Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Banyak Bukti, Banyak Saksi

Jejak aliran dana korupsi proyek e-KTP terungkap dari pengakuan orang yang membagikan uang. Pengembalian duit menjadi bukti penting menyeret tersangka lain.

13 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Mohammad Jafar Hafsah tercantum dalam daftar saksi yang menyerahkan uang dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut dokumen yang diperoleh Tempo, politikus Demokrat itu mengembalikan Rp 1 miliar berselang dua pekan setelah diperiksa penyidik KPK pada awal Desember tahun lalu.

Ketika proses penganggaran proyek e-KTP bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat enam tahun lalu, Jafar adalah Ketua Fraksi Demokrat. Kepada Tempo, ia membenarkan telah menyerahkan uang. Jafar mengatakan duit tersebut dana operasional ketua fraksi dari Muhammad Nazaruddin, yang saat itu Bendahara Umum Demokrat. "Tidak ada kaitannya dengan proyek e-KTP," katanya Jumat pekan lalu.

Jafar menolak menjelaskan alasan penyerahan uang. Namanya disebut dalam surat dakwaan untuk Irman dan Sugiharto, pejabat Kementerian Dalam Negeri, sebagai salah satu penerima uang korupsi proyek e-KTP pada 2011-2013.

Menurut dakwaan yang dibacakan jaksa KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis pekan lalu itu, Jafar menerima Rp 1 miliar dari broker proyek e-KTP, Andi Agustinus atau Andi Narogong, di salah satu ruang anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Golkar di lantai 12 Kompleks Parlemen, Senayan, Oktober 2010.

Menurut dakwaan itu, Andi memberikan uang kepada Jafar agar ia menyetujui memuluskan usulan anggaran proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun. Oleh Jafar, duit dibelikan satu unit mobil Toyota Land Cruiser 4,5 AT warna hitam bernomor polisi B-1-MJH di sebuah showroom mobil di Pondok Indah, Jakarta Selatan, awal Januari 2011. "Mobil itu dibeli dari uang pribadi saya," kata Jafar.

Bukan hanya Jafar, menurut dakwaan jaksa, sedikitnya 60 anggota DPR periode 2009-2014 juga menerima gelontoran duit untuk memuluskan penganggaran proyek e-KTP. Dari pimpinan DPR, Ketua Badan Anggaran, hingga pimpinan Komisi Pemerintahan beserta 37 anggotanya. Nilainya dari satu miliar sampai puluhan miliar rupiah.

Duit proyek ini juga menjadi bancakan petinggi dan panitia pengadaan Kementerian Dalam Negeri. Mereka menerima dana Rp 10-50 miliar dalam bentuk dolar Amerika Serikat dan rupiah. Di antaranya Sekretaris Jenderal Diah Anggraeni, Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Drajat Wisnu Setyawan, Irman—yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil—serta Sugiharto, yang menjabat Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan.

Dalam dokumen yang diperoleh Tempo, setelah kasus e-KTP ditangani KPK, beberapa dari mereka menyerahkan sebagian duit itu ke penyidik. Irman mengembalikan US$ 300 ribu dan Rp 50 juta. Sugiharto juga mengembalikan Rp 270 juta. Adapun Diah mengembalikan duit US$ 500 ribu dan Drajat Wisnu US$ 40 ribu.

Ada juga pengembalian dana dari pengacara Hotma Sitompoel sebesar US$ 400 ribu. Saat itu Hotma adalah pengacara Kementerian Dalam Negeri untuk menghadapi laporan peserta tender e-KTP yang kalah di Kepolisian Daerah Metro Jaya, September 2011. Dari pengakuan sejumlah saksi ke KPK, duit untuk jasa kantor pengacara itu diambil dari rekanan proyek e-KTP.

Pengacara Irman dan Sugiharto, Soesilo Aribowo, membenarkan kabar bahwa keduanya telah mengembalikan duit ke KPK. "Total pengembalian keduanya sekitar Rp 4 miliar," katanya. Hotma juga tidak menampik pengembalian itu. "Dana yang kami terima fee selaku penasihat hukum Kementerian dalam Negeri," ujar Hotma, yang diperiksa penyidik KPK pada akhir November tahun lalu.

Setelah diperiksa KPK pada pertengahan Desember 2016, Diah Anggraeni membantah menerima uang. "Tidak ada. Semua sudah dijelaskan ke KPK," katanya.

Aliran dana proyek ini juga mengucur ke pengusaha, broker, dan lima perusahaan anggota konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) yang memenangi tender. Untuk perorangan, nilainya Rp 1-60 miliar.

Andi Narogong dan timnya disebut menerima sedikitnya Rp 60 miliar. Sedangkan setiap anggota konsorsium disebut menerima sekitar Rp 100 miliar. Selain Perusahaan Umum PNRI, anggota konsorsium lain adalah PT Sandipala Arthaputra, PT LEN Industri, PT Sucofindo, dan PT Quadra Solutions.

KPK telah menyita Rp 220 miliar dari perusahaan yang menjadi anggota konsorsium proyek ini. Di luar itu, menurut juru bicara KPK, Febri Diansyah, ada 14 orang yang menyerahkan uang terkait dengan proyek e-KTP sebesar Rp 30 miliar.

Menurut Febri, nilai duit hasil sitaan dan pengembalian ke KPK masih jauh dari nilai kerugian negara proyek e-KTP sebesar Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun. Sejumlah auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan diundang ke KPK untuk melakukan penghitungan ini. "Modusnya penggelembungan harga barang," ujar Febri. Duit hasil markup ini yang diduga KPK mengalir ke mana-mana.

Modus tersebut dilakukan di hampir setiap spesifikasi barang. Untuk item chip yang seharusnya Rp 9.400 per unit, misalnya, barang yang digunakan ternyata seharga Rp 3.675. Selisih penggelembungan sangat besar jika dikalikan target pengadaan e-KTP untuk 172 juta orang di 497 kabupaten atau kota.

Rekayasa harga itu, menurut mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin setelah diperiksa di KPK pada September tahun lalu, dibahas di kantor Andi Narogong di Ruko Graha Mas Fatmawati Blok B Nomor 33-35, Jakarta Selatan, sebelum anggaran disetujui Dewan, pada 2011.

Dari anggaran Rp 5,9 triliun, menurut Nazar, 49 persen dibagi-bagi kepada petinggi dan politikus DPR, Komisi Pemerintahan, dan rekanan. "Nilai markup-nya mencapai Rp 2,5 triliun," tuturnya. Nilai penggelembungan belakangan tak jauh beda dengan angka kerugian negara.

Andi Narogong sampai pekan lalu belum bisa dimintai konfirmasi soal ini. Disambangi di rumahnya di Blok C/10, Perumahan Central Park Beverly Hills, Kota Wisata Cibubur, Bogor, Jawa Barat, salah satu petugas keamanan di sana langsung menghalau Tempo. Andi juga lama tidak berkantor di Ruko Graha Mas Fatmawati. Tapi, ketika diperiksa penyidik KPK, Andi membantah menjadi pihak yang mengatur proyek e-KTP.

l l l

SELAIN hadir dalam rapat-rapat penting mengotak-atik nilai proyek e-KTP, M. Nazaruddin menjadi orang yang menyaksikan langsung Andi Narogong membagi-bagikan uang ke politikus Senayan, pejabat Kementerian Dalam Negeri, dan rekanan. "Dia memang menyaksikan bagi-bagi uang proyek itu," kata pengacara Nazar, Elza Syarief.

Dalam kesaksiannya kepada penyidik KPK, menurut seorang penegak hukum, Nazar menyebutkan pemberian duit oleh Andi beberapa kali dilakukan di salah satu ruangan di lantai 12 gedung DPR. Pada 20 Oktober, misalnya, menurut Nazar, Andi menyerahkan duit kepada seorang anggota Komisi Pemerintahan untuk diserahkan kepada sejumlah koleganya.

Nazar menyebutkan, antara lain, untuk setiap anggota biasa mencapai US$ 5.000. Untuk pimpinan Komisi, dia menyatakan angkanya US$ 500 ribu.

Sedangkan untuk pimpinan Kementerian Dalam Negeri dan panitia pengadaan, menurut Nazar, duit diserahkan Andi kepada Sugiharto di lantai dua kantornya di Fatmawati. Penyerahan duit itu, kata dia, kadang dilakukan di kantor Sugiharto.

Ketika diperiksa KPK, Sugiharto membenarkan pernah menyerahkan duit buat para petinggi Kementerian Dalam Negeri. Pada akhir 2011, misalnya, ia mengaku pernah didatangi Andi Narogong di ruang kerjanya.

Ketika itu, menurut Sugiharto, Andi membawa tas kertas hitam yang di dalamnya berisi tiga amplop cokelat yang ditujukan untuk Diah Anggraeni, ia, dan Irman. Sugiharto mengetahui isi amplop itu uang US$ 100 ribu dalam pecahan US$ 100 setelah membukanya.

Pengacara Irman dan Sugiharto, Soesilo Aribowo, tidak membenarkan atau membantah tudingan bahwa dua kliennya pernah menerima uang. "Lihat saja nanti di persidangan," ucapnya. Diah Anggraeni pernah membantah menikmati duit dari proyek ini. "Insya Allah, tidak ada," katanya.

Selain pengakuan Nazar, pengakuan Miryam S. Haryani memperkuat dugaan aliran dana ke Dewan. Pembagian itu, menurut Miryam, atas perintah Ketua Komisi Pemerintahan Chairuman Harahap.

Untuk pemberian pertama, misalnya, Miryam menyebutkan setiap anggota komisi mendapatkan jatah US$ 3.000. Setiap Kepala Kelompok Fraksi Komisi Pemerintahan masing-masing mendapat jatah US$ 7.000. "Buktikan saja," ujar Chairuman.

Duit yang dibagi-bagikan Miryam ini merupakan pemberian Sugiharto. Menurut seorang penegak hukum di KPK, Sugiharto mengatakan Miryam pada 2011 beberapa kali meminta duit untuk dibagikan kepada pimpinan dan anggota Komisi Pemerintahan.

Pada Mei 2011, misalnya, Miryam meminta dana dengan dalih untuk kunjungan pimpinan dan anggota Komisi Pemerintah meninjau persiapan e-KTP di daerah. Sugiharto kemudian meminta salah satu perusahaan anggota konsorsium menyiapkan dana tersebut.

Sebelum dakwaan dibacakan, kepada Tempo, Miryam mengatakan tidak pernah menerima dana dari siapa pun terkait dengan proyek e-KTP. Ketika ditanya kembali soal ini melalui sambungan telepon, dia membantah tuduhan menerima duit dari proyek tersebut. "Untuk aliran dana, saya benar-benar tidak tahu," ucapnya.

Pengakuan Nazar, Miryam, dan Sugiharto ini menjadi petunjuk penting bagi KPK untuk menyeret para penikmat dana. Termasuk, kata Febri Diansyah, adanya pengembalian dana. "Itu akan menjadi salah satu bukti. Pertama, keterangan saksi dan kedua, soal pengembalian itu," ujar Febri.

Sejauh ini baru Irman dan Sugiharto yang dijerat. Nama lain baru dilarang bepergian ke luar negeri untuk memudahkan pemeriksaan. Salah satunya Andi Narogong.

Anton Aprianto | I Wayan Agus Purnomo | Hussein Abri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus