Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN anak muda meramaikan pembukaan pameran di Grey Art Gallery, Jalan Braga 47, Bandung. Bekerja sama dengan G3N Project, galeri itu sedang memamerkan karya-karya mendiang seniman Jeihan Sukmantoro selama 11 November 2023-11 Januari 2024. Alih-alih dibayar, mereka justru rela membeli tiket masuk Rp 35 ribu per orang sesuai dengan tarif akhir pekan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama sebulan lebih jumlah pengunjung pameran yang bertajuk “Se(mata)n” itu mencapai sekitar 6.000 orang. “Mayoritas anak-anak muda gen Z, dari yang pelajar hingga mahasiswa,” kata Chief Executive Officer Grey Art Gallery Angga Aditya Atmadilaga kepada Tempo, 14 Desember 2023. Angga berharap pada musim liburan ini pengunjung bisa lebih banyak hingga mencapai target 10 ribu orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengunjung langsung dikenalkan kepada sosok Jeihan dan riwayat ringkasnya di papan sekat berukuran jembar sejak memasuki galeri. Lini masa seniman yang lahir di Ngampel, Boyolali, Jawa Tengah, 26 September 1938, dan wafat di Bandung pada 29 November 2019 itu dibentangkan pada tembok lorong setelah pintu masuk. Galeri yang menempati gedung lawas yang dibangun pada 1930 dengan nama awal N.V. Hellerman itu memajang 25 lukisan dan tiga patung Jeihan.
Karya-karya yang tersaji adalah pinjaman dari para kolektor dan Studio Jeihan. Di bagian tengah lantai pertama, tergolek sesosok patung sedang telentang dan mengangkang yang dikelilingi lukisan figur. Karya yang menonjol adalah deretan tokoh seniman dalam kanvas berukuran 46 x 46 sentimeter buatan 1971. Jeihan antara lain melukis wajah Raden Saleh, Chairil Anwar, S. Sudjojono, Popo Iskandar, dan Rusli dengan cat minyak. Semuanya bermata hitam.
Lantai 2 umumnya diisi lukisan berukuran 140 x 140 sentimeter yang dibuat pada 1960-an hingga 2000-an. Selain figur yang semuanya perempuan, obyek gambarnya berupa perahu dan bangunan Colosseum di Italia. Adapun di ruang bawah tanah beberapa lukisan Jeihan bersanding dengan karya Arya Sudrajat dan Eldwin Pradipta. Gagasan karya mereka merespons karya Jeihan yang dikemas dengan pendekatan interaktif, melibatkan pengunjung.
Pengunjung di Grey Art Gallery Bandung, Jawa Barat, 15 Desember 2023. Tempo/Prima mulia
Arya antara lain membuat batang-batang seperti sedotan besar dengan aneka warna. Menggunakan bahan pipa PVC yang ditekuk, berkerut, dan digepengkan, karya itu digantungkan dengan tali nilon bening. Karya berjudul Timbris itu membuat ulang garis-garis yang dibuat Jeihan pada lukisannya. Sedangkan Eldwin membuat karya video imersif. Salah satunya Artwork, Artwork on the Wall#1 yang terinspirasi garis-garis dan puisi karya Jeihan.
Dari kamera yang dipasang pada layar monitor, sosok pengunjung yang berdiri di depan karyanya jadi bisa ikut muncul dalam video dengan bentuk garis putus-putus. Termasuk lukisan Jeihan berjudul Jais buatan 1997 yang ditempatkan di tembok seberangnya. Karya dengan cat minyak itu menggambarkan sosok Jais Darga, seorang art dealer internasional yang berkawan dengan Jeihan sejak 1980-an.
Beberapa pengunjung, seperti empat sekawan pelajar kelas XI sebuah sekolah menengah atas swasta di Bandung, terlihat asyik berswafoto di semua penjuru ruangan. Mereka mengaku baru pertama kali singgah ke galeri itu setelah kepincut melihat tayangan di media sosial. Mereka pun baru tahu tentang Jeihan. “Jadi penasaran dengan karya-karyanya,” tutur Kat, salah seorang siswa, 14 Desember 2023. Namun, dia menambahkan, motivasi kunjungan itu adalah berfoto-foto.
Pameran itu digagas pada awal tahun ini untuk mengenalkan maestro perupa tersebut kepada kalangan anak muda Bandung. Mereka mencoba menggaet anak muda dengan lebih atraktif, menampilkan lukisan Jeihan serta mengeksplorasi bentuk dan visual melalui video mapping dan lampu sinar ultraviolet.
Dengan cara itu, karya Jeihan diharapkan menjadi bagian dari hidup mereka. “Salah satu parameternya ada di selfie mereka bersama karya, tulisan, dan kutipan kalimat Jeihan,” ujar Angga Aditya. Angga menambahkan, ia pernah dicibir ketika menyiapkan acara ini karena dinilai salah sasaran.
•••
SEBUAH lukisan wajah terpampang di bagian depan gedung selatan di dalam area Museum Puri Lukisan, Ubud, Bali. Wajah tersebut tirus dengan sisiran rambut belah pinggir. Terdapat goresan hitam di bagian bibir atas yang menggambarkan kumis. Lukisan berukuran 100 x 70 sentimeter ini berjudul Aku, yang merupakan potret diri sang pelukis, Jeihan Sukmantoro.
Lukisan wajah Jeihan itu agak berbeda dengan lukisan lain yang ditampilkan dalam pameran ini. Sorot matanya tajam dan tegas. Lukisan potret diri ini dibuat pada 1965, saat Jeihan berusia 27 tahun. Dengan kemeja putih, warna wajah pada lukisan ini cokelat kemerahan, seolah-olah menyampaikan getirnya kehidupan saat itu.
Lukisan wajah Jeihan Sukmantoro di Museum Puri Lukisan Ubud, 12 Desember 2023. Tempo/Made Argawa
Dalam pameran berjudul “Jeihan and The New Indonesian” yang berlangsung selama 10 Desember 2023-4 Januari 2024 itu, ada 66 lukisan yang dipamerkan. Kebanyakan di antaranya menampilkan sosok perempuan dengan mata hitam. Pameran ini dikurasi oleh Jean Couteau.
Sama seperti pameran di Bandung, pengunjung diperkenalkan kepada sosok dan riwayat hidup Jeihan lewat spanduk besar seukuran dua pintu, dari masa kecil yang susah hingga saat Jeihan aktif melukis. Dia juga dijelaskan mengambil kursus melukis di Himpunan Budaya Surakarta, Jawa Tengah, lalu melanjutkan studi di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada 1960-1966, tapi tidak tamat.
Couteau menilai karya-karya Jeihan di Museum Puri Lukisan dominan menonjolkan kesan yang individual. Padahal pelukis pada generasinya lekat dengan gerakan kolektif, misalnya Lembaga Kebudayaan Rakyat pada 1960-an. “Pada Jeihan, justru itu kehilangan makna,” katanya kepada Tempo, 12 Desember 2023.
Melihat kekhasan karya Jeihan yang kebanyakan berupa potret tunggal, Couteau penasaran: apakah karya-karya Jeihan itu mencerminkan semangat seni pada zamannya atau berdiri sendiri? Sebab, menurut dia, karya Jeihan amat berbeda dibanding karya seniman lain. Pada zamannya, Couteau menjelaskan, para seniman mengedepankan sisi identitas kolektif dalam karya yang figurasinya jelas dan konten bersifat politik atau sosial.
Sedangkan karya Jeihan sangat khas, mengusung gaya atau genre figuratif dengan visual manusia berwarna gelap, hitam, dan bolong, memunculkan kesan mistifikasi setiap obyek yang dilukisnya tanpa ada beautifikasi. Dalam perkembangan seninya, Jeihan menyambungkan imaji, simbol, filosofi budaya Timur yang padat esensi dan mistik dengan rasio analitik Barat.
Dalam eksplorasi seni, menurut Couteau, Jeihan sangat kuat pada komposisi ruang di sekitar potret yang dijadikan obyek lukisan serta warna, meski hal ini membuat karyanya menjadi kurang beraneka. “Mungkin banyaknya persoalan kehidupan membuatnya lebih menyendiri dan akhirnya melakukan eksplorasi pada suwung kehidupan,” ujarnya.
Couteau menyebutkan Jeihan sering dibandingkan dengan seniman terkenal asal Prancis berdarah Swiss-Italia, Amedeo Modigliani (1884-1920), yang melukis potret oval dengan mata yang dalam, sebagian kosong, untuk menyampaikan, sesuai dengan pengakuannya, konsep misteri manusia.
“Tapi Jeihan satu langkah lebih jauh. Mata potret Jeihan adalah gelap, biasanya berwarna hitam atau biru gelap, dan lebih besar,” kata Couteau.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Made Argawa berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jejak Kenangan Pelukis Mata Hitam"