Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Paceklik Blangko setelah Lelang

Korupsi proyek KTP elektronik berbuntut kelangkaan blangko. Berdampak buruk pada berbagai pelayanan umum.

13 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLAK-balik mendapat panggilan kerja, Euis Nunung Unaisih berkali-kali batal meneken kontrak. Teranyar, pada akhir Januari lalu, perempuan 23 tahun ini ditolak perusahaan garmen di Bogor, Jawa Barat. Gara-garanya, Euis belum punya kartu tanda penduduk elektronik.

Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Slawi ini bukannya tak peduli atas identitas pribadi. "Empat bulan lebih saya mengurus e-KTP, belum kelar-kelar," kata Euis, warga Desa Dermasandi, Pangkah, Kabupaten Tegal, Kamis pekan lalu.

Euis sudah merekam data untuk KTP elektronik di Kantor Kecamatan Pangkah pada Oktober 2016. Tapi, karena blangko e-KTP kosong, petugas kecamatan hanya membekali dia dengan surat keterangan sebagai KTP sementara. Ternyata semua perusahaan yang dilamar Euis tak mengakui surat tersebut.

Euis tak sendirian. Pada Oktober 2016, Ombudsman Republik Indonesia merilis laporan bahwa sekitar 17,5 juta penduduk belum memiliki KTP elektronik karena paceklik blangko. Ombudsman pun menerima banyak keluhan dari masyarakat yang tak bisa mendapat berbagai pelayanan karena belum memiliki KTP elektronik.

Setiawan, 24 tahun, termasuk yang pernah kesulitan mendapat pelayanan perbankan gara-gara tak punya e-KTP. Karyawan baru perusahaan asing di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, ini sempat tak bisa membuka rekening penampung gaji di bank swasta mitra perusahaan.

Setelah bolak-balik diyakinkan, pegawai bank akhirnya mau membuatkan rekening dengan dasar surat keterangan KTP sementara. Tapi bank hanya menyerahkan buku tabungan Setiawan. Bank menahan kartu anjungan tunai mandirinya selama hampir dua bulan, sampai KTP elektronik Setiawan tercetak. "Baru bulan ketiga saya bisa menikmati gaji pertama," ujar Setiawan.

Untuk mengakali kelangkaan blangko e-KTP, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan edaran ke pelbagai instansi swasta dan pemerintah. Edaran itu menyatakan surat keterangan pengganti KTP elektronik merupakan produk hukum yang sah. Pada 20 Februari lalu, untuk ketiga kalinya Kementerian menerbitkan surat edaran serupa demi menguatkan dua edaran sebelumnya.

Zudan Arif Fakrulloh, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, meminta instansi pemerintah dan swasta tak ragu terhadap keabsahan surat keterangan KTP sementara. "Status hukumnya sama seperti KTP," kata Zudan. "Jika blangko sudah ada, bisa langsung diganti."

Kelangkaan blangko merupakan buntut dari korupsi pengadaan KTP elektronik di Kementerian Dalam Negeri. Kamis pekan lalu, Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi menggelar sidang perdana kasus dugaan korupsi KTP elektronik dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. Keduanya bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri. Irman pernah menjabat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, sementara Sugiharto terakhir menjabat Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan.

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa Irman dan Sugiharto "mengatur proyek" senilai Rp 5,8 triliun itu bersama sejumlah anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat dan perusahaan swasta. Jaksa menyebut kerugian negara akibat bancakan proyek ini sekitar Rp 2,3 triliun. "Pemenang proyek diatur sehingga menguntungkan beberapa orang," ujar jaksa KPK yang membacakan dakwaan.

l l l

Paceklik stok blangko KTP elektronik melanda tak lama setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2013. Aturan itu menyebutkan KTP non-elektronik hanya berlaku sampai Desember 2014. Masyarakat pun berbondong-bondong mengurus e-KTP ke kantor-kantor kelurahan dan kecamatan.

Masalahnya, pasokan blangko KTP elektronik lebih sedikit daripada jumlah penduduk yang mendaftar. Dalam sidang dakwaan Irman dan Sugiharto, terungkap bahwa konsorsium pemenang tender pengadaan KTP elektronik, yang dipimpin Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, tak bisa memenuhi target.

Konsorsium ini seharusnya menyediakan 179 juta keping blangko KTP elektronik pada Desember 2013. Faktanya, Perum Percetakan Negara hanya sanggup mengerjakan 122 juta keping blangko. Itu pun konsorsium tak mengerjakan sendiri proyeknya. Mereka menyerahkan pencetakan blangko e-KTP ke empat perusahaan di luar anggota konsorsium. Padahal Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah melarang praktek subkontrak.

Meski konsorsium gagal memenuhi target, Kementerian Dalam Negeri tetap membayar konsorsium senilai Rp 4,9 triliun. Untuk memuluskan pencairan anggaran, seperti tertulis dalam dakwaan, Irman dan Sugiharto bahkan memerintahkan anak buahnya membuat laporan palsu seolah-olah pengadaan blangko e-KTP berjalan lancar. Soesilo Ariwibowo, pengacara keduanya, membantah hal tersebut. "Itu tidak benar," katanya.

Kelangkaan blangko kian menjadi-jadi karena per Desember 2013 jumlah penduduk Indonesia yang membutuhkan KTP elektronik naik menjadi 191 juta jiwa. Untuk mengatasi kekurangan itu, menurut Zudan Arif, pemerintah pusat meminta pemerintah daerah menganggarkan biaya pencetakan blangko KTP elektronik.

Pemerintah pun mengulur waktu dengan menerbitkan peraturan presiden yang memperpanjang batas waktu perekaman data e-KTP sampai Desember 2015. Karena kelangkaan stok blangko belum teratasi, batas waktu perekaman data diperpanjang lagi sampai Agustus 2016. Terakhir, pemerintah "menyerah" dan menerbitkan edaran tentang surat keterangan sebagai KTP sementara.

Dampak kelangkaan blangko e-KTP juga merembet ke urusan pemilihan kepala daerah. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi, Titi Anggraini, dalam putaran pertama pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 15 Februari lalu, banyak warga Ibu Kota yang tak bisa mencoblos.

Istrida, warga Cilandak Barat, Jakarta Selatan, termasuk yang tak bisa memilih gara-gara belum memiliki KTP elektronik. Nama Istrida tak tercantum dalam daftar pemilih tetap di Tempat Pemungutan Suara 28. Ketika dia minta namanya dimasukkan ke daftar pemilih tambahan, panitia pemungutan suara tak mau melayani. Alasannya, Istrida hanya menunjukkan surat keterangan sebagai KTP sementara. Masalah serupa dialami 50-an pemilih di TPS 17 Kampung Akuarium, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara.

Di tengah ribut-ribut kelangkaan blangko e-KTP, Kementerian Dalam Negeri malah mendapat tagihan Rp 540 miliar dari PT Biomorf Lone Indonesia. Menurut Presiden Direktur Biomorf Lone, Kevin Johnson, perusahaannya mendapat proyek e-KTP karena digandeng PT Quadra Solutions—anggota konsorsium yang mengurus perekaman data.

Kevin menjelaskan, tagihan yang dilayangkan Biomorf merupakan biaya tambahan pekerjaan perekaman data biometrik sejak 2014. Bila mengacu pada kontrak awal, pekerjaan Biomorf seharusnya berakhir pada 2013. Biomorf melanjutkan pelayanan perekaman data karena konsorsium menyatakan telah mendapat persetujuan Kementerian Dalam Negeri.

Kevin mengaku pernah menagih kepada konsorsium pemenang tender. "Mereka bilang enggak punya uang," tuturnya. Karena pembayaran macet, menurut Kevin, Biomorf tak akan mengerjakan lagi perekaman data dengan teknologi Automated Biometric Integrated System (ABIS) itu. "Sistemnya masih berjalan. Tapi, kalau ada yang rusak, tak akan kami bantu," katanya.

Bos PT Quadra Solutions, Anang Sugiana Sudihardjo, enggan menanggapi klaim pembayaran yang diajukan Biomorf. "Saya tidak tahu. Lebih baik tanya yang lain," ujar Anang ketika dimintai konfirmasi oleh Tempo.

Kementerian Dalam Negeri menolak membayar tagihan Biomorf. Alasannya, menurut Zudan Arif, Kementerian sudah melunasi semua kontrak ke konsorsium. Kalaupun Biomorf menarik diri, urusan perekaman data bisa ditangani Kementerian. Soalnya, kode sumber (source code) generasi pertama teknologi ABIS sudah diserahkan kepada pemerintah. Kementerian Dalam Negeri masih meminta Biomorf menyerahkan kode sumber sisanya seiring dengan berakhirnya kontrak dengan konsorsium. "Bila tidak menyerahkan, Biomorf melanggar hukum karena data penduduk masuk obyek vital negara," kata Zudan.

Syailendra Persada | Hussein Abri | Agoeng Wijaya (Jakarta) | Faiz Irsyam (Tegal) | Deden Abdul Aziz (Cianjur) | Rere Khairiyah (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus