Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAYUS Halomoan Tambunan melunasi janjinya. Di depan pengacara senior Adnan Buyung Nasution yang menemui di rumah tahanan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, Jumat, 3 April lalu, dia ”bersumpah” membuka terang-benderang kasus yang melilitnya.
”Akan saya bongkar semua,” katanya seperti ditirukan Pia Akbar Nasution, putri Adnan Buyung, kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Menurut Pia, komitmen Gayus ditetapkan sebagai prasyarat agar ia bisa didampingi Kantor Hukum Adnan Buyung Nasution & Partners.
Lalu patgulipat menggangsir uang negara lewat pajak itu pun terbongkar. Di depan penyidik Direktorat III Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri, pemilik rekening Rp 28 miliar ini mengaku pernah ”menggarap” perkara pajak tiga perusahaan batu bara milik Grup Bakrie.
Awal 2008, manajemen PT Kaltim Prima Coal (KPC) sedang dilanda persoalan besar. Surat ketetapan pajak periode 2001-2004 tak kunjung diterbitkan Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar di Gambir, Jakarta Pusat.
Menurut pengakuan Gayus, pangkal soal adalah tidak adanya kata sepakat antara petugas pajak dan KPC tentang penetapan nilai kurs dalam penentuan nilai pajak.
Sumber Tempo di Direktorat Jenderal Pajak mengatakan KPC sangat berkepentingan mendapatkan surat tersebut. Sebab, jika tak kunjung datang, perkara pajak yang saat itu tengah diteliti tim pemeriksa Direktorat Jenderal Pajak bisa berlanjut menjadi bukti permulaan untuk masuk tahap penyidikan. ”Kalau ini terjadi, KPC dijerat pasal pidana,” katanya.
Bergulirnya kasus pajak ke ranah pidana menjadi momok menakutkan karena bisa bergulir ke pengadilan yang menjebloskan jajaran direksi perusahaan ke penjara. Pilihan lain, jika ingin diselesaikan di luar pengadilan, wajib pajak harus membayar denda 400 persen dari nilai pajak ditambah pokok. ”Itu yang dihindari KPC,” kata sumber tadi.
Soal berapa nilai pajak KPC yang diurus Gayus, Pia Nasution tak bersedia mengkonfirmasi. ”Itu sudah masuk materi pemeriksaan,” katanya.
Namun seorang penyidik polisi memperkirakan tunggakan pajak KPC selama empat tahun mencapai Rp 3 triliun. ”Dalam prakteknya, fee untuk makelar itu satu persen dari nilai pajak,” ujarnya.
Gayus bergerak cepat. Lewat jaringannya, dua tim yang dibentuk Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan dan Direktorat Peraturan Pajak turun tangan ”membantu” KPC. Langkah ini berbuah manis: KPC mendapatkan surat ketetapan pajak yang telah lama diimpikan.
Setelah menggarap KPC, Gayus mendapat gawean baru. Tak kalah rumit, lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara pada 2006 ini mendapat ”amanah” memainkan proses banding PT Bumi Resources Tbk., di pengadilan pajak. Tiga tugas besar yang telah dititahkan: menyiapkan surat banding, membuat surat bantahan, dan berkoordinasi dengan panitera untuk memenangkan Bumi.
Langkah Bumi meminta banding bermula dari keputusan Direktorat Jenderal Pajak menolak keberatan nilai pajak badan dan pajak penghasilan untuk tahun buku 2005. Bumi menilai angka pajak yang mesti dibayar terlalu besar. Menurut aturan, wajib pajak boleh meminta banding ke pengadilan pajak.
Pilihan meminta Gayus turun tangan untuk kasus ini tepat. Sebagai petugas penelaah keberatan di Direktorat Keberatan dan Banding, sehari-harinya Gayus memang berkutat dengan kasus di pengadilan pajak.
Dalam proses sidang banding di pengadilan pajak, Gayus mengaku tidak perlu banyak turun tangan: dia hanya sesekali datang di ruang sidang. Permainan toh bisa dikendalikan dari luar. Berkat Gayus, banding yang diajukan Bumi dikabulkan pengadilan pajak.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Firdaus Ilyas, mencium bau tak sedap dalam upaya banding pajak Bumi ini. Menurut dia, dalam laporan keuangan 2005 jumlah pajak yang dibayar perusahaan itu Rp 548 miliar, lebih rendah daripada 2004 yang Rp 619 miliar.
”Penurunan itu janggal,” katanya. Sebab, sepanjang 2005 terjadi kenaikan penjualan yang dipicu melonjaknya harga batu bara di pasar dunia. ”Setoran pajak seharusnya naik, bukan malah turun.”
”Persembahan” lain Gayus bagi Grup Bakrie terjadi menjelang akhir 2008. Kepada polisi, Gayus mengaku diminta membuat surat pemberitahuan pajak pembetulan PT Arutmin Indonesia dan KPC untuk periode 2005-2006. Untuk kerja ini, dia diberi imbalan US$ 2 juta.
Dua perusahaan ini membutuhkan tangan dingin Gayus untuk merapikan laporan keuangan agar bisa menikmati sunset policy. Program sunset policy yang digulirkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini memberikan kesempatan wajib pajak membetulkan SPT tahun 2007 dan tahun sebelumnya agar bisa lolos dari sanksi administratif.
Tangan dingin Gayus kembali manjur. Kerja kerasnya membuahkan hasil: dua perusahaan ini bisa ikut program sunset policy, yang berakhir pada 31 Desember 2008. Kepada penyidik polisi, Gayus menyatakan bahwa pekerjaannya menggarap laporan keuangan dua perusahaan Bakrie tidak berhubungan dengan tugas pokoknya di Direktorat Jenderal Pajak.
Dileep Srivastava, juru bicara Bumi Resources, yang juga membawahkan KPC dan Arutmin, membantah semua keterangan Gayus. ”Semua tuduhan tentang status pajak dan dugaan pengurusan pajak yang menyalahi aturan itu tak berdasar,” katanya.
Dia menegaskan, sebagai perusahaan terbuka, semua laporan keuangan termasuk pajak perseroan selalu diurus dengan transparan dan bisa langsung dinilai oleh publik.
Pelaksana tugas Direktur Intelijen dan Penyelidikan Direktorat Jenderal Pajak Pontas Pane mengaku tidak bisa berbuat banyak. Kata Pontas, lembaganya tak lagi memiliki wewenang memeriksa wajib pajak badan usaha yang pernah diperiksa dan diputuskan sengketanya di pengadilan pajak. ”Administrasinya sudah pindah ke pengadilan pajak,” kata Pontas. ”Kalau ada suap, kepolisian yang menangani.”
Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi berjanji tidak akan mengabaikan keterangan Gayus itu. ”Kami akan memeriksa semua pihak yang disebut Gayus,” katanya.
Setri Yasra, Dwidjo U. Maksum, Oktamandjaya Wiguna, Nalia Rifika, Rieka Rahardiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo