Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ratu Kalinyamat dari Jepara, Jawa Tengah.
Mengerahkan belasan ribu prajurit dan ratusan kapal.
Menyerang Portugis dari Malaka hingga Hitu.
SEJUMLAH orang duduk bersimpuh di teras sebuah makam yang mereka yakini sebagai makam Ratu Kalinyamat ketika azan zuhur berkumandang pada hari itu, Selasa, 12 Desember 2023. Mereka sedang membacakan tahlil untuk Retna Kencana, nama asli Ratu Kalinyamat, yang pernah memimpin wilayah Jepara dan sekitarnya tersebut. Para peziarah hanya bisa sampai di teras makam. Hari itu, cungkup makam hanya dibuka sampai pukul 11.30. Pada hari biasa, bangunan utama makam Ratu Kalinyamat dibuka setengah hari sejak pukul 07.00. Pintu makam dibuka sampai sore ketika akhir pekan dan hari libur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kompleks permakaman tersebut berada di lingkungan Masjid Astana Sultan Hadlirin Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Lokasinya persis di sebelah barat masjid. Keduanya dihubungkan jalan paving selebar 2 meter. Jalan sepanjang sekitar 30 meter itu juga dilengkapi atap. Sementara itu, di kanan-kirinya terdapat makam-makam tua bernisan batu karang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah melintasi jalan beratap itu, pengunjung makam Ratu Kalinyamat akan melewati dua gapura. Makam Ratu Kalinyamat berada di sebuah bangunan bersama sebelas makam lain. Posisinya berada di sudut barat laut. Pusara Ratu Kalinyamat berkijing besar dan dibalut kain warna hijau. Di nisannya tertulis kalimat tauhid.
Makam Ratu Kalinyamat berjajar dengan tiga kuburan lain. Di sampingnya adalah makam suaminya, Sultan Hadlirin. Kemudian dua makam lain adalah istri kedua Sultan Hadlirin, Raden Ayu Prodobinabar, dan anak angkat mereka, Dewi Wuryan. Sementara itu, yang berada di baris kedua adalah makam ayah angkat Sultan Hadlirin, Chi Hui Gwan. Enam makam lain di cungkup tersebut tak diketahui identitasnya.
Sejak 10 November 2023, salah satu orang yang diyakini disemayamkan di makam tersebut dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Saikhul Aminin, 50 tahun, juru kunci makam Ratu Kalinyamat, menyebutkan peziarah telah banyak berdatangan sejak puluhan tahun lalu. “Setiap hari 500-1.000 peziarah,” katanya.
Gerbang makam Ratu Kalinyamat, 1900. KITLV
Saikhul menyebutkan jumlah itu bisa meningkat dua kali lipat saat akhir pekan atau hari libur. “Saat hari libur bisa 2.500-3.000,” ujarnya. Menurut dia, jumlah peziarah lebih dari itu karena banyak yang tak mengisi daftar tamu. Selama ini warga Jepara mengenal pasangan Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin sebagai pemimpin dan penyebar agama Islam di pesisir Jawa dan kisahnya mengerahkan ribuan tentara saat menyerang Portugis di Malaka.
Ayah angkat Pangeran Hadlirin, Chi Hui Gwan, berasal dari Kerajaan Champa (sekarang sekitar Vietnam), seorang ahli seni ukir. Dia bergelar Patih Sungging Badar Duwung. Dialah yang kemudian menyebarkan keahlian seni ukir kepada masyarakat Jepara. “Cikal-bakal seni ukir Jepara,” tutur Saikhul.
Sejumlah batu ukir peninggalan Ratu Kalinyamat masih terpasang di dinding masjid. Motifnya beragam dan kebanyakan bermotif tanaman. Ratu Kalinyamat putri pemimpin Kesultanan Demak, Sultan Trenggono. Wilayah kekuasaannya meliputi Jepara, Pati, Blora, dan Rembang. Ia menggantikan kedudukan suaminya, Sultan Hadlirin, yang berasal dari Aceh, putra Sultan Ali Mughayat Syah. Kiprahnya sebagai ratu yang berkuasa saat itu tercatat oleh para pengelana, misionaris Portugis yang mendampingi pasukan Portugis berburu rempah.
•••
USAHA mengusulkan Ratu Kalinyamat menjadi pahlawan nasional berulang kali diajukan. Pada 2008, Pemerintah Kabupaten Jepara sudah pernah mengusulkan. “Diajukan tapi gagal. Catatannya dipandang tokoh mitos, bukan tokoh historis,” ujar guru besar ilmu sejarah Universitas Diponegoro, Alamsyah, yang terlibat penelitian tentang Ratu Kalinyamat.
Menurut dia, dasar penelitian yang digunakan untuk mengusulkan Ratu Kalinyamat sebagai pahlawan kala itu hanya sumber sekunder. Alamsyah menyebutkan riset mereka saat itu merujuk pada historiografi tradisional, seperti babad dan serat. Mereka kembali menggali data sejarah pada 2018. Mereka menyimpulkan sejarah Ratu Kalinyamat pada abad ke-16 bertepatan dengan eksistensi Portugis di Nusantara. “Sekitar 1511-1648,” tuturnya.
Terbentuklah tim pakar pengkaji sejarah Ratu Kalinyamat dari berbagai universitas yang terdiri atas Irwansyah, Chusnul Hayati, Alamsyah, dan Connie Rahakundini Bakrie, yang diketuai oleh Ratno Lukito Mufti Ali, Mario Tamba, dan Widya Nayati. Mereka melibatkan Daya Negri Wijaya, sejarawan Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, yang saat itu sedang kuliah di Portugal menekuni sejarah Ratu Kalinyamat. Daya bertemu dengan Profesor Vitor Rui Gomes Teixeira dari Universidade do Porto, yang khusus mengkaji sejarah Portugis dan Asia. Mereka menemukan delapan-sembilan arsip berbahasa Porto tua catatan tentang Ratu Kalinyamat. Dalam catatan itu Sang Ratu diberi julukan Rainha de Japora.
Gerbang makam Ratu Kalinyamat di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, 12 Desember 2023. Tempo/Jamal Abdun Nashr
Arsip itu adalah catatan dari para pendeta dan pengelana Francisco Peres, Diogo da Couto, Manuel Faria e Sousa, Afonso de Noronha, Cristovao Martins, Dom Sebastiao, Jorge de Lemos, dan Arthur Basilio de Sa. “Sumber yang ditulis pada masa Ratu Kalinyamat masih ada. Jadi bukan pada periode setelah itu,” ucap Alamsyah. Ratu Kalinyamat menjadi penguasa Jepara pada 1549-1579. Merekalah yang melihat atau mengetahui sepak terjang Ratu Kalinyamat.
Ratno juga menjelaskan, sebelum arsip dari Portugis ini ditemukan, tidak ada catatan dokumentasi tentang Ratu Kalinyamat. “Di Indonesia, kami blank, yang ada hanya babad. Itu sumber kedua,” ujarnya. Setelah arsip dari Portugis ini ditemukan, penyusunan naskah kajian dilanjutkan. “Buku-buku catatan itu yang menjadi bukti primer,” katanya.
Sumber-sumber itu menuliskan andil Ratu Kalinyamat dalam penyerangan Portugis di Malaka. Portugis menguasai Malaka sejak 1511. “Menjelaskan keterlibatan Ratu Kalinyamat sebagai aktor utama penyerangan ke Malaka,” ujarnya. Ratu Kalinyamat juga membiayai penyerangan tersebut.
Penyerangan pertama dilancarkan Ratu Kalinyamat pada 1551. Pasukan Ratu Kalinyamat menyerang Malaka bersama personel lain dari sejumlah kerajaan di Semenanjung Sumatera. “Di situ dijelaskan Ratu Kalinyamat membawa pasukan berjumlah 4.000-5.000 tentara dengan mengirim 40 kapal,” tuturnya.
Penyerangan itu dijelaskan dalam arsip. Orang Portugis sendiri jeri melihat pasukan dari Jawa ini. Pasukan Ratu Kalinyamat seperti tak kenal rasa takut berhadapan dengan Portugis. Padahal pasukan Ratu Kalinyamat hanya bersenjata tombak. Pasukan Jepara ini dikatakan sangat superior dari segi jumlah, menunggu kesempatan menyerang. Mereka tersebar di sungai dan di laut. Mereka seperti orang yang tidak takut mati dan siap membunuh orang Portugis. Ketakutan orang Portugis ini direkam oleh Francisco Peres yang bersurat kepada Raja, 24 November 1551 (koleksi Biblioteca da Ajuda Lisboa/BNL).
“Orang-orang Jawa ini sangat barbar, maju tanpa takut, menyerang dan membunuh. Senjata mereka tombak panjang. Hanya, jumlah senjata mereka banyak dibanding senjata kami. Mereka juga punya beberapa senjata api yang saat itu sebanyak tujuh atau delapan buah, yang mereka rampas dari kami ketika mereka menduduki bagian kota tempat orang Arab dan non-Kristen, di mana tak ada gereja kami. Mereka mengambil banyak persediaan makanan,” demikian Francisco Peres menulis.
Pasukan Ratu Kalinyamat merangsek ke dalam kota pada 17 Juni 1551. Mereka menaiki tangga dan melompati dinding Benteng Malaka. Pasukan Sang Ratu dan orang Portugis kemudian bertarung selama satu jam. Orang Portugis menggunakan bom api, senapan, tombak, dan pistol untuk mengusir pasukan Ratu Kalinyamat. Di sisi lain, pasukan Jawa hanya menggunakan tombak, panah beracun, dan sumpitan. Namun akhirnya pasukan Jepara berhasil ditaklukkan.
Makam Ratu Kalinyamat di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, 12 Desember 2023. Tempo/Jamal Abdun Nashr
Dia juga mencatat orang Jawa dan Melayu kemudian bersatu untuk mengepung Benteng Portugis. Diperkirakan 10-12 ribu orang menyerang benteng pada hari Jumat, 3 Juli 1551. Mereka menyerang pada Sabtu dinihari, membidik bagian timur benteng, bertarung selama tiga jam.
Kemudian catatan lain yang berhasil ditemukan adalah penyerangan ke Malaka pada 1574. Ketika itu Ratu Kalinyamat mengerahkan lebih banyak tentara. Sebanyak 15 ribu tentara diberangkatkan ke Malaka berlayar menggunakan 300 kapal. Sebanyak 80 kapal di antaranya berukuran tonase besar. Ada sejumlah penyerangan lain yang diinisiasi Ratu Kalinyamat, tapi tak tercatat.
“Sumber Portugis itu hanya merekonstruksi dan menggambarkan penyerangan ke Malaka,” ucap Alamsyah.
Sembilan sumber primer yang ditemukan di Portugal itu merupakan catatan para musafir, pejabat Portugis, dan misionaris. Sumber-sumber itu menjelaskan penyerangan ke Malaka yang diprakarsai Rainha de Japora atau Ratu dari Jepara. Sementara itu, di periode yang sama, dalam babad dan serat dijelaskan bahwa pemimpin Jepara ketika itu adalah Ratu Kalinyamat.
Dari catatan resmi tersebut, diketahui kiprah Kalinyamat, seperti mengirim pasukan ke Malaka guna menyerang Portugis atas permintaan Johor pada 1551. Kemudian pada 1564-1565 Sang Ratu membantu masyarakat Hitu dengan mengirim pasukan ke Teluk Ambon untuk menyerang Portugis. Kemudian Malaka kembali diserang pada 1568 atas permintaan Sultan Aceh. Pada 1574, Sang Ratu secara mandiri mengirim 15 ribu tentara ke Malaka.
Gambar Pelabuhan Jepara dan Gunung Muria dilihat dari laut, pada 1600-an. Wikipedia
Saat itu Jepara menjadi wilayah jalur perdagangan rempah dari Malaka hingga Maluku. Untuk melindungi keamanan armada dagang Jepara, Ratu Kalinyamat memperkuat dan menambah jumlah prajurit perangnya hingga membangun armada maritim yang kuat. Hal ini diikuti pembangunan kekuatan pakta pertahanan dengan kerajaan dan Kesultanan Banten, Cirebon, Aceh, Maluku, Malaka, Bangka, Tanjungpura, Lawe, dan Johor.
Alamsyah menjelaskan, biaya penyerangan Portugis oleh pasukan Kalinyamat didapat dari penarikan pajak pelayaran dan perdagangan di Jepara. Wilayahnya juga menghasilkan hasil bumi. Melalui jalur perdagangan yang melintasi wilayahnya tersebut, jaringan Ratu Kalinyamat dengan kerajaan lain terbentuk.
Saudagar Jepara berniaga pula sampai Hitu. Saat itu Portugis pun sudah mulai mendarat di sana. Pasukan Jepara juga muncul untuk melindungi aktivitas perniagaan itu. Sebuah kronik berjudul Residencia das Moluccas yang tersimpan di BNL, Fundo Geral, Numero 474 menjelaskan bahwa armada Jawa itu dikirim oleh Ratu Jepara.
Faktor yang membuat Ratu Kalinyamat mau membantu menyerang Portugis di Malaka antara lain kepentingan yang sama. “Pertama, agama. Portugis bukan Islam. Kedua, ekonomi,” kata Alamsyah.
•••
RATU Kalinyamat juga hidup dalam tradisi lisan di masyarakat, lakon ketoprak, dan mitos. Dalam tradisi lisan dan seni, sosok Ratu Kalinyamat digambarkan penuh stigma jelek. Ia dianggap sebagai perempuan pendendam. Suami dan sepupunya, Prawoto, dibunuh Arya Penangsang, Bupati Jipang (sekarang sekitar Blora, Jawa Tengah). Ia diceritakan kemudian bertapa telanjang hanya ditutupi rambut panjangnya dan bertekad mengakhirinya setelah mandi dengan darah Arya Penangsang.
“Ada stigma negatif tentang beliau. Bahkan di sebuah ketoprak ada lakon Kalinyamat Lonte. Sangat menyedihkan,” tutur Lestari Moerdijat. Lulusan Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, dan pendiri Yayasan Dharma Bakti ini ikut membentuk tim pengkaji Ratu Kalinyamat. Dalam beberapa literatur, saat itu berkembang Islam dan sufisme. Disebutkan bahwa tapa wuda atau bertapa telanjang ini tidak diartikan secara harafiah, melainkan makna sufisme meninggalkan keduniawian untuk berpasrah kepada Sang Pencipta.
Sisa benteng Portugis yang dibangun di Malaka pada 1511, dari arsip album foto Pangeran Alfred, Duke of Edinburgh, 1869. rct.uk
Karena itulah kemudian tim pakar mengundang Habib Luthfi bin Ali Yahya, budayawan Sudjiwo Tejo, dan para seniman untuk menghilangkan stigma negatif ini. “Habib Luthfi berkenan menjelaskan Ratu Kalinyamat ini juga penganut sufi dan menerangkan silsilahnya,” ujar Lestari Moerdijat, yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kisah mengenai Ratu Kalinyamat, sebelum ditemukan dalam catatan resmi di Portugal, tercatat dalam Babad Tanah Jawi, Serat Kandhaning Ringgit Purwa, dan Babad Demak. Di sejumlah babad dan serat ini, kisah hidup Ratu Kalinyamat dan silsilahnya dijadikan pijakan awal penelitian.
Masyarakat pun selama ini meyakini Ratu Kalinyamat ada dan dimakamkan di kompleks masjid di Mantingan tersebut. Selain setiap hari banyak peziarah, sejumlah tokoh pernah nyekar di sana. Dalam dokumentasi Arsip Nasional Republik Indonesia, Presiden Sukarno pada 1952 tampak berziarah ke makam itu dan diakui pemerintah. “Pernah dipugar saat Pak Daoed Joesoef menjadi Menteri Pendidikan,” tutur Lestari.
Indikasi lain yang menyebutkan eksistensi Ratu Kalinyamat adalah adanya condro sengkolo rupo brahmana warna sari di atas Mimbar Masjid Mantingan. Condro sengkolo tersebut menyebutkan angka tahun Saka atau sekitar 1559. Ini menandakan tahun pembangunan Masjid Mantingan.
Lestari mengakui dari segi arkeologi memang belum ditemukan bukti ilmiah yang kuat mengenai situs-situs peninggalan Ratu Kalinyamat di Jepara. Selain ingatan kolektif tentang makam itu, di Jepara tak ada lagi situs yang bisa diindikasikan sebagai peninggalan Sang Ratu. Menurut Lestari, kondisi geografis Jepara pada masa lalu cukup menyulitkan penemuan situs. “Waktu itu Jepara masih terpisah dengan Pulau Jawa, menyatu setelah ada sedimentasi,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Jamal Abd Nashr berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menemukan Bukti-bukti Sang Rainha de Japora"