo, penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2010, membawa ingatan pada Sanento Yuliman (almarhum). Pada 1990, Sanento mengkritik pedas kecenderungan seni rupa kita.
Pokok dan tema dalam karya seni rupa menyusut, ”Cenderung memberikan rasa aman, mapan, dan nyaman,” tulis Sanento. ”Pokok dan tema yang menegangkan pikiran dan mengganggu perasaan dijauhkan.”
Waktu itu Sanento mengkritik pameran di galeri yang menjamur, yang kemudian menular ke semua institusi seni rupa, termasuk pendidikan. Terjadi pemiskinan, pendusunan, pemingitan, dan seni rupa berkembang ”tanpa pola dan acuan”.
Di Cina, dua tahun lalu, pemikiran sama meski tak serupa dilontarkan Liu Xiaobo. Budayawan yang juga aktivis hak asasi manusia ini kecewa pada perkembangan seni rupa negerinya.
Ia tak lagi menemukan ”spirit” seperti pada karya-karya 1980-an hingga 1990-an. Di satu sisi Liu menyambut ”pertukaran karya secara internasional” dan ”pluralisme” yang melibatkan seni rupa Cina, di sisi lain ia kritis pada ”komersialisasi”, yang mendatangkan ”kemakmuran” pada sejumlah perupa.
Bukan kemakmuran itu sendiri yang ia kritik. Sebab, dengan kemakmuran itu, para ”bintang” seni rupa Cina Wang Guangyi, Fang Lijun, dan Zhang Xiaogang tak lagi khawatir tak ada makanan di mejanya. Dengan demikian kemandirian para seniman bisa kuat terjaga; mereka tak mudah dibeli.
Pada awal 1980-an kelompok itulah yang memelopori kebebasan kreatif, melahirkan lukisan abstrak dan lukisan telanjang yang pada masa Mao sangat ditabukan. Pameran para bintang itu makin kreatif dan dianggap mencerminkan kehendak masyarakat luas: demokrasi dan kebebasan berbicara. Lahir karya-karya komentar sosial, mengkritik kekuasaan Partai Komunis Cina.
Namun, menurut Liu, Deng Xiaoping ternyata hanya mau Cina yang makmur dan kuat, bukan yang demokratis. Dan pada 1983, kelompok ”Bintang” dilarang.
Tapi virus demokrasi telanjur mewabah, dan menemukan habitatnya: perumahan diplomat asing di Beijing. Di sinilah para seniman mendapat tempat dan sponsor. Di sinilah pada awalnya Fang Lijun dan kawan-kawan seangkatannya menciptakan karya yang kemudian membuat mereka ternama di seantero dunia.
Ketika itu figur-figur berkepala gundul Fang Lijun ditafsirkan sebagai ”serangan” terhadap penguasa. Terciptanya karya yang beraroma kritik sosial itu sejalan dengan tumbuhnya gerakan mahasiswa dan aktivis demokrasi. Ini berkembang menjadi gerakan menduduki Tiananmen, Juni 1989, dan berklimaks pada pembantaian anak-anak muda itu.
Lebih dari penutupan kelompok ”Bintang”, tragedi Tiananmen adalah awal penindasan kreativitas. Liu mencatat, sejak itu ”sedikit sekali karya yang mencerminkan kehidupan sebenarnya masyarakat Cina”. Tragedi Tiananmen tak disentuh sama sekali dalam karya kesenian, apalagi karya seni rupa.
Bukannya karena tak ada lagi komentar sosial dan penggambaran penderita pada karya mereka. Tapi yang dikomentari dan digambarkan adalah masa lalu: kesengsaraan orang-orang pada masa Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan, 1960-an sampai 1970-an.
Sebenarnya budayawan dan aktivis hak asasi manusia ini memakluminya. Sebab, ketika itu, kritik seringan apa pun, datang dari siapa pun, ditindas dengan brutal. Liu sendiri pada 1996, bersama sejumlah aktivis demokrasi, ditangkap dan ditahan.
Penderitaan rakyat, tulis Liu, absen dari karya seni rupa. Seolah ”di mana rakyat menderita, di situ seniman menghilang”. Karya pada umumnya menjadi ”semacam rekreasi spiritual..., menjadi sepenuhnya tanpa kepekaan sosial”.
Dalam suasana seperti itu, pasar seni rupa justru berkembang. Pertama oleh sambutan masyarakat dunia pada karya-karya Cina yang disertakan dalam pameran internasional, misalnya bienal. Kedua, pasar di Cina pun tumbuh karena reformasi ekonomi Deng melahirkan sejumlah multimiliuner Cina.
”Inilah zaman yang benar-benar bertolak belakang dengan semangat yang melahirkan tuntutan demokrasi yang berujung tragedi Tiananmen,” kata Liu. Maka orang pun ”semata memburu untung”. Bagi mereka, ”kebenaran hanya berwujud keuntungan pribadi..., seluruh tujuan adalah mendapatkan kesenangan”. Tiada lagi yang butuh aspirasi.
Pemikiran Liu dalam percakapannya dengan seorang perupa, Meng Huang, dua tahun lalu itu seperti meramalkan keadaannya kini. ”Di mana rakyat menderita, di situ seniman menghilang.” Sejauh ini, di antara jutaan perupa Cina, hanya perupa, desainer, dan aktivis ternama Ai Weiwei yang vokal memberi dukungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo