Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah Bertemu Lelaki Pesolek
Diperbanyak menggunakan stensil, teks Manifes Kebudayaan beredar dari tangan ke tangan. mendekat ke tentara.
MULANYA sebuah pertemuan di Hotel Salak, Bogor. Ketika itu sekitar Juli 1963. Goenawan Mohamad; Bur Rasuanto; A. Bastari Asnin, penulis cerita pendek terkemuka; dan Sjahwil, pelukis penting dari Grup Sanggar Bambu, Yogyakarta, mengunjungi Iwan Simatupang, yang tinggal di hotel itu.
Saat mereka tiba, Iwan—penulis novel Ziarah dan Merahnya Merah—tengah kedatangan tamu perlente. Dia memperkenalkan tamu itu kepada Goenawan dan yang lain sebagai orang SOKSI atau Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia, organisasi yang didukung tentara. Menurut Iwan, lelaki itu hendak mengajak mereka membentuk organisasi kebudayaan.
Goenawan tak segera mengiyakan. Dia merasa SOKSI bukanlah organisasi yang menarik. "Lagi pula saya tak suka orang yang duduk di dekat Iwan itu. Ia seorang pesolek. Peci beludrunya tinggi dan berbunga," tulis Goenawan, mengisahkan pertemuan itu, dalam sebuah esai berjudul "Peristiwa 'Manikebu': Kesusastraan Indonesia dan Politik di Tahun 1960-an". Esai itu terbit di majalah Tempo edisi 21 Mei 1988. Menurut dia, pertemuan di hotel itu merupakan cikal-bakal lahirnya Manifes Kebudayaan.
Kembali ke Jakarta, malamnya, Goenawan menceritakan pertemuan di Hotel Salak itu kepada beberapa teman lain, terutama Wiratmo Soekito. "Kami berkumpul di rumah Wiratmo," ujar Arief Budiman, ketika itu penulis esai muda yang dikenal dengan nama Soe Hok Djin. Seingat Arief, selain dia dan Goenawan, ada Rendra dan beberapa seniman lain.
Wiratmo tinggal di paviliun rumah komponis Binsar Sitompul di Jalan Cilosari, Cikini, Jakarta. Goenawan dan Salim Said, ketika itu mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, serta beberapa seniman muda lain sering main ke sana. Mereka bebas meminjam buku, juga tidur di dipan Wiratmo. Tidak jarang Wiratmo harus tidur di lantai karena tempat tidurnya dipakai tetamu mudanya.
"Sudah saatnya kita menjelaskan pendirian kita," ucap Wiratmo pendek setelah mendengar cerita Goenawan. Dia pun segera menyusun semacam petisi yang diberinya nama Manifes Kebudayaan. Naskah itu dikopi dan dibagi-bagikan. Arief Budiman, Salim Said, dan Slamet Sukimanto kemudian merancang pertemuan di rumah novelis asal Medan, Bokor Hutasuhut, di Jalan Raden Saleh, dekat kantor majalah Sastra, untuk membahas manifes tersebut.
Penyair Taufiq Ismail mengingat di setiap pertemuan yang hadir cuma sekitar 10 orang. "Saya ikut dua-tiga kali pertemuan di Jalan Raden Saleh itu," katanya. Taufiq saat itu mengajar di Institut Pertanian Bogor. Dia penyair, tapi juga dokter hewan.
Setelah beberapa kali bertemu, mereka sepakat menulis sebuah mukadimah. Sedangkan Manifes Kebudayaan bikinan Wiratmo, yang sudah diperbaiki, dijadikan sebagai "penjelasan". Goenawan dan Arief mendapat tugas merampungkan mukadimah itu.
Beres semuanya, Manifes Kebudayaan dideklarasikan pada 17 Agustus 1963. "Waktu itu, biar heroik, dipas-paskan dengan hari kemerdekaan," ujar Arief.
Deklarasi itu ditandatangani 20 seniman: 16 penulis, 3 pelukis, dan seorang komponis. Di urutan paling atas tiga budayawan terkemuka saat itu: H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, dan Wiratmo. Sebenarnya mereka tidak dekat satu sama lain. "Yang menyatukan mereka dalam Manifes, ya, kami yang muda-muda," kata Goenawan.
Berikutnya ada Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Taanissan, Binsar Sitompul, Taufiq Ismail, Gerson Poyk, M. Saribi Afri, dan Poernawan Tjondronagoro. Terakhir Boen S. Oemarjati, dosen sastra Universitas Indonesia. Dia satu-satunya wanita.
Dokumen tersebut lalu diperbanyak menggunakan stensil dan dikirim ke para seniman sealiran.
Majalah Sastra edisi 9/10 tahun III, September 1963, memuat utuh teks Manifes berikut "penjelasannya". Bulan berikutnya, naskah yang sama dimuat harian Berita Republik. Yahaya Ismail dalam bukunya, Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia, mengatakan, setelah itu, Manifes Kebudayaan sering dikutip oleh harian-harian, radio, dan berbagai organisasi kebudayaan. "Akhirnya ia menjadi suatu pernyataan kulturil yang mendapat perhatian ramai," tulisnya. Kelompok-kelompok yang tak suka memelesetkannya menjadi "Manikebu" alias sperma kebo.
Dalam preambul yang cuma empat alinea, Manifes antara lain menyatakan bahwa kebudayaan merupakan perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Karena itu, "Kami tidak mengutamakan satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain."
Tujuan Manifes lebih lanjut dijelaskan oleh sebuah tulisan lain di majalah Sastra, tanpa nama penulis, berjudul "Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan". Naskah pendamping itu dibuat oleh Goenawan. Menurut Goenawan, dasar Manifes Kebudayaan sebenarnya agak jelas: "suatu ikhtiar untuk memperoleh ruang yang lebih longgar bagi ekspresi kesenian yang mandiri—yang independen dari desakan politik dan pelbagai tata cara revolusioner tahun 1960-an".
Memang suasana berkesenian pada awal 1960-an itu tidak terlalu baik bagi seniman yang enggan berpolitik. Slogan Manipol Usdek—Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia—yang dilontarkan Sukarno dipaksakan menjadi rambu bagi proses penciptaan karya seni.
Seni yang sejalan dengan "garis Manipol" adalah yang revolusioner. Beberapa harian yang berani menentang dibredel. Pemimpin harian Indonesia Raya, Mochtar Lubis, bahkan dijebloskan ke penjara.
Barangkali itu sebabnya banyak seniman mendukung Manifes. Penyair Sapardi Djoko Damono termasuk yang ikut menandatangani Manifes, saat naskah tersebut beredar di Yogyakarta. Waktu itu dia kuliah di Universitas Gadjah Mada.
Selain karena Manifes didukung nama-nama yang dia kagumi, seperti H.B. Jassin, D.S. Moeljanto, dan Taufiq Ismail, Sapardi mengaku merasa ada yang tidak beres dengan berkesenian kala itu. Banyak tekanan agar menulis begitu dan begini. "Padahal, menurut saya, nulis itu, ya, nulis. Untuk siapa? Ya, terserah."
Stensilan Manifes Kebudayaan beredar hingga ke luar Jawa, dari tangan ke tangan. Di Medan, misalnya, Sori Siregar, penulis novel dan cerita pendek, ikut tanda tangan.
Beberapa seniman di daerah mengaku pernah bertemu dengan Wiratmo dan tokoh "Manikebu" lain melakukan road show, menjelaskan perihal Manifes Kebudayaan dan humanisme universal. "Saya bertemu dengan Pak Wiratmo di Semarang pada 1963. Dia datang ke Balai Kota. Mereka bikin semacam ceramah mengundang masyarakat di Semarang, wartawan, para pendidik," ujar Sutikno W.S., seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat asal Cilacap. Ketika itu, Sutikno bekerja sebagai wartawan di Semarang.
Putu Oka Sukanta, seniman Lekra lainnya yang ketika itu berada di Yogyakarta, bertemu dengan Djaduk Djajakusuma, tokoh film pendukung Manifes Kebudayaan. "Dia yang ke Yogyakarta. Waktu itu saya bersama Kusno Sulang dan Avip Priyatna. Djaduk berbicara soal humanisme universal," ujar Putu.
Walhasil, hanya dalam beberapa bulan sejak dideklarasikan, Manifes mendapat dukungan di mana-mana. Menurut Goenawan, pernyataan dukungan itu dikumpulkan oleh Bokor Hutasuhut. "Ada sekitar seribu tanda tangan dari berbagai daerah," katanya.
Yang mendukung bukan hanya pribadi, melainkan juga organisasi kebudayaan. Di antaranya ada Lesbumi, Ikatan Sarjana Pancasila, Lembaga Kebudayaan Kristen Indonesia, Badan Pembina Teater Nasional Indonesia Sumatera Selatan, dan Teater Muslimin Wilayah Palembang.
Terus bertambahnya pendukung Manifes, menurut Arief Budiman, membuat Lekra dan Presiden Sukarno gerah. Maka mulailah terjadi intimidasi terhadap para pendukung Manifes. Lantaran itu, H.B. Jassin menghitamkan nama-nama pendukung Manifes yang telanjur dicetak di majalah Sastra.
Karena tekanan terhadap seniman "Manikebu" makin kuat, beberapa tokohnya mencoba mendekat ke tentara. Bokor Hutasuhut, dengan dukungan kenalan tentaranya kemudian menggelar Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia. Eh, di konferensi itu Manifes malah menjadi bulan-bulanan. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution, misalnya, meminta peserta konferensi menyusun manifes lain dan meninggalkan "Manikebu".
Konferensi berakhir pada Maret 1964. Tekanan terhadap para pendukung "Manikebu" tak juga berkurang. Hingga dua bulan berselang, pada 8 Mei, Manifes Kebudayaan resmi dilarang oleh pemerintah Sukarno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo