Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hersri Setiawan
Penulis dan eks tahanan politik Pulau Buru; pernah menjadi Sekretaris Umum Lekra di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Wakil Ketua Lembaga Sastra Indonesia, dan wakil Indonesia di Biro Pengarang Asia-Afrika, Kolombo, Sri Lanka.
LEMBAGA Kebudayaan Rakyat adalah pernyataan tentang keberadaan: sebagai sebuah organisasi, juga sebagai roh atau konsep. Lekra juga pernyataan tentang jati diri. Ia pernyataan politik dalam pengertiannya yang paling sublim: asas dan haluan, upaya, serta kebijakan dari kebudayaan rakyat yang siap bertumbuh. Lekra lahir pada 1950—lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Lekra adalah perjuangan pemerdekaan diri sebagai obyek dan perjuangan pencarian diri sebagai subyek di tengah pergaulan antarbangsa. Kata "rakyat" yang menjadi inti bagi kata "lembaga" dan "kebudayaan" yang mendahuluinya, tentu saja, yang dimaksud ialah rakyat Indonesia. Kata "Indonesia", sejak 28 Oktober 1928, bukan sekadar menunjuk pada gugusan kepulauan dan penghuninya, melainkan sebuah pernyataan politik. Politik pembebasan dan pembentukan diri.
Seni dan politik selalu tampil bersama dan saling tunjang. Di kampung-kampung di era lampau, seni menjadi bagian dari kehidupan. Seusai musim panen, musik lesung terdengar berdentam-dentam. Anak-anak petani mempergelarkan "lakon dolanan" di bawah sinar purnama, misalnya opereta Soyang. Saat itu, bahasa seni adalah juga bahasa perjuangan hidup sehari-hari.
Seni dan politik juga bisa disaksikan di benteng selatan Keraton Yogyakarta. Saat itu, dalam suasana revolusi Indonesia yang menggelora, poster-poster perjuangan digelar pada tembok sepanjang satu kilometer dengan tinggi empat meter. Kota Yogyakarta, ibu kota RI, diubah menjadi kanvas raksasa oleh para pelukis yang tergabung dalam Pusat Tenaga Pelukis Indonesia. Barangkali inilah poster terbesar dan terpanjang yang pernah ada dalam sejarah seni rupa Indonesia.
Di kalangan pemikir kebudayaan, bergulir adu wacana tentang apa itu kebudayaan nasional dan bagaimana kebudayaan nasional harus dibangun. Debat atau polemik besar kebudayaan itu tak pernah terselesaikan hingga sekarang. Debat besar itu mencuat sekurang-kurangnya tiga kali: pada pertengahan 1930-an, pada tahun-tahun pertama proklamasi kemerdekaan RI, serta pada 1959-1965 antara kaum Manikebu (Manifes Kebudayaan) dan kaum Manipol (Manifesto Politik) sejak pidato 17 Agustus 1959 Presiden Sukarno, "Penemuan Kembali Revolusi Kita".
DALAM medan politik untuk pembebasan diri—di meja perundingan dan di medan pertempuran—Indonesia mengalami kekalahan demi kekalahan. Kesepakatan Konferensi Meja Bundar ditandatangani di Den Haag pada 1949, dan republik proklamasi 1945 pun berakhir. Memang, kurang dari satu tahun kemudian, Republik Indonesia Serikat bubar dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Juga benar bahwa Uni RIS-Kerajaan Belanda dapat dibubarkan secara sepihak lima tahun kemudian (1954).
Menghadapi perkembangan ini, Sukarno menilai "Revolusi Agustus belum selesai", sementara PKI menganggap Indonesia "telah gagal". Indonesia tidak lagi merdeka dan berdaulat, tapi menjadi negara semikolonial dan semifeodal, termasuk dalam hal politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam hal yang terakhir, semifeodalisme itu tecermin dari terbentuknya Sticusa—Stichting voor Culturele Samenwerking (Lembaga Kerja Sama Kebudayaan)—sebagai salah satu bentuk pelaksanaan Culturele Accoord (Kesepakatan Kebudayaan) Indonesia-Belanda, hasil dari Konferensi Meja Bundar.
Pada satu pihak dari kubu kebudayaan nasional, yang dipelopori Ki Hadjar Dewantara, lahir konsep kebudayaan kerakyatan. Pada kubu lain, yang meyakini seni untuk seni (l'art pour l'art) melalui Sutan Takdir Alisjahbana, lahir konsep kebudayaan humanisme universal.
Dua kubu inilah yang setelah 1959—terutama pada 1962-1965—berhadap-hadapan. Dalam perdebatan ini, Lekra menolak "seni untuk seni". Lekra mendukung seni dan ilmu yang "memiliki engagement" pada ideologi, politik kemerdekaan, dan kerakyatan.
DEMIKIANLAH Lekra lahir pada 17 Agustus 1950—tanggal ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan dan kedaulatan diri.
Didirikan di Jakarta, di tingkat nasional Lekra dipimpin sekretariat yang terdiri atas enam orang—seorang di antaranya merupakan sekretaris umum. Lekra menyatakan diri sebagai wadah para pekerja kebudayaan rakyat. Semua berhimpun di dalamnya menuju cita-cita kebudayaan rakyat yang menuntut kemerdekaan dan kedaulatan. Lekra bukan tempat bagi kaum seniman dan selebritas yang suka berkenes-kenes. Sebagai organisasi, Lekra adalah organisasi dari suatu gerakan kebudayaan. Ya, suatu gerakan!
Bagi Lekra, pekerja kebudayaan rakyat bukanlah seniman dan ilmuwan yang mengisolasi diri dari rakyat dan tak acuh pada persoalan hidup mereka. Lekra tidak ingin kehidupan kebudayaan dikuasai kaum priayi kota dan desa, yang secara tidak sadar—apalagi jika dilakukan dengan sadar—menjadi kepanjangan tangan kapitalisme asing dan sisa-sisa feodalisme pribumi.
Selama delapan tahun pertama—hingga kongres nasionalnya yang pertama dan terakhir di Solo pada 1959—Lekra sibuk memasyarakatkan diri. Lekra mengembangkan sayap organisasi di seluruh Tanah Air, sambil mendakwahkan ideologi dan politiknya untuk mencapai amanat Revolusi Agustus 1945.
Kegiatan itu diterjemahkan melalui berbagai bentuk usaha penciptaan karya seni dan ilmu. Misalnya pembentukan grup-grup paduan suara dan keroncong yang menampilkan lagu-lagu perjuangan kemerdekaan dan lagu rakyat daerah. Lekra juga menggalakkan seni pertunjukan rakyat, seperti ludruk, ketoprak, dan lenong.
Lekra bukan tak mengkritik Sukarno. Dari Jakarta, Bambang Sokawati Dewantara menciptakan tari Enam-Empat, yang melukiskan aksi kaum tani menuntut bagi hasil yang layak terhadap tuan tanah. Dari Cilacap, Sudarno As menggubah tari Menjala Ikan, yang melukiskan ketidakberdayaan nelayan dan buruh menghadapi tengkulak dan "tuan ikan". Di Salatiga, Suyud melukiskan membubungnya harga kebutuhan pokok dalam gending dan tari Blanja Wurung ("Urung Berbelanja"). Di Semarang, Oey Giok Siang menggubah langgam keroncong TST—sebuah kritik terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa itu. Syairnya, "Aku baru mengerti, yang itu TST, tahu sama tahu…."
Dalam umurnya yang terlalu pendek—dibanding Humanisme Universal dan Pujangga Baru yang mendahuluinya—Lekra mendapat tempat di hati rakyat. Di Yogya, jika orang mengatakan "melihat Lekra", itu artinya melihat pertunjukan gratis di panggung terbuka—panggung yang dibangun dengan papan-papan yang disusun di atas drum kosong, dengan hiasan banyak penjor, tampah, dan kukusan yang dilukis indah-indah.
Jika di desa-desa di Jawa Tengah orang mengatakan "melihat dalang Lekra", itu artinya mereka menyaksikan pergelaran wayang kulit yang dalangnya "runtut" dan lakonnya nges karena nyambung dengan situasi aktual. Adegan goro-goro-nya berisi kritik tajam tapi kocak dengan memperkenalkan banyak gending baru.
Kondisi ini mengancam seniman dan budayawan menengah kota dan pimpinan militer (Angkatan Darat). Karena itu, Kodam lalu membentuk Badan Kerja Sama Budayawan dan Militer (BKS Bumil), yang mencari celah-celah "artistik" sebagai alasan. Mereka menilai karya seniman Lekra bermutu rendah karena tidak memisahkan dunia artistik dari dunia politik.
Kritik ini dijawab dengan tegas oleh Njoto dalam Kongres Nasional I Lekra di Solo pada 1959, dengan mengatakan dalam kebudayaan "Politik adalah Panglima". Politik bagi Lekra adalah basis kebudayaan, maka berpolitik itu penting. Lekra menolak kritik yang menyebutkan banyak karya seniman Lekra gagal secara artistik karena menolak memisahkan politik dan seni.
Dalam kongres nasional itu, Lekra merumuskan asas 1-5-1, yakni "asas dua tinggi", yaitu tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik. Asas "dua tinggi" ini merupakan salah satu dari "lima kombinasi" pedoman kerja, yaitu (1) meluas dan meninggi, (2) tinggi mutu ideologi dan mutu artistik, (3) tradisi baik dan kekinian revolusioner, (4) kreativitet individuil dan kearifan massa, dan (5) realisme sosialis dan romantik revolusioner. Tujuan prinsip itu adalah memberdayakan rakyat dari sudut sosial-budaya dan politik karena tujuan terakhir gerakan ini ialah melakukan perubahan.
Karena itu, ketika saya memimpin Lekra Jawa Tengah, gerakan pemberantasan buta huruf digelar sebagai gabungan dari aktivitas kebudayaan dan penyadaran politik. Saya menyusun diktat "Pemberantasan Buta Huruf" yang merupakan upaya penyadaran rakyat tentang kemiskinan dan sebab-musababnya dengan pendekatan kebudayaan seperti tembang, tari, dan pedalangan. Misalnya teks-teks seperti ini: ba-wo-n, e-na-m em-pa-t, u-pa-h, ba-gi ha-si-l, -bu-ru-h…, dan seterusnya.
Dengan "Politik sebagai Panglima" sebagai basis, semua ketentuan kombinasi yang lima itu akan bisa dicapai jika melalui metode kerja "Turun ke Bawah". Itulah yang disebut garis 1-5-1 Lembaga Kebudayaan Rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo